Social Software untuk proses belajar mengajar di universitas (1)

Alhamdulillah, proposal riset dan presentasi ku di terima oleh panitia The World Wide Forum on Education and Culture yang diketuai Dr. Bruce Swaffield dari Regent University, US. Walaupun belum resmi mendaftar ulang (lagi nyari bantuan registration fee nih…) tapi gua udah memastikan tempat di Rome pada bulan Desember nanti, lumayan lah buat menaikkan angka kredit.

Ide dasar dari proposal gua sebenarnya sederhana saja, kalo di eropa, asia timur dan amerika utara mayoritas penduduknya udah gak gaptek lagi dengan namanya social software beda sekali dengan kondisi yang ada di negara-negara berkembang. Sewaktu pulang ke Indonesia bulan lalu gua kaget ternyata kondisi belajar-mengajar di Unila tidak mengalami perkembangan selama 2 tahun terakhir dalam pemanfaatan teknologi web malah cenderung stagnan, dan gua pikir universitas2 negeri lainnya di Indonesia juga tidak jauh berbeda. Dari situ gua melihat adanya permasalahan yaitu celah antara yang seharusnya (Das Sein) dan terlihat (Das Solen). Seharusnya proses belajar-mengajar di universitas sudah bisa memanfaatkan teknologi web dengan baik sesuai dengan program-program pemerintah khususnya Depdiknas seperti Inherent atau jardiknas, malah sudah digembar-gemborkan penggunaan BSE (Buku Sekolah Elektronik).  Tetapi pada kenyataannya (yang terlihat) belum seperti itu, infrastruktur yang tidak mumpuni ditambah dengan maintanance yang belum memenuhi standar membuat aplikasi web untuk belajar-mengajar di universitas belum banyak berkembang.

Berkembangnya teknologi web 2.0 dan social software sebagai salah satu terapannya telah mempengaruhi banyak bidang salah satunya adalah pada proses belajar-mengajar. Implementasi dari penggunaan social software untuk menunjang pendidikan telah banyak dan sangat diketahui (well known) di negara-negara maju, semakin cepatnya tingkat koneksi internet, banyaknya pembangunan infrastruktur, dan tarif murah adalah salah satu faktor pendorong dari pemanfaatan teknologi ini. Spitzberg (2006) menunjukkan data bahwa antara tahun 2000 dan 2005 internet telah tumbuh 160% di seluruh dunia—di Amerika Utara sendiri, 68% dari total populasinya adalah penguna internet yang juga merupakan seperempat dari total pengguna internet dunia (internet world stats, 2005). Penelitian oleh Wahid (2007) menemukan bahwa tarif internet yang mahal, koneksi yang rendah, dan lemahnya kemampuan berbahasa inggris adalah faktor-faktor teratas dari rendahnya adopsi internet di Indonesia. Walaupun secara kuantitatif, jumlah pengguna internet di Indonesia termasuk tinggi, yaitu sekitar 20 juta pengguna tetapi secara kualitatif masih tergolong rendah yaitu hanya berkisar 8,9% dari jumlah penduduk indonesia (coba bandingkan dengan data Amerika Utara di atas).

Melihat kondisi global dan nasional tersebut, maka saya mengajukan ide untuk memulai suatu diskusi yang melibatkan dunia internasional dalam melihat peluang pemanfaatan social software dalam proses belajar-mengajar. Kita mungkin sudah familiar dengan memanfaatkan learning environment system atau digital library dalam membantu pendidikan di kelas. Pemanfaatan social software tidak jauh berbeda dengan kedua institusi tersebut terutama dengan menekankan faktor mash-up bahwa guru dan siswa adalah stakeholder yang mempunyai peran sama dalam mengembangkan bahan ajar.

Iklan

Benarkah Indonesia Peringkat 7 Dalam Mengakses Situs Porno?

