Another thought about seamless communication..

Ini artikel dari kompas cetak hari ini (25/03/2009) yang saya unduh dari versi onlinenya. Ini kali pertamanya saya menampilkan tulisan orang lain di blog ini karena menurut saya tulisan dosen UI yang juga senior editor di harian Kompas ini selain bagus juga tepat dengan apa yang saya pikirkan saat ini, yaitu tentang seamless communication dan bagaimana perkembangan teknologi saat ini telah mencapai tahap baru dalam evolusi media. Open access, open source, dan gerakan open2 lainnya turut berperan dalam mendistribusikan teknologi seamless communication. Pada kutipan dibawah Ninok Leksono membahas tentang iNews dan E-book dan bagaimana suratkabar kertas mulai merasa tersisih oleh teknologi ini. Satu antitesis dari dialektika fisik media. Ah, saya gak sabar untuk melihat teknologi apa yang akan menjadi sintesisnya..

anyway, enjoy!

————————————————————————————————————————————————–

Diunduh dari: http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/03/25/05073081/inews.dan.e-book.selamatkan.koran

LAPORAN IPTEK
iNews dan E-book Selamatkan Koran?

Rabu, 25 Maret 2009 | 05:07 WIB

 

Oleh NINOK LEKSONO

Surutnya era surat kabar di berbagai penjuru dunia telah banyak diwacanakan, antara lain ditandai oleh surutnya pendapatan iklan dan jumlah pelanggan, lebih-lebih dari kalangan muda. Tak bisa disangkal lagi bahwa generasi muda yang juga dikenal sebagai Generasi Digital atau Generation C lebih menyukai peralatan (gadget) untuk mendapatkan informasi.

Menghadapi era transisi atau era baru ini, berbagai pendapat masih saling adu kuat, antara yang masih percaya akan kelangsungan hidup surat kabar dan yang yakin bahwa media yang pernah sangat berpengaruh ini satu hari nanti akan punah.

Hari-hari ini, tokoh besar media seperti Rupert Murdoch berada dalam kebimbangan besar. Sesaat sebelum resesi marak, Murdoch membeli Dow Jones yang menerbitkan koran The Wall Street Journal senilai 5 miliar dollar AS (sekitar Rp 60 triliun). Itu karena Murdoch dikenal sebagai sosok yang punya kelekatan kuat terhadap surat kabar (meski ia juga diakui sebagai mogul multimedia abad ke-21). Tetapi, kini ketika surat kabar mengalami kemunduran paling buruk semenjak Depresi (Besar tahun 1930-an), analis media di Miller Tabak, David Joyce, sempat mendengar dari para investor bahwa News Corp (konglomerasi media milik Murdoch) boleh apa saja, kecuali koran (IHT, 24/2).

Tantangan terhadap media cetak memang sungguh hebat. Orang membandingkan, mengapa media ini tak setahan TV, misalnya. Bahkan, ketika orang sudah banyak menghabiskan waktu di depan layar internet, atau juga di layar video, tidak sedikit pula yang masih terus bertahan di depan layar TV. Sayangnya, dalam pertempuran di antara layar-layar tersebut, media cetak tertinggal di belakang (Print media losing in a world of screens, IHT, 9/2).

Berbagai ide dan upaya telah dilontarkan untuk menyelamatkan surat kabar. Satu problem yang disadari ketika surat kabar masih diharapkan terus menjadi sumber keuntungan adalah bahwa akan ada kesulitan yang melilit. Penjelasan ini bahkan muncul ketika versi online koran sangat berpengaruh seperti The New York Times sudah amat maju, dengan pengakses unik 20 juta. Penyebabnya adalah penghasilan dari online hanya mampu mendukung 20 persen kebutuhan stafnya.

Menghadapi defisit ini, diusulkan ada pengerahan dana abadi (endowment) bagi institusi media cetak sehingga mereka terbebaskan dari kekakuan model bisnis, dan dengan itu media cetak tetap punya tempat permanen di masyarakat sebagaimana kolese dan universitas. (Lihat pandangan David Swensen, Chief Investment Officer di Yale, dan Michael Schmidt, seorang analis finansial, di IHT, 31/1-1/2.)

