New Notions of Media (bagian 1)

Salam,

 

Tulisan ini dibuat berdasarkan kuliah umum Dr. Karol Jakubowicz, seorang pakar media di Eropa khususnya pada ’public service broadcasting’ hari ini (16/04/2009) di Tallinn University, Estonia. Kuliahnya berjudul ”New Notions of Media: How digital technologies and social change redefine the media.” Kuliah tersebut sangat menarik sekali dan memberikan banyak inspirasi kepada saya mengenai perkembangan teknologi media khususnya pada genre new media. Untuk itu pula saya bermaksud untuk membagi pengalaman saya kepada para pembaca dengan harapan akan memicu diskusi dan dialektika yang berguna pada kondisi di Indonesia kedepannya. Karena kuliahnya sangat panjang begitu pula catatan saya maka saya membagi tulisan ini menjadi setidaknya 2 bagian.

 

Dr. Jakubowicz memulai kuliahnya dengan menyajikan fakta dan data mengenai perkembangan user-generated media (UGM) di US dan Eropa. Fakta mengatakan bahwa saat ini 6 dari 10 remaja usia 17-24 di Eropa dan US tidak lagi menonton siaran televisi, at all. Waktu yang dihabiskan oleh remaja-remaja tersebut untuk berselancar di dunia maya (accessing the web) telah melebihi (surpass) waktu yang mereka habiskan di depan televisi. Yang menarik dari presentasi awal ini menurut saya adalah pernyataan Jakubowicz yang membuat persamaan online video service sebagai suatu bentuk media rich. Ini menarik karena kalau kita tinjau teori media richness yang diajukan oleh Daft & Lengel (1986) yaitu bahwa komunikasi tatap muka adalah komunikasi yang memiliki tingkat kekayaan media tertinggi. Dimana suatu media dianggap media yang kaya akan proses komunikasi dan informasi jika media tersebut efektif dalam membuka saluran penyampaian pesan baik verbal maupun non-verbal. Jadi ukuran yang dipakai teori ini adalah kualitas penyampaian pesan. Nah, merujuk pada anggapan Jakubowicz bahwa online video service adalah sebuah media yang kaya (tidak jelas apa yang dia maksudkan ’kaya’) lebih menunjukkan pada kuantitas dari pesan yang dapat disampaikan oleh media yang bersangkutan. Terlebih lagi kalau jika kita telaah bahwa online video service itu sendiri sebenarnya adalah sebuah meta-media, media yang menyampaikan media. Disini dugaan awal saya adalah adanya kontradiksi pada pengertian media kaya informasi itu sendiri.

 

Selanjutnya Jakubowicz, menyinggung pesatnya perkembangan twitter sebuah suatu bentuk baru pelayanan informasi. Dia mengajukan pertanyaan apakah twitter bisa dianggap sebagai suatu media berita (news media)? Hmm, saya kira ini memerlukan diskusi yang lebih lanjut di luar artikel ini.. (tentunya jika ada yang tertarik). Jakubowiczkemudian menyajikan konsepnya mengenai bagaimana perubahan paradigma (sebuah istilah yang masih kabur..) dari komunikasi massa saat ini. Saya tidak bisa menyajikan diagramnya karena diagram ini adalah HAKI-nya Dr. Jakubowicz, tetapi saya bisa coba jelaskan. Pada definisi komunikasi massa konvensional, proses komunikasi dijelaskan melibatkan karakteristik seperti informasi dari satu produser kepada banyak penerima (one-to-many, sifat komunikan yang masif (mass audience) dan adanya peran penjaga gawang (gatekeeper) dalam menyaring informasi/berita. On the other hand, adanya proses komunikasi pribadi (private) yang melibatkan interpersonal ditandai dengan karakter komunikan yang individual dan penyebaran informasinya yang dari satu produser kepada satu penerima (one-to-one).

 

Jakubowicz argued bahwa saat ini telah terjadi proses silang konversi (cross-convergence) antara proses komunikasi massa dengan komunikasi pribadi (interpersonal).  Media massa tidak lagi hanya menyajikan informasi dari satu penerbit (publisher) sebagai produser ke banyak penerima tetapi proses informasi juga berjuktaposisi dengan memfasilitasi banyak pembaca sebagai produser informasi kepada penerbit (many-to one) dan pula banyak pembaca kepada banyak penerbit (many-to-many). Proses ini memungkinkan, misalnya, setiap orang menjadi penerbit dengan menulis sebuah berita di blog pribadinya dan semua pembaca bisa memberikan komentar (many-to-one) atau google news sebagai contoh media agregasi dari berbagai layanan berita bagi semua anggota layanan tersebut (many-to-many). Proses tersebut dimungkinkan dengan hadirnya internet sebagai penengah dari proses konvergensi tersebut. Jakubowicz juga mencontohkan layanan televisi berbasis broadband (BTV) yang bisa dianggap sebagai pilar keempat dari layanan penyiaran televisi setelah satelit, kabel, dan terrestrial.

