Salam,
Tulisan ini pernah dimuat di Lampung Post tahun 2006 saya lupa tanggalnya, semoga masih bisa bermanfaat… enjoy!
————————————————————————————————————————————————
Masyarakat saat ini terutama yang hidup di daerah perkotaan seperti di Bandar Lampung pasti sudah biasa mengenal istilah reklame. Kita sudah terbiasa berinteraksi dengan salah satu jenis media periklanan tersebut. Sekedar mengingatkan, sebutan reklame sebenarnya bernama media luar ruang (MLR/Out-of-Home Media). Pada awalnya adalah segala konsep promosi produk dengan penempatan di luar rumah tangga (Out-of-Home) atau oleh beberapa biro iklan lebih sering disebut sebagai Outdoor Advertising. Jadi apapun bendanya, baik itu berupa papan elektronik, lukisan, kanvas, bahkan selebaran selama itu dilakukan di luar rumah tangga konsumen masih dapat digolongkan pada kriteria MLR.
Saat ini kita bisa mengamati pertumbuhan reklame di Kota Bandar Lampung semakin hari semakin ramai. Setiap hari sepertinya ada satu reklame yang dibangun di jalan-jalan utama kota ini tentunya dengan bentuk yang beragam apakah itu berupa neonbox, billboard, signboard, spanduk atau bando jalan. Di satu sisi keramaian ini membuat semarak wajah Bandar Lampung dengan memberikan kesan pertumbuhan ekonomi konsumen mendorong tumbuhnya minat produsen akan promosi.
Ada idiom saat ini, ’Kita tidak bisa mengenal sebuah kota tanpa ada reklame di dalamnya’. Begitu eratnya hubungan reklame dengan perwajahan suatu kota sehingga seolah reklame bisa dianggap landmark dari kota yang bersangkutan. Contohnya saja billboard di seputar tugu gajah, bagi para pelancong dari luar kota adanya billboard dan tugu gajah sudah menjadi kesatuan karena keberadaannya yang bersama sudah puluhan tahun. Atau kalau kita ingin melihat ke luar negeri mengenai pengaruh keberadaan reklame terhadap daya tarik suatu kota, kita bisa menengok deretan megatron di Ginza, Tokyo-Jepang atau Madison Square di New York-US. Seringkali berita atau informasi yang menggempar dunia dimunculkan pertama kali di dua tempat tersebut.
Kembali ke reklame di Bandar Lampung. Kesemarakan reklame di sisi lain memupuk suatu permasalahan baru bagi masyarakat dan pemerintah kota. Beberapa waktu yang lalu, tewasnya seorang anggota polisi, Bripda Adri (metronews.com 12/3), yang melintas dibawah sebuah reklame seperti meletus permasalahan yang sudah kembung seperti balon mau pecah. Setelah itu baru ramai beberapa pihak mendiskusikan, menganalisa dan mempermasalahkan mengenai manajemen pengelolaan reklame di Bandar Lampung. Beberapa pihak menuding kelemahan pemkot dalam mengelola reklame, walaupun sebenarnya kita sudah sama-sama tahu kalau permasalahan ini memang sudah kronis dari awalnya.
Beberapa pihak menyalahkan biro-biro iklan yang seperti haus akan lahan sehingga pinggir saluran air pun jadi reklame. Padahal dari sisi konsep periklanan belum tentu reklame yang dipasang oleh biro iklan yang bersangkutan lebih menarik minat konsumen dibandingkan reklame yang dibagi-bagikan di sebuah pusat perbelanjaan. Karena memang konsep reklame terutama billboard memang hanya ditujukan untuk mengingatkan konsumen (reminder) bukan untuk menarik perhatian (attract) apalagi mendukung penjualan (sales support). Kalau ditanya mengenai prosesnya, penjabarannya mencakup aspek kognitif, konatif dan afektif dari kesadaran manusia dan kita bisa berdiskusi mengenai itu di tulisan yang lain. Karena itu pula, tolok ukur reklame (milestone) tidak pernah diukur oleh rating tetapi oleh jumlah perkiraan yang melihat (approximate value of viewers).
Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana mengelola reklame-reklame tersebut? Dalam hal pelaksanaannya, kondisi yang dihadapi oleh Kota Bandar Lampung tidak jauh berbeda dengan semua kota yang ada di Indonesia yang menerapkan pajak reklame sebagai salah satu penerimaan asli daerah (PAD) bahkan dengan kota-kota besar seperti Semarang, Surabaya, Yogyakarta atau Ibukota Jakarta. Masalah etika dan estetika selalu menjadi polemik dalam penerapan pengelolaan reklame. Etika biasanya berhubungan dengan masalah aspek legalitas termasuk didalamnya tarif pajak dan prosedur perizinan, serta pengawasan reklame. Sedangkan estetika berkaitan dengan kepadatan titik, penempatan lahan, ukuran reklame serta kepantasan atau halusnya sering ahli-ahli bilang sebagai aspek sosiologis dari keberadaan suatu reklame.
Tetapi diantara kesemua permasalahan tersebut yang paling krusial adalah aspek moral dari pihak-pihak yang berkepentingan dalam hal pengelolaan reklame. Tiga tahun yang lalu penulis pernah menghadiri suatu workshop periklanan yang membahas bagaimana mensiasati aspek moral dari adanya bisnis MLR ini. Kesimpulan bengkel kerja tersebut sudah bisa ditebak, jika berhadapan dengan duit semua etika dan moral bisa dibentuk ulang!. Siapa yang bisa membantah kalau dibangunnya suatu titik reklame pasti karena pihak produsen produk dan biro iklan yakin bahwa reklame mereka dapat membuat keuntungan bagi mereka, berapapun biayanya. Itu pasti!
Kalau begitu rekomendasi apa yang bisa diberikan untuk Pemkot Bandar Lampung dalam hal penanganan reklame dan terlebih lagi peningkatan penerimaan pajak reklame. Jawabnya: Banyak!! Yang pertama perlu kita perbaiki adalah moral kita, baik masyarakat periklanan reklame maupun pihak-pihak yang berkepentingan. Memang hal itu berat, umat manusia sendiri sudah lebih dari 6000 tahun berdebat soal moral dan belum ketemu kata sepakat. Tetapi kita bisa memulainya dengan menata aspek legalitas yang melingkupi pengelolaan reklame di Bandar Lampung.
Seperti Perda No. 3 tahun 1999, Perda No. 8 tahun 2000, dan Kepwakot No. 22 tahun 2004 yang sudah kadaluarsa, out of date! Peraturan diatas sudah seharusnya cukup dikumpulkan menjadi satu peraturan yang sudah mengatur semua aspek yang berkaitan dengan penyelenggaraan reklame termasuk pengelolaan lokasi, prosedur perizinan, pajak dan tarif pajak serta sanksi hukum yang adil. Peraturan tersebut harus dirancang fleksibel terhadap perkembangan zaman dan dimungkinkan untuk berkembang baik secara ekstensifikasi maupun intensifikasi sehingga bisa diterapkan hingga tingkat pelaksana.
Setelah aspek legalitas, yang harus dilakukan selanjutnya adalah memperluas jaringan data base reklame dan peningkatan kualitas sumber daya pengelola reklame. Perluasan data base reklame bisa dilakukan dengan terus menerus mensurvei pembangunan reklame di Bandar Lampung, setidaknya setahun sekali. Data base berguna untuk menentukan kelas dan tarif reklame, perluasan objek pajak, dan pengembangan kawasan reklame.
Sedangkan peningkatan kualitas sumber daya pengelola reklame antara lain dengan pelatihan, peningkatan fasilitas pengawasan, dan pemberdayaan publik periklanan reklame seperti membentuk asosiasi atau bekerja sama dengan Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (PPPI). Setelah itu apakah ada jaminan lebih baik? Jawabnya tergantung pada kesungguhan kita bersama, tapi setidaknya Kota Bandar Lampung akan mempunyai wajah yang cantik dan kepribadian yang menarik.