Dukungan teknologi

Sebelum ini, salah satu pemikiran yang banyak dikemukakan untuk meloloskan media cetak dari kepungan media baru adalah dengan bergerak ke arah multimedia sehingga berita tidak saja disalurkan untuk koran, tetapi juga untuk media lain, dari radio, TV, hingga internet dan mobile/seluler. Ini selaras dengan realitas baru, di mana pencari berita memang dari kalangan pengguna media noncetak dan media baru. Paham pun beranjak dari pembaca (readership) ke audiens. (Ini pada satu sisi juga akan membebaskan pengelola surat kabar dari tekanan meningkatkan oplah yang semakin sulit.)

Dalam kaitan ini pula muncul sejumlah inisiatif yang diharapkan mampu mempertahankan eksistensi surat kabar. Dua di antara inisiatif teknologi yang dimajukan untuk berkembang, dan seiring dengan itu bisa membantu surat kabar, adalah iNews (berita melalui perangkat internet) dan e-book (buku elektronik).

iNews

Sebelum ini, salah satu model bisnis untuk mengangkat industri musik adalah melalui apa yang dilakukan Apple dengan toko musik online-nya yang terkenal, iTunes, yang tahun lalu menjual 2,4 miliar track (lagu).

Yang disediakan oleh Apple kemarin ini adalah antarmuka pengguna yang mudah digunakan dan kerja sama luas dengan perusahaan musik. Dengan itu, petinggi Apple, Steve Jobs, bisa membantu bisnis (industri musik) yang nyaris ambruk akibat maraknya aktivitas bertukar lagu (file sharing). Memang dengan itu Apple dituduh mengerdilkan merek besar. Tetapi, itu tetap ada baiknya karena toh perusahaan musik yang dikerdilkan tadi masih tetap hidup sampai kini.

Pengelola bisnis surat kabar pun bisa waswas bahwa Apple bisa melakukan hal yang sama terhadap mereka. Caranya juga sama, meyakinkan jutaan pembaca yang tertarik, yang selama ini mendapatkan berita secara gratis melalui situs surat kabar—seperti kompas.com—untuk membayar.

Pilihan ini memang tampak lebih ditujukan untuk menyelamatkan institusi pers karena manakala pendapatan merosot, yang terancam bukan hanya perusahaan yang memiliki koran, tetapi juga berita yang dihasilkannya (David Carr, Could an iNews rescue papers?, IHT, 13/1)

Ide mencari bantuan juga dilakukan sejumlah media lain karena jelas ”gratis bukan sebuah model (bisnis)”. Cook’s Illustrated yang punya resep segudang dilanggan oleh 900.000 orang dan ecerannya mencapai 100.000. Selain itu, perusahaan ini punya 260.000 pelangganonline yang membayar 35 dollar AS per tahun. Pertumbuhannya mencapai 30 persen tahun 2008.

Di luar itu, tetap harus diakui, paham gratis masih dominan di dunia maya. Yang piawai tentu Apple, yang bisa membujuk pembeli gadget-nya untuk mau membayar musik yang dibeli. Jobs melihat musik sebagai bisnis perangkat lunak untuk memacu penjualan iPod dan iPhone. Bisnis musik tidak sepenuhnya senang dengan itu, tapi terbukti bisa membujuk pendengar membayar isi (lagu) untuk perangkatnya.

Dengan alam pikir ini pula dipikirkan gadget yang juga bisa diterapkan untuk koran. Misalnya iPod touch yang akan diluncurkan musim gugur tahun ini, dengan ukuran layar 18 sampai 23 cm.

Untuk e-book ada strategi lain. Amazon, yang sebelum ini telah membuat alat pembaca buku elektronik bernama Kindle, belum lama ini mengatakan bahwa selain dengan Kindle, buku elektronik juga akan bisa dibaca dengan smart-phone. Plastic Logic, pembuat alat e-reader lain, kini juga telah membuat persetujuan dengan sejumlah majalah dan surat kabar (The Economist, 14-20/2).

Skenario serupa seperti diuraikan di atas untuk iNews—yakni dengan pembundelan pemasaran antara alat dan isi (content) diharapkan bisa diterapkan—untuk alat-alat pembaca e-book ini. Dengan itu, meski koran dalam wujud tradisionalnya surut, lembaganya diharapkan bisa tetap lestari.

