Achmed The Dead Terrorist: Just Laughing Ourselves

Salam,

Berikut ini ada video comedy nya Jeff Dunham-Achmed The Dead Terrorist, figur ini lagi banyak di bicarakan di eropa dan US terutama karena mengangkat isu terrorist yang notabene nya melekat pada stereotype laki-laki arab.  Dari sisi semiotika, saya sangat menikmati canda2 dunham lewat karakter achmed ini, satir dan ironi menurut saya, tapi yang paling penting adalah masyarakat US (figur ini diperkenalkan oleh NBC) sangat membutuhkan sebuah relaksasi atas issue2 yang panas saat ini. Hampir setiap hari media2 massa memunculkan isu terrorist, perang di iraq, isu radikalisme dan isu2 lainnya, dan masyarakat sudah muak… mereka yang salah satu anggota keluarganya tewas di perang iraq, perang yang sebagian besar tidak mereka pahami, mulai mengalami trauma dengan stereotype2 ini, in which been emerged by media itself.

Mereka butuh pelampiasan, dan Dunham datang  di saat yang tepat dengan karakter achmed ini. Dunham bermain cerdik dengan tetap menjaga jarak antara manusia dan  attitude-nya, menurut saya dia tidak menyinggung muslim ataupun aktivitas-aktivitas muslim, yang dia singgung sebenarnya paranoia masyarakat US sendiri tentang isu2 perang di iraq dengan mengaitkan secara paradigmatic (mungkin kalo anda tahu Greima’s Rectangle atau Semiotic square) konsep achmed dengan stereotype2 yang berkembang di masyarakat US, yang berarti juga becanda nya achmed hanya ada di kepala masyarakat US.

Kadang kala kita perlu menertawakan diri kita sendiri, dengan tertawa terhadap diri sendiri kite berefleksi terhadap ke -Aku-an kita, kita menjadi sadar atas perbuatan kita dan bisa mengambil keputusan2 tentang diri kita sendiri kedepannya, despite right or wrong. Dan saya kira inilah yang perlu kita lakukan saat ini, tertawalah terhadap mitos-mitos yang ada di sekitar kita, tertawalah pada kesadaran kita untuk mau mempercayai mitos-mitos tersebut, hanya saja kita perlu menggarisbawahi bahwa ada bedanya antara mitos dan keyakinan, percayalah pada keyakinan tapi jangan pada mitos. Roland Barthes mengatakan bahwa pada level kedua dari signifikansi process komunikasi adalah lahirnya mitos, level yang menurut C. G. Jung adalah tempat archetype2 berkembangbiak. Barthes emphasized that on the level of myths there are no denotative meaning(s), artinya tidak ada ke-sesungguh-an dari tanda (sign) hence, yang lahir adalah makna-makna arbitrary yang selalu bisa di produksi dan reproduksi lagi (mengambil ide dari Roman Jakobson dan Russian Formalist).

Anyway, please enjoy the video as part of your sense of humor not as part of your myth, just laugh ourselves, I did!

Riza

Iklan

Wawancara dengan Geert Wilders

45 menit yang lalu sejak saya menulis blog ini, ABC News menayangkan wawancaranya dengan geert wilders tentang film nya, tadinya saya mau posting videonya tapi saya pikir-pikir lagi buat apa nampilin wilders, besar kepala ntar dia, tapi buat yang tertarik menyimak, saya taruh link nya di bawah silahkan diunduh sendiri.

Berikut saya quoted dari ABC News, ‘…Wilders says his film is about freedom of speech and says if it fans the flames of violence, it’s not his fault. If it unfortunately would happen, of course the people who use this violence, use these non-democratic means, can be the only ones held responsible,” he said.’ Hmmm….. mau lempar batu sembunyi tangan dia… ya ini! ini yang namanya provokator….