Menyimak berita yang ditayangkan salah satu televisi swasta di tanah air beberapa hari yang lalu (09/04/2008) tentang survey yang dilakukan salah satu website traffic researcher bahwa Indonesia menduduki peringkat nomor tujuh di dunia dalam mengakses situs porno membuat hati saya (penulis) terhenyak. Pertama, bahwa data 2 tahun lalu yang dijadikan rujukan tersebut kemunculannya bertepatan dengan mulai digalakkannya program pemerintah untuk memblokir akses situs porno di indonesia. Kedua, penulis membayangkan bagaimana reaksi pemirsa televisi setelah mendengar berita itu. Saya membayangkan para alim ulama akan mempunyai satu tambahan referensi alasan lagi. Seratus buat para guru, dan seribu alasan bagi orang tua di Indonesia untuk mulai peduli akan bahaya penyalahgunaan web (web abuse) terhadap anak-anak mereka. Ketiga, sebagai seorang akademisi, muncul rasa keingintahuan penulis terhadap data survey tersebut, apakah informasi tersebut benar adanya dan konteks apakah yang dibawa oleh informasi tersebut. Terlebih dalam pemberitaan tersebut, efek pengkotak-kotakan sangat terlihat sekali.

Kebetulan penulis sudah familiar dengan website yang memuat data tersebut, karena memang banyak dijadikan referensi penggiat IT internasional untuk data-data yang berkaitan dengan perkembangan dan trend web. Setelah mengakses dan melakukan pencarian, informasi yang penulis dapat lebih mengejutkan lagi. Hasil survey menunjukkan bahwa pemberitaan oleh televisi swasta tersebut keluar dari referensi keseluruhan data. Pemberitaan tersebut memotong satu bagian dari rentetan informasi yang ada. Untuk itu penulis merasa perlu untuk menjelaskan sehingga masyarakat akan dapat mempunyai gambaran utuh dari kondisi yang ada, tidak dipermainkan oleh pemberitaan yang sepertinya hanya ingin menguntungkan pemerintah dan mungkin salah satu penyedia perangkat lunak (software provider).

Data survey antara tahun 2005 dan 2006 tersebut dilakukan terhadap lebih dari 10.000 sumber, ditambah dengan statistik pencarian menggunakan mesin pencari (search engine) terhadap dua puluh kata kunci. Hasilnya? Sepanjang 2005-2006, setiap detiknya 28.258 orang mengakses sekitar 420 juta halaman situs porno. Setiap detiknya, 372 pengguna internet memasukkan kata kunci yang berhubungan dengan seksualitas pada mesin pencari. Setiap 39 menit, satu video porno di produksi di US. US?? Yap, Amerika Serikat (AS), dan data survey tidak berhenti disitu. China dan Korea Selatan adalah dua negara teratas yang paling banyak mendapat pemasukan (revenues) dari pornografi, keduanya pada tahun 2006 memperoleh US$ 53,13 milyar atau 488,796 triliun rupiah, lebih besar 5 triliun dari target pendapatan non-migas APBN RI tahun 2008.

Kembali ke posisi AS, data menunjukkan bahwa AS adalah negara produsen situs porno terbesar di dunia dengan jumlah 245 juta halaman web situs porno, jauh sekali dari Jerman (10 juta halaman) dan Inggris (8,5 juta halaman) yang berada dibawahnya. Survey ini banyak menampilkan data pasar situs porno di AS, karena memang sebenarnya survey ini ditujukan bagi pasar Amerika. Lalu, kenapa nama Indonesia tiba-tiba keluar? Seperti yang telah disebutkan diatas, survey ini diperkaya dengan statistik pengguna internet, dan nama Indonesia muncul pada urutan ke tujuh dalam survey untuk kata kunci “sex”. Selain kata itu, masih ada 19 tabel lagi yang memperlihatkan nama negara-negara pengakses dengan pencarian menggunakan kata kunci lainnya. Negara-negara tersebut antara lain Afrika Selatan (No. 1) untuk kata kunci ”porn”, dan Bolivia (No.1) untuk kata kunci ”xxx”. Selebihnya, di dominasi oleh negara-negara eropa barat. Perlu digarisbawahi bahwa tabel peringkat tersebut mengeluarkan AS dari objek survey, jadi hasil peringkat yang dilansir sebenarnya tidak murni berupa urutan negara, lebih merupakan kecenderungan. Apakah warga negara asing (WNA) yang mengakses situs dari alamat IP (Internet Protokol) Indonesia bisa dianggap mewakili Indonesia sebagai negara?