Iklan

Lanjutan seamless communication

Salam,

Kalau posting yang ini baru dari laptop. kembali ke masalah seamless communication. Kalo Henry Jenkins bicara mengenai convergence culture antara old and new media. Maka fring adalah salah satu contohnya. 3 tahun yang lalu kita masih terpana dengan fenomena facebook, tahun lalu kita masih terpana dengan fenomena twitter, saat ini kita mulai terpana dengan fenomena semantic applications dan convergence applications. Ada yang mengatakan ini adalah bagian dari ubiquitous technology atau augmented application. Apa yang saya lihat bahwa sejarah selalu terulang dan saat ini apa yang dialami social media sama dengan apa yang dialami software development lainnya, mereka kemudian bersatu. Sudah merupakan nature of human bahwa insting kita akan selalu menuntut kita lebih menyenangi hal yang sederhana. Tahukah anda lukisan yang paling indah? bukan monalisa yang ada di Louvre. Saya sudah lihat itu monalisa, gak ada bagus2nya. Kalah ama sketsa wajah dari Leonardo da Vinci yang saya lihat di Parma. Ini menurut saya. Tapi saya mengerti mengapa orang menyenangi monalisa. Karena lukisan ini menyatukan ide2 kita tentang keindahan. Tidak ada yang lebih indah daripada sebuah gambar lingkaran yang sempurna. Ada sebuah cerita bahwa pada abad pertengahan ada seorang raja di eropa yang meminta seorang filsuf yang juga seorang ahli lukis untuk melukiskan lukisan terindah di dunia untuknya. Tahu apa yang digambar oleh pelukis-filsuf itu? dia menggambar sebuah lingkaran sempurna dengan satu tarikan. Pesan yang dibawa oleh sebuah gambar lingkaran sempurna itu sangat kuat, sebuah kesempurnaan. Sebuah awal dan akhir di saat yang bersamaan.

 

Insting manusia juga yang mengajarkan estetika untuk menyenangi keseluruhan (wholeness), kesederhanaan (simplicity), dan  kebersatuan (uniteness). Melihat fenomena bergabungnya social media developers seperti social networking sites yang akhirnya merujuk pada satu website, facebook. Hal ini menunjukkan bahwa estetika manusia memang belum berubah. Saya kira, melejitnya perkembangan facebook tidak karena sites yang lain buruk atau tidak menyediakan fasilitas yang sama. Semua Social Networking Sites (SNS) mempunyai fasilitas yang hampir sama. Tetapi sejarah lah yang mengarahkan kita bahwa kita sebenarnya menyukai kebersatuan (uniteness). Dan kita memilih facebook, despite berbagai alasan, karena kita menginginkan hak yang sebenarnya sederhana. Satu SNS untuk semua fasilitas, itu saja. Tanggapan yang sama juga saya kenakan pada Fring app untuk iPhone ini. Fring menyatukan hampir semua accounts chat yang popular di internet. Kemampuan fring untuk bisa di embed di berbagai tipe cell phone membuatnya sangat kuat sebagai contoh trend mobile communication next decade; murah, seamless karena geo-independence dan interoperable, tidak hanya tergantung pada satu device.

Seamless communication

Salam,

Saat menulis thread ini saya sedang mencoba app fring untuk iPhone. App nya menarik juga, bukan promosi sih.. Tetapi memang begitu menurut saya. Saat ini social media sudah menunjukkan evolusi baru yaitu convergence dari seamless communication. Tapi lebih enaknya says akan lebih jelaskan maksud saya posting selanjutnya. Secanggih2nya iPhone tetep aja layarnya kecil sehingga tidak nyaman buat nulis panjang.

Libraries are not in books business

Salam,

 

ini ada satu link video dari livescience yang menarik tentang project digitasi buku oleh perpustakaan. Yang menarik menurut saya adalah endingnya yang mengatakan, “ada suatu cerita di dunia business mengapa industri perkereta apian gagal di amerika karena para pemainnya berpikir bahwa mereka bermain di bisnis kereta api. Padahal mereka sebenarnya berada di dunia bisnis transportasi. Hal yang sama juga buat perpustakaan, libraries are not in books business..”

