Libraries are not in books business

Salam,

 

ini ada satu link video dari livescience yang menarik tentang project digitasi buku oleh perpustakaan. Yang menarik menurut saya adalah endingnya yang mengatakan, “ada suatu cerita di dunia business mengapa industri perkereta apian gagal di amerika karena para pemainnya berpikir bahwa mereka bermain di bisnis kereta api. Padahal mereka sebenarnya berada di dunia bisnis transportasi. Hal yang sama juga buat perpustakaan, libraries are not in books business..”

 

here’s the link, enjoy!

http://www.livescience.com/common/media/video/player.php?videoRef=05_nxtp_scanning

Iklan

ENA, Information Ecosystem, and Web Science

Salam,

 

Saya sudah di Luxembourg! in fact sejak hari pertama kedatangan saya sudah sangat disibukkan dengan diskusi, tugas-tugas, dan konferensi.  Minggu lalu saya baru saja menghadiri the Seventh World Wide Forum on Education and Culture, konferensinya sangat menarik, banyak isu-isu terdepan di bidang pendidikan dan budaya yang diketengahkan oleh praktisi dan pakar dari 26 negara, yang menarik adalah saya adalah satu-satunya peserta dari Indonesia (dimana yang lain, hello mendiknas, dikti??… ada orang??) dari Malaysia saja ada sekitar 6 pemakalah dan seperti yang sudah diduga US mendominasi setiap session. And Rome.. Rome adalah kota yang sangat indah.. setiap sudut mempunyai signified-nya sendiri (I took the idea from Sue Myburgh regarding Bologna, pretty much the same…).

 

Di CVCE saat ini saya sedang berkutat dengan ide untuk memetakan information ecosystem untuk the European Navigator (http://www.ena.lu), saya baru saja mendengar istilah info eco ini dari Frederic Andres, supervisor saya in CVCE. Information ecosystem sangat menarik untuk dikaji terutama jika dikaitkan dengan web ecology, tidak saja karena web ecology adalah istilah baru yang banyak didengungkan pengkaji web science tetapi juga secara konsep masih baru, jadi masih banyak kesempatan dan peluang untuk menjelajahi konsep ini secara keilmuan. Sejauh ini pengertian saya mengenai shema information ecosystem setidaknya harus bisa menggambarkan 5 hal:

1.  Service flow,

2. Information and knowledge flow

3. Information lifecycle

4. Karakteristik dari sistem (equilibrium, associative/cybernet, wholeness)

5. In addition, material and value flow (information value chain)

Selain itu tips tambahan adalah KISS (Keep It Simple Stupid!) and leave ‘creativity’ to the bad designer, ini sangat penting, atas nama usability!

 

Point penting yang saya ingin cantumkan juga dalah mengenai Web Science sebagai cabang ilmu baru, tidak lain dari seorang Tim Berners-Lee sendiri mensupport dari berdirinya cabang ilmu ini. Saya sendiri masih menunggu perkembangan selanjutnya terutama mengenai epistimilogy dari ilmu ini, saya masih belum melihat Web Science telah memenuhi kriteria untuk dianggap sebagai ilmu terpisah dari cabang ilmu lain seperti information science misalnya, atau internet studies. Melihat perkembangan dari gerakan beberapa ilmuwan (again from US!) selama 3 tahun terakhir mengenai Web Science , workshop mereka di awal tahun ini, dan konferensi pertama Web Science di Athena, Yunani Maret 2009  yang akan datang saya kira kita akan melihat kristalisasinya dalam 3-4 tahun ke depan apakah semantic atau web 3.0 akan melahirkan studi tersendiri atau web science berhasil mengadopsinya sebagai bagian dari kajian mereka.

 

 

Riza

The European Navigator (ENA)

Salam,

 

Hari ini g mendapat kehormatan untuk bertemu Marriane Backes, direktur dari CVCE (jangan tanya kepanjangannya.. please…) lembaga yang bertujuan mendokumentasikan atau membangun digital library tentang proses integrasi uni eropa. Dalam diskusi (f2f lho…) g mengajukan pendapat g tentang implementasi social software dalam the european navigator (ENA, http://www.ena.lu/), oh ya the european navigator adalah browser yang dikembang CVCE untuk mengakses database mereka, anyway setelah mengemukakan beberapa alternative projects dan suggestion bahwa jika implementasi ini berhasil maka ENA akan mempunyai salah satu service yang bisa ditawarkan either untuk funding atau public service. Madam Backes setuju dan mengharapkan kehadiran g di Luxemburg, tepatnya di Sanem sekitar 45 menit dari luxemburg, untuk membahas project lebih lanjut dan bertemu dengan interactive team yang menangani ENA interface.