 

Selanjutnya Jakubowicz menyajikan konsep dari adanya perubahan mode komunikasi manusia saat ini, berkaitan dengan penggunaan new media, kontrol informasi dari yang terpusat menuju individu dan kontrol atas waktu dan pilihan subjek. Menurutnya terjadi pergeseran dari kontrol informasi yang sebelumnya; Pertama, pada tingkatan terpusat disebut alokasi (allocation) dengan karakteristik kontrol waktu dan pilihan subjek yang didorong (push information) menuju proses komunikasi konsultasi (pull information). Kedua, mode kontrol proses komunikasi tersebut kemudian menyilang pada tingkatan individu dari mode alokasi menuju mode pembicaraan (conversation) dimana feedback individu sangat dimungkinkan. Proses baru ini kemudian disebutnya sebagai ’semiotika demokrasi’ (semiotic democracy). Menurut Jakubowicz pada mode komunikasi baru ini dimungkinkan tidak adanya lagi passive communication seperti yang umumnya ditemui pada proses komunikasi massa konvensional. Selain itu, dia menggarisbawahi pada munculnya fenomena disintermediation dimana pihak-pihak yang menghasilkan berita tidak lagi tergantung pada perusahaan media ataupun jurnalis untuk menghasilkan sebuah berita. Beliau mencontohkan lahirnya gerakan citizen journalism dan fenomena bloggers sebagai penghasil berita. Lebih lanjut, dijelaskan pula suatu konsep yang disebutnya Neo-intermediation dimana sekali lagi Jakubowicz mencontohkan content aggregators dan packagers, penjelasan ini menurut saya bisa disebut sebagai fenomena meta-media.

 

Saya akan cukupkan sampai disini dulu untuk bagian yang pertama ini.

Iklan

Another thought about seamless communication..

Ini artikel dari kompas cetak hari ini (25/03/2009) yang saya unduh dari versi onlinenya. Ini kali pertamanya saya menampilkan tulisan orang lain di blog ini karena menurut saya tulisan dosen UI yang juga senior editor di harian Kompas ini selain bagus juga tepat dengan apa yang saya pikirkan saat ini, yaitu tentang seamless communication dan bagaimana perkembangan teknologi saat ini telah mencapai tahap baru dalam evolusi media. Open access, open source, dan gerakan open2 lainnya turut berperan dalam mendistribusikan teknologi seamless communication. Pada kutipan dibawah Ninok Leksono membahas tentang iNews dan E-book dan bagaimana suratkabar kertas mulai merasa tersisih oleh teknologi ini. Satu antitesis dari dialektika fisik media. Ah, saya gak sabar untuk melihat teknologi apa yang akan menjadi sintesisnya..

anyway, enjoy!

————————————————————————————————————————————————–

Diunduh dari: http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/03/25/05073081/inews.dan.e-book.selamatkan.koran

LAPORAN IPTEK
iNews dan E-book Selamatkan Koran?

Rabu, 25 Maret 2009 | 05:07 WIB

 

Oleh NINOK LEKSONO

Surutnya era surat kabar di berbagai penjuru dunia telah banyak diwacanakan, antara lain ditandai oleh surutnya pendapatan iklan dan jumlah pelanggan, lebih-lebih dari kalangan muda. Tak bisa disangkal lagi bahwa generasi muda yang juga dikenal sebagai Generasi Digital atau Generation C lebih menyukai peralatan (gadget) untuk mendapatkan informasi.

Menghadapi era transisi atau era baru ini, berbagai pendapat masih saling adu kuat, antara yang masih percaya akan kelangsungan hidup surat kabar dan yang yakin bahwa media yang pernah sangat berpengaruh ini satu hari nanti akan punah.

Hari-hari ini, tokoh besar media seperti Rupert Murdoch berada dalam kebimbangan besar. Sesaat sebelum resesi marak, Murdoch membeli Dow Jones yang menerbitkan koran The Wall Street Journal senilai 5 miliar dollar AS (sekitar Rp 60 triliun). Itu karena Murdoch dikenal sebagai sosok yang punya kelekatan kuat terhadap surat kabar (meski ia juga diakui sebagai mogul multimedia abad ke-21). Tetapi, kini ketika surat kabar mengalami kemunduran paling buruk semenjak Depresi (Besar tahun 1930-an), analis media di Miller Tabak, David Joyce, sempat mendengar dari para investor bahwa News Corp (konglomerasi media milik Murdoch) boleh apa saja, kecuali koran (IHT, 24/2).