Wawancara dengan wilders (namanya aja udah wild…)

Riza

Fitna Movie ditutup di liveleak.com

Salam,

Video kontroversi Fitna sudah ditutup access nya di liveleak.com sekitar 1 jam yang lalu sejak saat saya menulis blog ini, dalam rilisnya ke AFP langkah ini akan diikuti oleh semua british ISP. Menurut saya, ini langkah yang menarik untuk dikaji terutama jika kita berbicara etika media, disiplines and punish dalam cyberculture, bagaimana Betham’s Phanopthicon model bekerja secara otomatis, despite aksi dan reaksi yang melingkupi issue tersebut. Saya punya tebakan, apa persamaannya Fitna dan Ayat-ayat Cinta?? ……….. jawabannya, kedua-duanya sama-sama telah ditonton oleh lebih dari 3 juta viewer, hanya saja AAC ditonton 3 juta orang hanya di Indonesia saja sedangkan fitna ditonton 3 juta orang di seluruh dunia, hanya saja nya lagi, AAC butuh waktu kurang lebih 30 hari buat ngumpulin angka segitu sedangkan fitna hanya butuh 30 jam (mmm… the power of social web….). Disini anda bisa lihat juga bagaimana manusia lebih senang mendengarkan hal-hal yang buruk (termasuk saya kayaknya….) daripada hal-hal yang baik. Sama seperti idiom berita, ‘berita yang buruk adalah berita yang baik’, Bad News is Good News, somehow I see the pointed….

Riza

Fitna’ Movie: Pathetic Framing From A GAY Socialpsychophat (here’s the link!)

Salam,
As you all know, so to speak, kemarin (27/03/08), sebuah film baru saja di rilis di Belanda oleh salah seorang anggota dprd utrecht bernama Geert Wilders. Hanya 12 jam dari rilisnya, lebih dari 1,2  juta orang telah menyaksikannya dan saya yakin, pada saat saya menulis di blog ini, anda di indonesia pasti juga telah mendengar tentang hal ini atau bahkan menyaksikannya. Rilis di liveleak.com tidak memperkenankan viewer untuk memberikan comment yang saya yakin banyak pro dan kontranya, nevertheless saya menulis di blog pribadi ini. Pendapat saya tidak untuk menghujat atau memaki-maki atau mengecam atau bahkan mengancam yang sudah banyak di lakukan blog milik orang muslim lainnya. Tapi saya ingin menanggapinya dengan cara yang cerdas, saya juga mengajak anda tidak termakan hasutan wilders di akhir film, dan anda juga harus menanggapinya dengan cerdas. Hati saya sebenarnya berteriak, tetapi kepala harus tetap dingin, Allah SWT mendengar doa orang-orang yang di dzhalimi.

Film berdurasi sekitar 16 menit ini, dalam perspective berdasarkan pengetahuan saya di bidang semiotika dan studi komunikasi, sangat dikotak-kotakkan sekali. Pertama, wilders berbicara dalam waawancaranya dengan AFP bahwa dia tidak membenci muslim tetapi dia membenci ideology nya yang dalam term nya “Islamisation”. Menurut saya, wilders adalah seorang pembohong besar, dalam film jelas sekali tidak ada idea yang dipertontonkan sebagai justifikasi dari ideology “Islamisation”, instead dia menunjukkan potongan-potongan klip, berita, kata-kata dari Al-Quran yang kesemuanya lepas dari context dimana kesemua texts itu berada. Dia menunjukkan foto2 orang berdemonstrasi yang saya yakin beberapa diantaranya adalah rekayasa karena ada sebuah gambar yang sepertinya dipegang oleh seorang american dan seorang pastur. Wilders memutar balikkan fakta dan logika dengan memberikan kesan seolah-oleh yang terjadi di daerah perang di timur tengah adalah apa yang akan terjadi di Belanda, fallacy of misplace concreteness! 