 

Overall, g sangat senang sekali, pertama, karena ini bisa dijadikan bagian dari internship yang ada di module yang sedang g tempuh. Kedua, karena g bisa mempunyai pengalaman bekerja di lembaga setidaknya multinasional karena CVCE di prakarsai oleh uni eropa dan dibiayai oleh 3 negara. Ketiga, setidaknya ini bisa mengobati kekecewaan g karena tidak jadi ke CERN although ketidakjadian ini lebih karena birokrasi di parma university dibandingkan kesesuaian interest, actually pihak CERN juga sudah mendapat informasi mengenai proposal g dan udah approval tetapi karena kesalahan penempatan sehingga temen seangkatan g yang berangkat, tetapi sudahlah, sekarang g lebih optimis dengan ENA.

 

Luxemburg, here I come!

Workshop on Greenstone (2)

Salam,

 

Tulisan pada hari ke 2 workshop on greenstone ini terlambat karena sesi ke 2 tersebut saya begitu disibukkan dengan materi yang ada, mulai jam 9 pagi hingga jam 7 malam, satu2nya jeda yaitu makan siang selama 1 jam, itupun lebih saya manfaatkan untuk berkonsultasi dengan Ian Witten. Beberapa hal menarik mengenai greenstone yaitu mengenai macros-nya. Stringnya hanya berdasarkan plain HTML jadi pustakawan awam pun bisa mengoperasionalisasikannya. Ian mendemonstrasikan beberapa hal seperti mengorganisir koleksi multimedia dan personalisasi interface semuanya dengan melalui command di librarian interface. Walaupun begitu, kesimpulan akhir saya tetap sama dengan laporan yang saya buat tahun lalu, greenstone terlalu kaku dalam pengertian desain interface dan metadata harvesting, berbeda dengan Ganesha Digital Library yang menggunakan konsep network of network (neons), greenstone di desain hanya untuk single entry server, jadi server yang mengelola metadata dan database material adalah sama. Saya bertanya kepada Ian apakah ia ada keinginan untuk mengubah tampilan greenstone untuk lebih friendly and lebih ‘2.0’ ian menjawab bahwa greenstone adalah software DL yang berasal dari computer scientists persepective jadi untuk mengubah tampilan greenstone setidaknya 5 tahun ke depan belum ada dipikirannya. Menurut saya itu sangat disayangkan, mengingat trend interface adalah seperti trend perilaku manusia, tidak mengikuti trend yang ada berarti menganulir bahwa ada pengguna dari software yang kita kembangkan. Anyway, that’s just my opinion, here’s some pictures from the workshop.

 

 

  

Workshop on Greenstone (day 1)

Salam,

 

Hari ini adalah hari pertama workshop on greenstone dengan Ian Witten, pencipta, well lebih tepat head of coordinator, dari greenstone, dan pengarang bestseller “How to Build a Digital Library?”. Anyway, he is a big man. Sejak awal, Ian sudah berhasil menarik perhatian para peserta dengan joke2 nya, not bad for a computer professor, sejak awal juga saya sudah dibuat sibuk karena saya satu2nya perserta yang berhasil menginstall greenstone di Vista dan ini menyebabkan saya agak tertinggal beberapa modul (kayaknya 5 modul awal deh…). Tetapi secara keseluruhan tidak ada hal baru yang saya pelajari di bagian interfacenya, karena semua itu sudah saya pelajari tahun lalu di oslo. Beberapa hal yang baru terutama dengan penggunaan metadata dan hirarki yang ternyata banyak tips-tipsnya. Ian secara baik hati menyontohkan customization hirarki dan beberapa tips mengelola search dan klasifikasi metadata.

 

Besok akan saya update dengan foto-foto dari workshop dan beberapa hal baru yang saya pelajari tentang greenstone, karena sekarang capek banget, mau tidur…

 

Riza

Social software di website PTN

Salam,

Saya melakukan survey kecil-kecilan untuk melihat sebenarnya seberapa banyak website2 PTN di Indonesia yang sudah menggunakan social software. Hasilnya cukup mengejutkan di satu sisi sedangkan di sisi yang lain sudah bisa ditebak. Jumlah website yang sudah menggunakan social software seperti di duga masih dibawah setengah, 40% tepatnya. Ini saya hitung dari jumlah website yang menerapkans setidaknya RSS feed walaupun begitu saya kagum dengan beberapa website yang telah menggunakan blogs bahkan ada yang dispesifikasikan seperti blog untuk mahasiswa, dosen, dan untuk karyawan. Walaupun jumlahnya masih sekitar 14% dari total website tapi saya anggap sudah bisa menunjukkan trend penyerapan TIK yang cukup baik. 14% juga jumlah website yang telah menyediakan fasilitas chat/IRC/atau forum diskusi interaktif.