Tantangan terhadap media cetak memang sungguh hebat. Orang membandingkan, mengapa media ini tak setahan TV, misalnya. Bahkan, ketika orang sudah banyak menghabiskan waktu di depan layar internet, atau juga di layar video, tidak sedikit pula yang masih terus bertahan di depan layar TV. Sayangnya, dalam pertempuran di antara layar-layar tersebut, media cetak tertinggal di belakang (Print media losing in a world of screens, IHT, 9/2).

Berbagai ide dan upaya telah dilontarkan untuk menyelamatkan surat kabar. Satu problem yang disadari ketika surat kabar masih diharapkan terus menjadi sumber keuntungan adalah bahwa akan ada kesulitan yang melilit. Penjelasan ini bahkan muncul ketika versi online koran sangat berpengaruh seperti The New York Times sudah amat maju, dengan pengakses unik 20 juta. Penyebabnya adalah penghasilan dari online hanya mampu mendukung 20 persen kebutuhan stafnya.

Menghadapi defisit ini, diusulkan ada pengerahan dana abadi (endowment) bagi institusi media cetak sehingga mereka terbebaskan dari kekakuan model bisnis, dan dengan itu media cetak tetap punya tempat permanen di masyarakat sebagaimana kolese dan universitas. (Lihat pandangan David Swensen, Chief Investment Officer di Yale, dan Michael Schmidt, seorang analis finansial, di IHT, 31/1-1/2.)

Dukungan teknologi

Sebelum ini, salah satu pemikiran yang banyak dikemukakan untuk meloloskan media cetak dari kepungan media baru adalah dengan bergerak ke arah multimedia sehingga berita tidak saja disalurkan untuk koran, tetapi juga untuk media lain, dari radio, TV, hingga internet dan mobile/seluler. Ini selaras dengan realitas baru, di mana pencari berita memang dari kalangan pengguna media noncetak dan media baru. Paham pun beranjak dari pembaca (readership) ke audiens. (Ini pada satu sisi juga akan membebaskan pengelola surat kabar dari tekanan meningkatkan oplah yang semakin sulit.)

Dalam kaitan ini pula muncul sejumlah inisiatif yang diharapkan mampu mempertahankan eksistensi surat kabar. Dua di antara inisiatif teknologi yang dimajukan untuk berkembang, dan seiring dengan itu bisa membantu surat kabar, adalah iNews (berita melalui perangkat internet) dan e-book (buku elektronik).

iNews

Sebelum ini, salah satu model bisnis untuk mengangkat industri musik adalah melalui apa yang dilakukan Apple dengan toko musik online-nya yang terkenal, iTunes, yang tahun lalu menjual 2,4 miliar track (lagu).

Yang disediakan oleh Apple kemarin ini adalah antarmuka pengguna yang mudah digunakan dan kerja sama luas dengan perusahaan musik. Dengan itu, petinggi Apple, Steve Jobs, bisa membantu bisnis (industri musik) yang nyaris ambruk akibat maraknya aktivitas bertukar lagu (file sharing). Memang dengan itu Apple dituduh mengerdilkan merek besar. Tetapi, itu tetap ada baiknya karena toh perusahaan musik yang dikerdilkan tadi masih tetap hidup sampai kini.

Pengelola bisnis surat kabar pun bisa waswas bahwa Apple bisa melakukan hal yang sama terhadap mereka. Caranya juga sama, meyakinkan jutaan pembaca yang tertarik, yang selama ini mendapatkan berita secara gratis melalui situs surat kabar—seperti kompas.com—untuk membayar.

Pilihan ini memang tampak lebih ditujukan untuk menyelamatkan institusi pers karena manakala pendapatan merosot, yang terancam bukan hanya perusahaan yang memiliki koran, tetapi juga berita yang dihasilkannya (David Carr, Could an iNews rescue papers?, IHT, 13/1)

Ide mencari bantuan juga dilakukan sejumlah media lain karena jelas ”gratis bukan sebuah model (bisnis)”. Cook’s Illustrated yang punya resep segudang dilanggan oleh 900.000 orang dan ecerannya mencapai 100.000. Selain itu, perusahaan ini punya 260.000 pelangganonline yang membayar 35 dollar AS per tahun. Pertumbuhannya mencapai 30 persen tahun 2008.

