Salam, Seyogyanya tulisan dibawah ini akan saya kirim buat sebuah koran lokal di lampung bulan lalu waktu isu ini masih hangat2nya tetapi tidak jadi karena kata redaktur pelaksananya tidak cukup lokal, ya memang tidak.. anyway, semoga bermanfaat…
—————————————————————————————————————————————————
Kisah pertama, seorang pembaca di salah satu portal berita terbesar di Indonesia mengatakan bahwa kisah si dukun cilik Ponari lebih menarik dari pada cerita sinetron di televisi nasional, menurut dia ”This time is real.”(11/02). Dan memang, walaupun penulis sendiri masih tidak percaya bahwa begitu banyak orang yang rela mengantri, dengan membawa sebotol air putih supaya bisa dicelupkan batu yang katanya ditunggui dua makhluk gaib, dan sembuh dari penyakitnya. Tetapi memang ini kenyataannya. Lebih menarik lagi jika membaca respon pembaca berita mengenai Ponari di beberapa portal berita di tanah air. Ada yang berspekulasi bahwa fenomena ini hanya kebetulan saja, ada yang mengatakan itu musyrik, ada lagi yang menulis ingin tahu alamat Ponari karena pembaca tersebut tinggal di Jakarta, ada yang juga yang mengatakan ah itu ada-ada saja, siapa yang tahu?
Kisah kedua, soal pernyataan Ahmad Mubarok, salah seorang petinggi Partai Demokrat, tentang opininya mengenai Partai Golkar di pemilu 2009 yang kemudian mendapat respon beragam dari berbagai pihak. Dari sisi komunikasi, diskusi wacana dalam media mengenai isu ini sangat menarik untuk dikaji. Seorang petinggi partai yang dikutip sebagian dari pernyataannya oleh wartawan yang kemudian menjadi salah satu krisis politik terbesar sebelum pemilu 2009. Ini juga lebih menarik dari cerita sinetron di televisi nasional. Petinggi-petinggi negeri di Indonesia juga tidak kurang semangat merespon atau lebih tepat menyiram minyak di api yang baru menyala. Penulis bukan ahli politik, jadi tidak akan ada analisa politik di tulisan ini.
Kedua kisah diatas adalah bagian dari beberapa isu-isu hangat yang ada di media di Indonesia saat ini. Beberapa ahli komunikasi massa percaya bahwa media ada wajah atau cermin dari perilaku masyarakatnya karena media massa selalu menangkap dan mengutip apa yang telah, sedang dan akan terjadi di masyarakat. Beberapa ahli komunikasi yang lain juga percaya bahwa media lebih dari sebuah cermin, media adalah berita itu sendiri dan ruang yang diakomodasinya. Untuk yang terakhir, konsep Jurgen Habermas mengenai ruang publik adalah salah satunya. Teori Habermas mengenai ruang publik diawali oleh pengamatannya terhadap kondisi Jerman pasca perang dunia ke dua, dimana kondisi politik saat itu ikut menggeser dan merubah tatanan aspek peradaban Jerman sebagai sebuah bangsa, termasuk ekonomi, sosial, dan budaya.
Menurut Habermas, masyarakat (society) berdiri dengan ditopang oleh tiga ’mekanisme yang mengatur’ (steering mechanism), yaitu kekuasaan (power), uang (money), dan solidaritas (solidarity). Untuk dua yang pertama, mekanisme tersebut beroperasi di dalam sistem politik dan ekonomi dari masyarakat sedangkan yang mekanisme yang terakhir berjalan di dalam kehidupan keseharian dari masyarakat tersebut (lifeworld) seperti tradisi dan lingkungan sosial dimana anggota-anggota dari masyarakat berinteraksi (Communicative Action II, 119-52). Sistem-sistem yang ada di dunia di selalu di dominasi oleh aksi-strategis dengan capaian akhir adalah terlaksananya tujuan yang diinginkan. Mekanisme kekuasaan dan uang di dalam ruang publik juga tidak terlepas dari itu. Di sisi lain mekanisme kehidupan keseharian (lifeworld) lebih dipengaruhi oleh tindakan komunikatif dari ruang publik. Persimpangan dari pertukaran makna yang berujung pada adanya kesamaan pengertian, dan dalam beberapa kasus berupa timbulnya pemaksaan atas argumentasi yang dianggap lebih baik.
