Melanjutkan tulisan sebelumnya…
Kita sudah mengenal berbagai macam aplikasi VLE (virtual learning environment) atau awam disebut sebagai e-learning dan kita setidaknya sudah mendengar kegunaannya. VLE, setidaknya apa yang saya pikirkan, mempunyai karakteristik individuallist, pedagogy yang diajarkan yaitu siswa diharapkan mampu men-sintesa modul pembelajaran secara mandiri. Dalam satu aspek itu bagus, sesuai dengan arti individu sendiri, tetapi disatu aspek masih diragukan kedalaman dari siswa dalam memahami pengetahuan. Ini ironi dengan makna dari pengetahuan itu sendiri, dalam knowledge management, pengertian dari knowledge (pengetahuan) yang saya pahami hanya bisa didapatkan dengan interaksi, informasi dalam pikiran manusia yang ditangkap (capture) melalui ekspresi kebahasaan lalu dikodifikasi ke dalam media sehingga bisa menghasilkan pengetahuan.
Henry Eijkman sudah memulai inisiasi untuk menambahkan fitur web 2.0 ke dalam sistem e-learning di High School2. Saya tidak ingin menggunakan kata web 2.0 karena itu adalah labelnya O’reilly tetapi saya ingin menambahkan bahwa saya setuju dengan Eijkman bahwa e-learning harus ber-evolusi sesuai perkembangan teknologi web yang ada tetapi saya ingin mendifferensiasikan penamaan dengan lebih mengedepankan bahwa fitur-fitur yang bisa ditambah tersebut lebih tepat kalau kita sebut sebagai social software.
wah, menarik sekali…
di daerah, bukan hanya internet yg belum dikenal, tapi komputer juga masih merupakan barang mewah. seharusnya hal ini menjadi pemikiran serius dari para pengurus pendidikan di indonesia, terutama pemerintah, agar negara kita tidak terus ketinggalan di berbagai bidang… 🙂
trims, tulisannya masih bersambung… baca kelanjutannya yaa…