Di luar itu, tetap harus diakui, paham gratis masih dominan di dunia maya. Yang piawai tentu Apple, yang bisa membujuk pembeli gadget-nya untuk mau membayar musik yang dibeli. Jobs melihat musik sebagai bisnis perangkat lunak untuk memacu penjualan iPod dan iPhone. Bisnis musik tidak sepenuhnya senang dengan itu, tapi terbukti bisa membujuk pendengar membayar isi (lagu) untuk perangkatnya.

Dengan alam pikir ini pula dipikirkan gadget yang juga bisa diterapkan untuk koran. Misalnya iPod touch yang akan diluncurkan musim gugur tahun ini, dengan ukuran layar 18 sampai 23 cm.

Untuk e-book ada strategi lain. Amazon, yang sebelum ini telah membuat alat pembaca buku elektronik bernama Kindle, belum lama ini mengatakan bahwa selain dengan Kindle, buku elektronik juga akan bisa dibaca dengan smart-phone. Plastic Logic, pembuat alat e-reader lain, kini juga telah membuat persetujuan dengan sejumlah majalah dan surat kabar (The Economist, 14-20/2).

Skenario serupa seperti diuraikan di atas untuk iNews—yakni dengan pembundelan pemasaran antara alat dan isi (content) diharapkan bisa diterapkan—untuk alat-alat pembaca e-book ini. Dengan itu, meski koran dalam wujud tradisionalnya surut, lembaganya diharapkan bisa tetap lestari.

Social Networks: Trends 2009

Salam,

Sangat menarik jika melihat prediksi beberapa pengamat social media tentang tren social media 2009, terutama soal apakah google akhirnya akan membeli twitter atau tidak? lalu mengenai killer apps, salah satu ide dahsyat tahun ini mungkin friends synchronization, I dunno mungkin mengikuti jejak facebook connect. Bagi saya sendiri, di tahun 2009 kita kan melihat beberapa kuda hitam social network berbasis semantic seperti twine atau viadeo akan semakin besar, microblogging akan lebih di syncron-kan lagi dengan aplikasi mobile seperti makin banyaknya user yang menggabungkan facebook mobile dan plurk. Trendsspotting memprediksi pengguna facebook sudah mencapai 150 juta orang, itu angka yang fantastis, yang berarti juga akan penurunan market share bagi SNS yang lain. Lalu apalagi ya, hmm.. mungkin niche social network application, aplikasi social network yang ditujukan bagi komunitas exclusive, well ini bukan barang baru sih, ning.com sudah mulai menjualnya dari beberapa tahun yang lalu, akan tetapi aplikasi yang dimaksud disini lebih ditujukan bagi aplikasi korporat seperti penggabungan dengan microsoft silverlight, anyway implementasinya mungkin akan berlanjut melebihi 2009. Saya juga ikutkan file presentasi dari trendsspotting.com tentang trend social media di 2009, enjoy!

social-media-influencers-2009-by-trendsspotting2 

Riza

Social Software untuk proses belajar mengajar di universitas (1)

Alhamdulillah, proposal riset dan presentasi ku di terima oleh panitia The World Wide Forum on Education and Culture yang diketuai Dr. Bruce Swaffield dari Regent University, US. Walaupun belum resmi mendaftar ulang (lagi nyari bantuan registration fee nih…) tapi gua udah memastikan tempat di Rome pada bulan Desember nanti, lumayan lah buat menaikkan angka kredit.

Ide dasar dari proposal gua sebenarnya sederhana saja, kalo di eropa, asia timur dan amerika utara mayoritas penduduknya udah gak gaptek lagi dengan namanya social software beda sekali dengan kondisi yang ada di negara-negara berkembang. Sewaktu pulang ke Indonesia bulan lalu gua kaget ternyata kondisi belajar-mengajar di Unila tidak mengalami perkembangan selama 2 tahun terakhir dalam pemanfaatan teknologi web malah cenderung stagnan, dan gua pikir universitas2 negeri lainnya di Indonesia juga tidak jauh berbeda. Dari situ gua melihat adanya permasalahan yaitu celah antara yang seharusnya (Das Sein) dan terlihat (Das Solen). Seharusnya proses belajar-mengajar di universitas sudah bisa memanfaatkan teknologi web dengan baik sesuai dengan program-program pemerintah khususnya Depdiknas seperti Inherent atau jardiknas, malah sudah digembar-gemborkan penggunaan BSE (Buku Sekolah Elektronik).  Tetapi pada kenyataannya (yang terlihat) belum seperti itu, infrastruktur yang tidak mumpuni ditambah dengan maintanance yang belum memenuhi standar membuat aplikasi web untuk belajar-mengajar di universitas belum banyak berkembang.