Untuk menjembatani antara mekanisme kehidupan keseharian dan mekanisme yang lain maka timbullah ruang publik antara atau yang disebut Habermas sebagai ruang publik politis. Di dalam ruang publik antara ini, ketidaksamaan-ketidaksamaan yang dihasilkan oleh sistem-sistem yang ada diharapkan bisa dilibatkan atau bahkan diselesaikan, atas dasar dominasi tentunya. Berbicara mengenai dominasi dalam ruang publik, sebagai individual masing-masing dari kita memiliki identitas di dalam masyarakat, yang beberapa didalamnya kita dapatkan dalam bentuk warisan-warisan identitas misalkan kesukuan atau ras atau bahkan haluan politik. Ketika masing-masing identitas tersebut berbicara di dalam ruang publik antara maka tarik-menarik dominasi terjadi, disinilah munculnya efek komunikasi yang terdistorsi (dissorted communication). Komunikasi ini bukan komunikasi yang tidak lengkap dan bukan pula efek pesan yang terganggu oleh halangan-halangan komunikasi (noise), komunikasi yang terdistorsi adalah tumpang tindih antar umpan balik dalam saluran komunikasi.
Menilik respon pembaca mengenai Ponari yang diawali dari berita adanya korban meninggal dunia dalam antrian pasien dukun cilik tersebut dan diikuti oleh liputan-liputan media mengenai siapakah Ponari dan ke’sakti’annya kita bisa melihat bahwa respon yang muncul dari pembaca telah menciptakan pesannya sendiri. Pesan tersebut berkaitan dengan kata yang juga sangat terkenal belakangan ini yaitu ’alternatif’. Ya, Ponari adalah sebuah pesan alternatif dari kehidupan keseharian (lifeworld) masyarkat. Diawali dengan mengobati tetangganya yang sedang sakit panas dan muntah-muntah (mungkin masuk angin), dan sembuh. Pesan yang dihantar tidak lagi Ponari sebagai penolong tetapi Ponari sebagai alternatif penyembuhan. H. Rosyid, salah seorang pasien Ponari mengatakan, ”Bocah dukun itu sembuhkan ’setrup’ saya” (Kompas, 4/2), H. Rosyid tidak berkomentar mengenai batu ajaib, dia berkomentar mengenai Ponari. Aksi komunikasi yang di awali oleh aksi pertolongan ditumpangi dengan umpan balik mengenai pengobatan alternatif.
Melanjut ke kasus Ahmad Mubarok, dominasi argumentasi yang bisa kita simak di koran-koran nasional saat ini tidak lagi mengenai Mubarok. Pesan yang disampaikan telah menjauh subjek penciptanya. Analisa penulis, konteks pesan telah mendistorsi sedemikian rupa sehingga yang berperang saat ini bukan lagi makna asalnya tetapi aksi-strategis dari pihak-pihak yang memberikan umpan balik. Jika hal ini berjalan normal, menurut kacamata komunikasi, maka akan muncul sebuah kesepahaman pengertian, tetapi jika tidak maka dominasi dari argumentasi yang dianggap terbaik dalam menyingkapi pendapat Ahmad Mubarok lah yang akan muncul. Pertanyaan selanjutnya, apakah komunikasi yang terdistorsi dalam kasus Ponari dan Ahmad Mubarok adalah baik atau buruk? Ruang publik pada hakikatnya adalah bebas nilai, ini artinya tergantung siapa yang mendominasinya. Dan pertanyaan baik dan buruk adalah sebuah pertanyaan moral dibandingkan etika, karena itu penulis menyerahkan sepenuhnya kepada pembaca untuk mendominasinya.