Kedua, dia mengkondisikan lewat permainan montage, opini bahwa seolah-oleh Islam adalah satu-satunya agama yang membenci homoseksualitas, dia tidak menyajikan full cover story (atau sengaja melakukannya) dan fakta bahwa semua agama di dunia membenci homoseksualitas, insting semiotic saya mengatakan bahwa wilders adalah seorang gay atau punya banyak teman yang gay, dan memang Belanda adalah negara pertama di dunia yang melegalkan perkawinan gay tetapi kenyataannya gayisme bukan isu sentral dalam politik Belanda, saat ini saya punya temen satu project team dari Belanda, dia yang bilang ini ke saya sewaktu kami berdiskusi tentang film ini, dan dia adalah seorang katolik. Ini mengherankan saya, karena saya bisa memahami motives wilders untuk menentang terorisme atau invasi muslim ke dalam kehidupan kenegaraan di Belanda karena dia seorang anggota representative yang mungkin salah satu musuh politik nya beragama islam atau dia punya massa pendukung yang punya masalah dengan orang-orang yang beragama islam tetapi GAY?! Carl Gustav Jung berkata tentang konsep seorang anak laki-laki yang meng-absorb his mother-image, “typical effects on the son are homosexuality and Don Juanism” (Four Archetype, 2003:19-20). Jika wilders tidak memilih Don Juanism, maka dia cenderung untuk memilih homoseksualitas, ini juga menjelaskan beberapa scences eksekusi perempuan bahkan potongan kepala seorang muslimah sesudah eksekusi, dia tidak membunuh para muslimah atau tends untuk membuat horor para perempuan yang menyaksikannya, dia membunuh his own mother-image sebagaimana semua gay melakukannya!! dan karena pemilihan gambar yang ekstrem, saya mencurigainya sebagai seorang socialpsychopat, I mean look at him!! (anda bisa lihat fotonya di link berita AFP yang ada di bawah) saya yakin dia juga seorang masochist.

Terakhir, kita saat ini hidup di dunia dimana media issue selalu berlalu dengan cepatnya, apa anda pernah menonton film ’15 minuetes’ atau mendengar teori bahwa saat ini seorang individu hanya punya waktu 15 menit untuk menjadi pusat perhatian media, setelah itu wuzzz…. media akan beralih pada isu lain, nah kira-kira itulah yang akan terjadi pada film ini. Okay! mungkin tidak 15 menit, karena 24 jam setelah film ini rilis viewers nya nambah banyak, atau seperti Ayat-ayat Cinta yang hingga tulisan ini dibuat orang masih rela ngantri buat nontonnya, mungkin lebih lama, but my point is film ini akan terkubur bersama waktu jika orang tidak lagi memperdulikannya, ingat konsep spiral of silence pada teori informasi, yah kira-kira seperti itulah. Jika tidak ada yang mau men-feedback atau meng-anti thesis isu ini, film ini akan dilupakan orang, sama seperti kontroversi karikatur nabi di koran denmark 2 tahun yang lalu. Okay!! mungkin tidak semuanya, tapi paling tidak unsignificant lagi. Tetapi sebaliknya, jika anda mulai marah-marah dan mikir “Kita tidak boleh diam, dia menghina Tuhan kita!! Kita harus bergerak!!” tolong mikir lagi, karena bagi saya Allah SWT adalah tidak ternoda Dia suci dalam dirinya sendiri dan tidak oleh kita dan tak satupun makhluk di bumi yang lebih baik di mata Nya kecuali amalannya (silahkan mikir hubungannya…), tapi ini hanya menurut saya.