Berkembangnya teknologi web 2.0 dan social software sebagai salah satu terapannya telah mempengaruhi banyak bidang salah satunya adalah pada proses belajar-mengajar. Implementasi dari penggunaan social software untuk menunjang pendidikan telah banyak dan sangat diketahui (well known) di negara-negara maju, semakin cepatnya tingkat koneksi internet, banyaknya pembangunan infrastruktur, dan tarif murah adalah salah satu faktor pendorong dari pemanfaatan teknologi ini. Spitzberg (2006) menunjukkan data bahwa antara tahun 2000 dan 2005 internet telah tumbuh 160% di seluruh dunia—di Amerika Utara sendiri, 68% dari total populasinya adalah penguna internet yang juga merupakan seperempat dari total pengguna internet dunia (internet world stats, 2005). Penelitian oleh Wahid (2007) menemukan bahwa tarif internet yang mahal, koneksi yang rendah, dan lemahnya kemampuan berbahasa inggris adalah faktor-faktor teratas dari rendahnya adopsi internet di Indonesia. Walaupun secara kuantitatif, jumlah pengguna internet di Indonesia termasuk tinggi, yaitu sekitar 20 juta pengguna tetapi secara kualitatif masih tergolong rendah yaitu hanya berkisar 8,9% dari jumlah penduduk indonesia (coba bandingkan dengan data Amerika Utara di atas).

Melihat kondisi global dan nasional tersebut, maka saya mengajukan ide untuk memulai suatu diskusi yang melibatkan dunia internasional dalam melihat peluang pemanfaatan social software dalam proses belajar-mengajar. Kita mungkin sudah familiar dengan memanfaatkan learning environment system atau digital library dalam membantu pendidikan di kelas. Pemanfaatan social software tidak jauh berbeda dengan kedua institusi tersebut terutama dengan menekankan faktor mash-up bahwa guru dan siswa adalah stakeholder yang mempunyai peran sama dalam mengembangkan bahan ajar.

Google to launch Friend Connect for the social Web

Ini adalah kutipan dari blog Dan Farber di cnet news.com (10/05/08), seperti yang sudah saya katakan dalam posting saya tentang opensocial bahwa goggle akan memprakarsai global trans-API maka dengan di launch nya Friend Connect langkah tersebut semakin dekat untuk terealisasi. Saat saya menulis post ini facebook dan myspace sudah memulai trans-API tersebut, facebook dengan ‘facebook connect’ dan myspace dengan ‘data avalaibility’ nya. Anyway, enjoy!

————————————————————————————–

Google is expected to join the social network data portability crowd with “Friend Connect” on Monday. TechCrunch speculates that Friend Connect will be a set of “APIs for Open Social participants to pull profile information from social networks into third party websites.”

Google will join Facebook and MySpace, which launched ways to port user data to partner sites this week. Facebook Connect will provide the hooks to let users port their friends, profile photos, events, and other data across the Web to partner sites. MySpace on Thursday announced Data Availability, with Yahoo, eBay, Photobucket, and Twitter as initial partners for its effort to let members port their data.

Yahoo is partnering with the leading social networks so its users can take advantage of the freeing of user data, and it will also be crafting its own social network and APIs as part of its forthcoming Yahoo Open Strategy.

TechCrunch’s Mike Arrington reasons:

The reason these companies are are rushing to get products out the door is because whoever is a player in this space is likely to control user data over the long run. If users don’t have to put profile and friend information into multiple sites, they will gravitate towards one site that they identify with, and then allow other sites to access that data. The desire to own user identities over the long run is also causing the big Internet companies, in my opinion, to rush to become OpenID issuers (but not relying parties).

With 70 million users, more than 20,000 Facebook applications, and about 350,000 developers, Facebook has a major scale advantage over Google’s Orkut. MySpace has the advantage of an even larger user base, but lags Facebook on the developer and application fronts.

However, Google has been taking a more open and distributed approach with its OpenSocial API, which allows compliant applications to work across any social network. By extension, Friend Connect would provide glue to allow any site to add a social dimension and build connections to other social networks.

I spoke with David Glazer, Google director of engineering, in March about injecting the social graph and data portability into the core fabric of the Web. He said the big challenge isn’t the technology but applying existing and emerging standards, such as OATH (secure API authentication), OpenID (identity management) and OpenSocial APIs (application integration).

The key for all the data portability efforts (check out the DataPortability Project) is that users have granular controls to manage their data and to maintain privacy and security. Facebook and MySpace have not fully disclosed how their privacy controls will work yet. Stay tuned for more details on Google’s Friend Connect and the next chapter of “The Making of the Social Web.”