 

here’s the link, enjoy!

http://www.livescience.com/common/media/video/player.php?videoRef=05_nxtp_scanning

Ponari, Mubarok, dan Komunikasi yang Terdistorsi

Salam, Seyogyanya tulisan dibawah ini akan saya kirim buat sebuah koran lokal di lampung bulan lalu waktu isu ini masih hangat2nya tetapi tidak jadi karena kata redaktur pelaksananya tidak cukup lokal, ya memang tidak..  anyway, semoga bermanfaat…

—————————————————————————————————————————————————

 

Kisah pertama, seorang pembaca di salah satu portal berita terbesar di Indonesia mengatakan bahwa kisah si dukun cilik Ponari lebih menarik dari pada cerita sinetron di televisi nasional, menurut dia ”This time is real.”(11/02). Dan memang,  walaupun penulis sendiri masih tidak percaya bahwa begitu banyak orang yang rela mengantri, dengan membawa sebotol air putih supaya bisa dicelupkan batu yang katanya ditunggui dua makhluk gaib, dan sembuh dari penyakitnya. Tetapi memang ini kenyataannya. Lebih menarik lagi jika membaca respon pembaca berita mengenai Ponari di beberapa portal berita di tanah air. Ada yang berspekulasi bahwa fenomena ini hanya kebetulan saja, ada yang mengatakan itu musyrik, ada lagi yang menulis ingin tahu alamat Ponari karena pembaca tersebut tinggal di Jakarta, ada yang juga yang mengatakan ah itu ada-ada saja, siapa yang tahu?

 

Kisah kedua, soal pernyataan Ahmad Mubarok, salah seorang petinggi Partai Demokrat, tentang opininya mengenai Partai Golkar di pemilu 2009 yang kemudian mendapat respon beragam dari berbagai pihak. Dari sisi komunikasi, diskusi wacana dalam media mengenai isu ini sangat menarik untuk dikaji. Seorang petinggi partai yang dikutip sebagian dari pernyataannya oleh wartawan yang kemudian menjadi salah satu krisis politik terbesar sebelum pemilu 2009. Ini juga lebih menarik dari cerita sinetron di  televisi nasional. Petinggi-petinggi negeri di Indonesia juga tidak kurang semangat merespon atau lebih tepat menyiram minyak di api yang baru menyala. Penulis bukan ahli politik, jadi tidak akan ada analisa politik di tulisan ini.

 

Kedua kisah diatas adalah bagian dari beberapa isu-isu hangat yang ada di media di Indonesia saat ini. Beberapa ahli komunikasi massa percaya bahwa media ada wajah atau cermin dari perilaku masyarakatnya karena media massa selalu menangkap dan mengutip apa yang telah, sedang dan akan terjadi di masyarakat. Beberapa ahli komunikasi yang lain juga percaya bahwa media lebih dari sebuah cermin, media adalah berita itu sendiri dan ruang yang diakomodasinya. Untuk yang terakhir, konsep Jurgen Habermas mengenai ruang publik adalah salah satunya. Teori Habermas mengenai ruang publik diawali oleh pengamatannya terhadap kondisi Jerman pasca perang dunia ke dua, dimana kondisi politik saat itu ikut menggeser dan merubah tatanan aspek peradaban Jerman sebagai sebuah bangsa, termasuk ekonomi, sosial, dan budaya.

 

Menurut Habermas, masyarakat (society) berdiri dengan ditopang oleh tiga ’mekanisme yang mengatur’ (steering mechanism), yaitu kekuasaan (power), uang (money), dan solidaritas (solidarity). Untuk dua yang pertama, mekanisme tersebut beroperasi di dalam sistem politik dan ekonomi dari masyarakat sedangkan yang mekanisme yang terakhir berjalan di dalam kehidupan keseharian dari masyarakat tersebut (lifeworld) seperti tradisi dan lingkungan sosial dimana anggota-anggota dari masyarakat berinteraksi (Communicative Action II, 119-52).  Sistem-sistem yang ada di dunia di selalu di dominasi oleh aksi-strategis dengan capaian akhir adalah terlaksananya tujuan yang diinginkan. Mekanisme kekuasaan dan uang di dalam ruang publik juga tidak terlepas dari itu. Di sisi lain mekanisme kehidupan keseharian (lifeworld) lebih dipengaruhi oleh tindakan komunikatif dari ruang publik. Persimpangan dari pertukaran makna yang berujung pada adanya kesamaan pengertian, dan dalam beberapa kasus berupa timbulnya pemaksaan atas argumentasi yang dianggap lebih baik.