Secara keseluruhan saya menilai bahwa PTN-PTN di Indonesia masih rendah dalam pemanfaatan social software di website resmi institusinya. Mengingat teknologi ini sebenarnya bukan hal baru bahkan jika mengasumsikan bahwa web 2.0 adalah masa dimulainya pemanfatan social software maka setidaknya sudah 4 tahun sejak web 2.0 mulai di dengungkan dan PTN-PTn di Indonesia sepertinya belum begitu mendengarnya, padahal saya kenal dengan beberapa orang ‘hebat’ di bidang web technology di Indonesia yang justru di websitenya tidak ada social software sama sekali, irony. Saya berpendapat bahwa website Universitas Padjajaran adalah website PTN terbaik di Indonesia dalam segi pemanfaatan social softwarenya terutama dengan dengan adanya portal live.unpad dan video.unpad yang menurut saya inovatif dan patut ditiru atau dilampaui oleh website PTN-PTn lainnya di Indonesia. Anyway, berikut tabelnya; enjoy

Riza

Social Software and Teaching-learning (3)

melanjutkan…

Theoretical background yang saya temukan tentang pemanfaatan social software ini ternyata bisa dirujuk hingga 11 tahun yang lalu yaitu saat dimana beberapa perusahaan di US menggunakan sebuah sistem seperti wiki dalam membantu mereka memecahkan masalah yang berkaitan dengan common understanding dalam training pegawai-pegawai mereka. Tidak hanya Eijkman, sebelum beliau pun sudah ada beberapa ahli di eropa dan amerika yang sudah melihat potensi implan dari social software ke dalam e-learning, jadi sekali lagi ide ini bukan saya yang mengada-adakan. Ini realiable secara konsep dan teori.

Setelah melakukan proses wawancara dengan 4 informan dari 4 universitas negeri di Indonesia yaitu dari Unila, Unpad, Unsri, UNS beberapa temuan yang mengejutkan yaitu para informan tersebut sudah bisa saya katakan advanced dalam pemanfaatan teknologi untuk pembelajaran inovatif tetapi progress tersebut sayangnya masih informal, dari pengakuan mereka hampir 90% waktu mereka dalam menggunakan social software justru tidak dalam program yang sudah dimiliki universitas artinya semua efforts mereka dilakukan secara pribadi, yang paling di dukung oleh universitas adalah dengan menyediakan internet gratis. Asumsi pertama saya bahwa universitas negeri sebagai universitas terdepan di masing daerah-daerahnya seharusnya sudah familiar dengan teknologi web dan sudah mempunyai program yang berkaitan dengan penggunaan teknologi web ini dalam proses belajar-mengajarnya, yang in contradictory ternyata belum.

Jika dicari di wikipedia, maka kita akan ketemu 18 macam dari social software dan saya prediksi evolusi masih akan terus terjadi kedepannya karena dalam kategorisasi tersebut masih memasukkan internet chat tersebut dari fasilitas social software yang lain padahal kita semua tahu bahwa beberapa SNS pun sudah memasukkan fasilitas chat dalam halaman profil para membernya. Lalu, kategori2 tersebut juga tidak memasukkan fasilitas file-sharing atau custom application. Yaa namanya juga wikipedia… gak semua isinya bisa dipercaya…

Social Software for teaching-learning (2)

Melanjutkan tulisan sebelumnya…

Kita sudah mengenal berbagai macam aplikasi VLE (virtual learning environment) atau awam disebut sebagai e-learning dan kita setidaknya sudah mendengar kegunaannya. VLE, setidaknya apa yang saya pikirkan, mempunyai karakteristik individuallist, pedagogy yang diajarkan yaitu siswa diharapkan mampu men-sintesa modul pembelajaran secara mandiri. Dalam satu aspek itu bagus, sesuai dengan arti individu sendiri, tetapi disatu aspek masih diragukan kedalaman dari siswa dalam memahami pengetahuan. Ini ironi dengan makna dari pengetahuan itu sendiri, dalam knowledge management, pengertian dari knowledge (pengetahuan) yang saya pahami hanya bisa didapatkan dengan interaksi, informasi dalam pikiran manusia yang ditangkap (capture) melalui ekspresi kebahasaan lalu dikodifikasi ke dalam media sehingga bisa menghasilkan pengetahuan.

Henry Eijkman sudah memulai inisiasi untuk menambahkan fitur web 2.0 ke dalam sistem e-learning di High School2. Saya tidak ingin menggunakan kata web 2.0 karena itu adalah labelnya O’reilly tetapi saya ingin menambahkan bahwa saya setuju dengan Eijkman bahwa e-learning harus ber-evolusi sesuai perkembangan teknologi web yang ada tetapi saya ingin mendifferensiasikan penamaan dengan lebih mengedepankan bahwa fitur-fitur yang bisa ditambah tersebut lebih tepat kalau kita sebut sebagai social software.