 

Teknologi Informasi Hadapi Persoalan Dunia

Berikut adalah kutipan dari artikel di Kompas (09/05/2008), menurut saya artikel ini menarik karena selain berdasarkan wawancara kompas dengan ‘Bill Gates’ via email, artikel ini menunjukkan visi microsoft untuk masa depan digital media di masa depan. enjoy!

————————————————————————————-

William (Bill) H Gates, pendiri Microsoft Corporation dan orang terkaya di dunia karena penemuannya mengembangkan sistem operasi komputer yang digunakan ratusan juta orang diseluruh dunia, merasa yakin perangkat lunak dan teknologi digital adalah perangkat yang sangat bertenaga untuk menghadapi dan menyelesaikan berbagai isu dan tantangan yang dihadapi berbagai orang dan masyarakat.

Dalam wawancara lewat e-mail, Kompas menanyakan tentang dampak kenaikan harga minyak bumi terhadap kelangsungan industri teknologi komunikasi informasi yang menggunakan banyak sekali tenaga listrik? Walaupun Bill Gates tidak melihat adanya keterkaitan dengan solusi-solusi berbasis perangkat lunak, ia mengatakan, banyak hal yang bisa ditawarkan teknologi informasi untuk menghadapi persoalan dunia sekarang ini.

”Sekarang, industri perangkat lunak menawarkan teknologi yang bisa membantu bisnis dan individu untuk mengurangi konsumsi tenaga listrik ketika mereka menggunakan komputer. Kita juga banyak melakukan kemajuan menuju terciptanya sebuah generasi baru datacenter yang memberikan efisiensi sumber energi dibanding yang ada sekarang,” kata Gates.

Ditambahkan, persoalan ini menjadi penting karena jasa internet dan penggunaan komputer menjadi lebih menyebar, serta jumlah datacenter akan terus meningkat. ”Bersamaan dengan jalannya waktu, kita akan melihat solusi perangkat lunak yang akan memainkan peranan besar dalam membantu individu dan perusahaan-perusahaan untuk menggunakan energi lebih efisien,” ujar Bill Gates.

Disebutkan, perangkat lunak akan menjadikan rumah dan bangunan menjadi lebih cerdas, sehingga orang-orang akan menggunakan energi seperlunya untuk penerangan, mendinginkan atau memanaskan ruangan. ”Kemajuan perangkat lunak memungkinkan bisnis untuk merancang ulang berbagai produk, sehingga keseluruhan proses penggunaan energi dan sumber daya alam menjadi lebih efisien. Dengan harga yang terjangkau, komputasi kinerja tinggi akan memainkan peranan yang pentin dalam penelitian ilmiah untuk membantu memahami dampak perubahan iklim dan berbagai dampaknya,” papar Gates.

Mekanisme revolusioner

Pada bagian lain, Bill Gates menyebutkan, sekarang ini kita memasuki sebuah periode kemajuan pesat dalam perangkat lunak dan keras, serta sistem jejaring yang akan menjadi katalisator kemajuan dalam kurun waktu 10 tahun yang akan datang yang akan melebihi perubahan-perubahan yang terjadi selama 30 tahun ini.

”Kita sudah melihat bagaimana teknologi bisa mentransformasikan cara kita berbagi pengalaman dan berkomunikasi, bersamaan semakin banyak orang menggunakan komunitas sosial online sebagai landasan untuk berinteraksi secara menyeluruh dengan orang-orang yang mereka peduli,” kata Bill Gates.

Dikatakan, teknologi telah mentrasnformasikan cara kita memelihara kenangan masa lalu, cara kita mengakses hiburan, cara kita belajar, serta cara kita memanfaatkan jasa-jasa kesehatan. ”Transformasi ini akan mencapai tingkat kecepatannya sendiri, karena metoda yang digunakan berinteraksi dengan teknologi berkembang menjadi lebih dekat mengikuti cara orang-orang saling berinteraksi,” jelasnya.

Ditambahkan, komputasi yang lebih bertenaga dan murah memungkinkan para peneliti untuk menyelesaikan berbagai persoalan sulit seperti pengenal suara dan tulisan tangan. ”Kita sekarang memiliki aplikasi pengenalan bahasa lisan dan tulisan dengan ketepatan yang tinggi, dan kita mulai melihat kehadiran berbagai antarmuka yang memasukkan suara, visi tulisan tangan, sentuhan, dan rabaan,” kata Gates.

Bill Gates juga mengingatkan tentang kemajuan teknologi tampilan yang akan memainkan peranan penting dalam kehidupan digital.