Sedikit tambahan buat terakhir, jika anda tidak tahu karakter european people maka sebaiknya jangan marah-marah dulu. European people terutama di bagian daratan benua, (lander they says…) suka sekali membuat comment(s), mereka suka mengomentari apapun mulai dari harga garam sampai cuaca (favorit mereka!) jadi anda juga harus melihat film ini dalam perspektif mereka, supaya imbang maksudnya. Sewaktu saya dan temen-temen nonton ini, beberapa dari mereka ketawa-tawa, “…and expecting us to believe this crap, we better watch something else, something more useful…” some of them said to me. Dan buat saya, silahkan anda baca beritanya, nonton filmnya, dan jangan lupa tinggalkan comment di blog ini tapi setelah itu, silahkan teruskan tidur anda, atau lanjutkan games PS3 anda, lupakanlah film ini!! Besok baca koran lagi, lanjutkan hidup anda lagi, sebagaimana yang ada di film ini sendiri, “Ada saatnya Kita akan menguasai Dunia ini!” so tunggu saja tanggal mainnya… 

Riza 

PS: If you interest, here are the links (I intentionally not to put it directly): 
http://www.liveleak.com/view?i=7d9_1206624103 
http://afp.google.com/article/ALeqM5jC8xo84Wf29DJEaEQgX3fwGX3hVg

Yahoo has joined OpenSocial!

Salam,

Yahoo Corp. baru saja mengumumkan keikutsertaannya pada komunitas OpenSocial yang digagas Google pagi ini. Bagi saya ini merupakan langkah bersejarah dalam evolusi social web, saya jadi teringat Google Campfire yang videonya di publish di youtube (dan saya sertakan di blog ini juga) bagaimana para entretainer social web tengah memprediksikan masa depan dari social web dan saya tidak sabar untuk melihat perkembangan apalagi yang akan dibawa komunitas ini, selamat datang di masa depan!

Wondering a meaning…

Salam,

Banyak hal yang harus dipikirkan sebelum seorang peneliti memulai ‘perjalanan’nya, salah satu diantaranya adalah visi untuk melihat fenomena alam, intuisi untuk memilih dari sekian banyak pertanyaan dan path yang terbentang setelah pertanyaan itu dibuka. I means, for me to spelled the research question are neither easy nor hard, it just need a vision, that’s all it takes!! nevertheless indeed we have to pondered over our decision, beberapa peneliti yang terbiasa menggadaikan intelektualitasnya mungkin bilang, ah kan tergantung pesanan aja… What!! unacceptable!!

1.       Ok, sekarang saya lagi berpikir: riset tentang perubahan makna dari user ketika mereka mengakses situs. Metode kemungkinan quantitative dengan eksperimen observasi sebagai teknik pengumpulan datanya. Assessment apakah yang tepat untuk diberikan? Atau responden diberikan task untuk mensearch kata tertentu ataukah sebuah kesimpulan dari catatan observasi dan pengalaman user, tapi berapa lama?. Masalah penelitiannya adalah apakah ada makna final dari suatu pencarian pengertian? Tentu, jika menggunakan rasionalisasi maka akan ada makna final tetapi apakah titik tersebut berdiri sebagai sebuah makna dengan m kecil atau M besar? Tentu lagi, M besar selalu merupakan milik tuhan. Makna yang hadir hanya akan selalu temporary arbitrary. Tetapi (lagi…) jika melihat aliran dan konsep circularity dari informasi maka sepertinya penelitian ini adalah sebuah penelitian cybernetic. Aghh.. pondering, wondering, thinking…thinking…..

What is Cult Films? (1)

Salam Damai,

Pertanyaan ini muncul ketika saya mereview beberapa literature tentang film semiotic, inspirasi utamanya datang dari artikel Umberto Eco, Casablanca: Cult Movies and Intertextual Collage. Sebagai bagian dari tugas kelas film semiotic yang saya ikuti di Baltic Film and Media School, student di beri tugas untuk meriset topic yang berkaitan dengan film semiotic dan pertanyaan ini yang muncul di benak saya sebagai topic yang hendak saya riset.

Discussion among critics and film theorists about definition on term ‘Cult’ in ‘Cult Film’ have already take place for decades. One of important works, in my sense, can be ‘Cult’ by itself was an article by Umberto Eco; Casablanca: Cult Movies and Intertextual Collage (1985). Eco’s work inspired me to quest more understanding on what film represented and how human perception interpreted that representation and actualized it into their part of existence in society. Nevertheless, I found that questions also have relation within film semiotics, thus, I guess, I am not the only one who doing this.