 

Untuk menjembatani antara mekanisme kehidupan keseharian dan mekanisme yang lain maka timbullah ruang publik antara atau yang disebut Habermas sebagai ruang publik politis. Di dalam ruang publik antara ini, ketidaksamaan-ketidaksamaan yang dihasilkan oleh sistem-sistem yang ada diharapkan bisa dilibatkan atau bahkan diselesaikan, atas dasar dominasi tentunya. Berbicara mengenai dominasi dalam ruang publik, sebagai individual masing-masing dari kita memiliki identitas di dalam masyarakat, yang beberapa didalamnya kita dapatkan dalam bentuk warisan-warisan identitas misalkan kesukuan atau ras atau bahkan haluan politik. Ketika masing-masing identitas tersebut berbicara di dalam ruang publik antara maka tarik-menarik dominasi terjadi, disinilah munculnya efek komunikasi yang  terdistorsi (dissorted communication). Komunikasi ini bukan komunikasi yang tidak lengkap dan bukan pula efek pesan yang terganggu oleh halangan-halangan komunikasi (noise), komunikasi yang terdistorsi adalah tumpang tindih antar umpan balik dalam saluran komunikasi.

 

Menilik respon pembaca mengenai Ponari yang diawali dari berita adanya korban meninggal dunia dalam antrian pasien dukun cilik tersebut dan diikuti oleh liputan-liputan media mengenai siapakah Ponari dan ke’sakti’annya kita bisa melihat bahwa respon yang muncul dari pembaca telah menciptakan pesannya sendiri. Pesan tersebut berkaitan dengan kata yang juga sangat terkenal belakangan ini yaitu ’alternatif’. Ya, Ponari adalah sebuah pesan alternatif dari kehidupan keseharian (lifeworld) masyarkat. Diawali dengan mengobati tetangganya yang sedang sakit panas dan muntah-muntah (mungkin masuk angin), dan sembuh. Pesan yang dihantar tidak lagi Ponari sebagai penolong tetapi Ponari sebagai alternatif penyembuhan. H. Rosyid, salah seorang pasien Ponari mengatakan, ”Bocah dukun itu sembuhkan ’setrup’ saya” (Kompas, 4/2), H. Rosyid tidak berkomentar mengenai batu ajaib, dia berkomentar mengenai Ponari. Aksi komunikasi yang di awali oleh aksi pertolongan ditumpangi dengan umpan balik mengenai pengobatan alternatif.

 

Melanjut ke kasus Ahmad Mubarok, dominasi argumentasi yang bisa kita simak di koran-koran nasional saat ini tidak lagi mengenai Mubarok. Pesan yang disampaikan telah menjauh subjek penciptanya. Analisa penulis, konteks pesan telah mendistorsi sedemikian rupa sehingga yang berperang saat ini bukan lagi makna asalnya tetapi aksi-strategis dari pihak-pihak yang memberikan umpan balik. Jika hal ini berjalan normal, menurut kacamata komunikasi, maka akan muncul sebuah kesepahaman pengertian, tetapi jika tidak maka dominasi dari argumentasi yang dianggap terbaik dalam menyingkapi pendapat Ahmad Mubarok lah yang akan muncul. Pertanyaan selanjutnya, apakah komunikasi yang terdistorsi dalam kasus Ponari dan Ahmad Mubarok adalah baik atau buruk? Ruang publik pada hakikatnya adalah bebas nilai, ini artinya tergantung siapa yang mendominasinya. Dan pertanyaan baik dan buruk adalah sebuah pertanyaan moral dibandingkan etika, karena itu penulis menyerahkan sepenuhnya kepada pembaca untuk mendominasinya.