”Beberapa dekade ke depan, layar monitor akan menjadi lebih murah, ringan, memiliki portabilitas, dan berkembang terus menerus. Di masa depan, kita akan menghubungkan perangkat portabilitas kita dengan layar tampilan apa saja yang terdekat, atau memproyeksikan informasi ke permukaan apa saja yang tersedia,” jelasnya.

Dijelaskan kalau mekanisme masukan dan keluaran seperti ini memiliki dampak revolusioner, tidak hanya bagaimana kita berinteraksi dengan teknologi tetapi juga bagaimana kita berinteraksi satu dengan lainnya.

Perangkat lunak gratis

Ketika bertemu dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Kantor Presiden, Jakarta, Kamis, Gates menawarkan perangkat lunak gratis kepada lembaga pendidikan di Indonesia pada tahun 2009. Pemberian perangkat lunak gratis itu akan direalisasikan jika dunia pendidikan Indonesia mampu secara besar-besaran menyediakan komputer di lembaga pendidikan dengan harga murah.

”Kalau kita bisa mendapatkan satu komputer dengan harga murah bagi sekolah-sekolah di Indonesia, Bill Gates mengatakan, ‘200 dollar AS’, maka Microsoft menawarkan satu perangkat lunak gratis,” ujar Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat Aburizal Bakrie dalam jumpa pers usai pertemuan. (inu)

Towards Communication between Digital Library and Its User as Stakeholder—In a Nutshell

Berikut adalah essay saya tentang aspek komunikasi dari performa digital library dengan penggunanya. Mengapa saya menekankan pada aspek komunikasi lebih khusus lagi mengapa developer dari digital library perlu mengetahui siapa kah penggunanya dan bagaimana berkomunikasi dengan mereka adalah karena pada saat ini dan kedepannya perkembangan dari digital library ataupun perpustakaan secara umum sebagaimana yang diungkapkan Pomerantz (2007) lebih banyak ditentukan oleh keinginan pengguna. Pengaruh social software, trans-API, dan interkoneksi yang semakin cepat (the grid) adalah faktor-faktor yang akan menjadi dominan selain makin tingginya kebutuhan akan ruang (space) bagi manusia. Essay ini adalah preliminary study dari teori komunikasi nya secara keseluruhan tetapi di essay ini saya sudah mengajukan dua model yang bisa menjadi rujukan di dalam diskusi computer-mediated communication kedepannya, enjoy!

————————————————————————————-

————————————————————————————-

Ideology in practice always forms rationalizations in human activity including from human interaction with every day technologies. Habermas (1984) called that practice as a rationally motivated binding. This rationality encourages me to take deeper understanding how human mingled themselves with rapidness impact of technology. My interest in human-computer interaction and digital media met their eyes with my study about human resource management in digital library especially when it evolves how digital library as an institution interact, or in wider sense, communicate with their user. It is interesting indeed to quest such curiosity since arrays of web technologies are growing fast and digital library nonetheless taking place as an entity in this stream. Users for digital library must be seen as integral part of institution performance. They are inevitable (Podnar, 2006) as like customers to trading company, tourists for travel agency. Hence, users are no different with other stakeholders; as Freeman (in Ylaranta, 1999) emphasized that without support from stakeholder, an organization would cease to exist.

Internet changing communication between stakeholders (Van der Merwe, 2005) and advances of web technology such as library 2.0 have affects the way library interact with their users (Curran, 2007). In my perspective, the way digital library interacting with their user emerge new conception of how library communicate to their stakeholders in which users is part of them depsite binary of internal and external. This involveness not only put boundary in align between digital library and traditional ones but also have distinguish perfomance of organisational communication in each institution. One among other interesting part in this new concept is it counts mental model of user as factor that affects user behavior thus being projected into their series of action through digital library web interface. Sherman (in Riva, 2001) have discussed models such Reduced Social Cues and Hyperpersonal Communication as nature of computer-mediated communication and factors in cyberpsychology. He pinnings that those models enable researcher to define more accurate and complete personalities and characters of CMC users nevertheless defining who the users are.

Constraints

Indeed there are many things can be discuss and follows in this matters. However, this essay aims to bring clarity only to a small gap in between communication of digital library and its user as stakeholder and try to propose models that appears from the process thus some constraints need to be pins. First, this essay only focuses the discussion on communication aspect of digital library with its users although it also comparing the process with traditional library communication performance. Second, it presumes that policies and programs considerably align same process within each institution. Third, this essay does not attempt to take more deeply into negotiation of meaning and technical consideration which occurs within interface interaction.