In my opinion, so to speak, the term ‘Cult Film’ as one of aspects in entire Cult Media, gain influenced from cultivation theory which developed by Prof. George Gerbner and Prof. Larry Gross, and has been studied among communication scientists since 1960’s. This theory emphasized on effect of television program through perception of viewer. It assumed, exposure that viewer received, subtly “cultivates” viewers’ perceptions of reality. The term ‘cultivation’ derived from term ‘cult’, thus if we refers to its terminology came from the Latin ‘cultus’ which means care, or adoration, or in addition, veneration.Despite the meanings, through some literatures, the word ‘cult’ in ‘cult film’ itself was vague and dispute, and in my sense, usage of the words more underpins its justification as a label rather as a reference.

Phillipe Le Guern refers term usage ‘cult’ on television series, films, novels, and music which been praised in such a way, have groups of fan, and in some aspect symbolized values, social status and subculture of themselves. Nonetheless, he also mentioned contemporary usage of the word on more religious practice which brings ambiguity and makes any attempt at definition and delimitation of the concept and its usage more difficult. However, difficulties’ that Le Guern mentioned were derived from two causes; first, subordinate disposition by sociology approach in social environment and an inability to reflect the meanings of its own practice. Second, it was concerned on analogy of media cults and religious cults. He noted Walter Benjamin thoughts about the idea of an art such as cinema can only exist on level of reproduction (as opposed to unique reproduction) in which reproducibility invalidates the ‘cult value’ of art.

Therefore, Le Guern proposed a question whether the concept of ‘Cult’ should be reduced from a nominalist perspective to the product of linguistic game, to one of those classification schemes created by the observer but devoid of reality. He argue this sublimation of film, in generally speaking, functioning as unifier that produces groups and spectators by its expression of attributed values, thus maintain their enthusiasm for the cult text. In spite of cult film as reducibility text, le Guern emphasized the role of, in his term, ‘participatory culture’ of fans, communities, and by rituals as a social construction of cults. This niche distinguished the authentic/original cults and inauthentic/planned cults based on historical concept whose point of transitions is the rationalization and exploitation of tastes. These tastes however, must be relativized in order to be understood and taken place in the procession of successive generations, their cultural practices, and the conditions and context of these practices.

This fandomness, however, has attracted Matthew Hills to bear the relation between fandom and cult culture from academic perspective. He argues that actually it is not an easy task to define fandom itself because of ‘everydayness’ of term. Nowadays everyone knows what a ‘fan’ is, of course, Hills took Abercrombie and Longhurst (1998) attempted by linked the concept of ‘fan’, cultist, and ‘enthusiast’. He also mentioned Tulloch and Jenkins (1995) less contradictory definition, despite the term ‘cult’, of ‘fan and ‘followers. In addition, Hills noted Brooker and Brooker (1996: 141) preposition “Tarantino’s admirers might not all be fans……and not all fans will be cult fans’. Hills proposed that this thought makes a clear separation between the committed fan and the presumably even more knowledgeable and fan-community-oriented.

Nonetheless, he realized that the concept of ‘fandom’ and ‘cult fandom’ sometime overlapping. ‘Cult fandom’ more likely implied cultural identity which is partially from the concept of ‘fan’ in general. Thus, he suggested that this duality relates not to the intensity, social organization or semiotic/material productivity of the fandom concerned, but rather to its duration, especially in the absence of ‘new’ or official material in the originating medium. He showed delicately some instances of how Star Trek and The X-Files been adored by their fans and become ‘cult fandom’. Hence, Hills stated that cult fandom can be made up from three dimensions, which can, in specific cases, contradict one another. These dimensions, first, is tautological definitions which is the use of ‘cult’ discourses within fandoms. Second, temporal definitions which are usage of cult endured. Third, affective definitions, ‘cult’ fandom as an intensely felt fan experience.