For terminologies, I took definition of communication from Cannon (1980) as he defined communication in the context of system as “Transfer of meaningful information from one location (the sender, source, originator, or transmitter) to a second location (the destination or receiver).” Since this essay also counts mental model, I used Doyle and Ford ( in Westbrook, 2006) proposition as “a mental model of a dynamic system is a relatively enduring and accessible, but limited, internal conceptual representation of an external system whose structure maintains the perceived structure of that system,” Other limitations that must be consider are I did not attempt to relates the models that I proposed with implications of hybrid library even though that must be really interesting to bear with. Other thing is this essay required reader understanding of whether communication system or at least whether communication is. This essay is not for beginners.

A Model of Interaction

In Exhibit 1. I proposed characteristics of communication process between library and its user, which based on two things, first, my experienced dealing with both digital and traditional library performance such as searching, browsing, and retrieving, cataloging, and borrowing books. Second ones, I took Pomerantz (2007) conception of seeing digital library as place therefore affects how users as stakeholder accessing the library. In digital library, I found user communication characteristics are;

· Low Presence: user only ‘in touch’ with screen despite interactivity the website might offer.

· Mediated: electronic media as the communication channel plays its role to succeed message from user. There always ‘in between’ and ‘relays’ situation and lack of nonverbal communication.

· Action-Perception-Action: user apt to behave according to perception they gained. They are not react instead they create new action.

· Screen/website: boundary between user and library performance is the user’s screen and digital library website.

Further in comparison with traditional library, I found user communication characteristics are;

· High Presence: user feels the tangibility of library.

· Face-to-face/Direct: communication practices between librarian and the user being enrich with nonverbal capabilities such to express user emotion directly.

· Action-Reaction: more short causality since it has less medium and what user being follows are based on library action.

· Desk: boundary between user and library performance is the front line desk.

From that comparison we could see the line between user and library institution are screen or web interface in digital library and front desk in traditional library. Either institution is emphasis on narrow action of user as tip of iceberg of entire user behavior and characteristics. Particularly in digital library process, model of interaction showed that relation of action and perception of user emerge within user mind therefore it create singular process of communication between user and web interface. That singular conception opens the opportunity to be drawn the process into a model of communication.

A Model of Communication

I develop my conception from Grunig (1992) theory of two-way symmetrical communication among public relation and company stakeholders also Morsing (2006) findings on stakeholder involvement strategy, which proposed the role of sensegiving and sensemaking between company and its stakeholders communication process. They emphasized stakeholder involveness hence build pro-active relations with corporate programs nevertheless also build equal roles in communication between them. Thus, I finally drawn the communication process between digital library and its user as stakeholder in Exhibit 2. I proposes that communication process between user and web interface of digital library whom the user being their stakeholder consist of three interdependendently area, their part and action are;

1. The user-web interface side:

  • In the context of interaction between user and web interface in digital library, user shares their action to limited options of act that the website offered. For instance, when user search or browse from the digital library website, found the information and retrieved it, what user really done was determined by the series of choices whatsoever that the digital library developers has been designed. Even for digital library that have been implemented the concept of web 2.0 such as library blogs, instead of change it, when user give a comment about a digital library policy in that blogs, the user only eligible to give comment about the issue that blogs had.
  • From the web interface, user perceived and gain perceptions of the digital library, this perceptibility build the concept of digital library whom the user interact with. The concept been abstracted into mental model refers to the interaction of user with digital library web interface, nevertheless digital library as a whole.
  • The mental model being projects into user behavior outside user interaction with digital library interface such as promoting the digital library to his/her friends.
  • When the user using the digital library web interface again, the projected behavior will be narrows again to limited of action, so on and so forth.

2. The web interface and server side:

  • Users’ action that’s being recorded as data signal hence being encode and decode in developers server.
  • The possibility for noise disruption will emerge in this area as technical problems.

3. The digital library institution-web interface side:

  • Every data that have been collected from the digital library server is use as digital library developers input of information.
  • This input subsequently taking part in internal management process and can be use as database for policy decision. In this point, users’ action became feedback for developer side.
  • Developer or digital library as institution derives the feedback to become a new or updating policy to the public which are the users.
  • New policy is being codified through documentation and/or converted process therefore it fits the developers’ server protocol and eligibly to publish in digital library web interface, so on and so forth.

Conclusion

The model of interaction and communication between digital library and user as their stakeholder has showed us that there are possibilities to involve user in development of digital library. Web interface is the edge of digital library performance therefore having a better understanding how to develop the web interface will enable digital library institution to perform better service and quality in the future. Though the theoretical and conceptual basis’ for this matter is in developing process since evolves interdisciplinary from other field of science nevertheless this essay can be taken as preliminary study.