Penulis setuju dengan perspektif pemerintah bahwa apapun hasilnya, munculnya nama Indonesia pada survey tersebut adalah hal yang memprihatinkan. Sangat disayangkan pula bahwa 80% dari negara-negara yang masuk dalam tabel peringkat yang sama dengan Indonesia adalah negara yang dihuni mayoritas muslim. Tetapi penulis lebih menyayangkan pengkotakan (framing) dari pemberitaan televisi swasta tersebut. Pembaca berita menggunakan redaksi ”…Indonesia tercatat berada di peringkat tujuh pengakses situs porno tertinggi di dunia…”, ini adalah pernyataan yang menyesatkan karena data survey yang dirujuk tidak menunjukkan informasi apapun tentang negara pengakses situs porno tertinggi, yang ada hanya untuk 20 kata kunci dari ratusan kosakata bahasa inggris lainnya. Kalimat redaksi itu juga memberikan kesan bahwa moral remaja Indonesia sudah mencapai taraf kesakitan yang patut diamputasi, seolah remaja harus hidup tanpa seksualitas.

Penyalahgunaan teknologi web (harus dibedakan antara internet dan web) adalah termasuk isu yang sedang hangat-hangatnya dibicarakan para pengamat web diseluruh dunia selain perubahan iklim global dan kemiskinan. Minggu lalu penulis mendapatkan laporan hasil penelitian Ofcomm, lembaga riset media berkedudukan di London, Inggris, tentang perilaku, tindakan, dan penggunaan situs pertemanan (social networking site) seperti MySpace, Facebook, Friendster, Hi5, dan lain-lain oleh remaja di Inggris. Survey ini dilakukan antara Juni hingga Desember 2007 dan dipublikasikan tanggal 2 April yang lalu. Hasilnya? 49% anak berumur 8 – 17 tahun di Inggris mempunyai profile di situs pertemanan, dan 65% dari orang tua anak-anak tersebut tidak menetapkan aturan dalam menggunakan situs pertemanan. Point penting dari penelitian tersebut adalah adanya kecenderungan penyalahgunaan web yang mengarah eksploitasi seksualitas pengguna situs pertemanan dengan anak-anak (8-17 tahun) sebagai kelompok umur yang paling rawan terkena penyalahgunaan ini.

Kalau pemerintah mau berinisiatif memblokir pornografi di internet seharusnya mereka ikut waspada terhadap sektor ini dan mau mengikuti perkembangan isu yang ada dibandingkan dengan menggunakan data survey 2 tahun yang lalu. Perkembangan web selalu berubah bahkan dalam hitungan minggu, adalah sebuah kesalahan logika jika menganggap suatu kondisi akan selalu sama dan statis apalagi jika berkaitan dengan teknologi web. Pendangkalan makna dengan menggunakan data penelitian untuk menjustifikasi tujuan-tujuan seharusnya menjadi pilihan terakhir pemerintah, masih banyak alternatif yang bisa digunakan untuk memperbesar efek dari suatu kebijakan publik. Dalam kerangkanya, penulis melihat bahwa penggunaan sepenggalan data survey situs porno oleh pemerintah dan dipersempit lagi oleh kekuatan penyiaran adalah masalah etika media yang seharusnya pemerintah berada pada posisi penengah, bukan ikut-ikutan menjadi pelaku. Kalau begini, menurut penulis, siaran berita televisi swasta tersebut tidak ada bedanya dengan film Fitna buatan Geert Wilders, keduanya sama-sama memanipulasi teks, memotong ruang dan waktu dengan tujuan menciptakan kesadaran realitas yang baru, sebuah horor realitas.

Penulis masih percaya bahwa remaja Indonesia adalah remaja yang bertanggung jawab, remaja yang tahu betul apa arti teknologi dan pandai menggunakannya untuk kepentingan yang lebih baik, bagi diri, masyarakat, dan bangsanya. Penggalan berita yang menampilkan Menteri Pemberdayaan Perempuan RI sedang menyampaikan interpretasi ”…jadi, mengakunya kepada ibunya mau belajar bersama, padahal nonton pornogra.. apa? materi pornografi, apa video atau apa…” adalah efek pengkotakkan (framing) berita yang memberi kesan degradasi moral. Pemberian kesan jangan percaya lagi setiap anak anda mengakses web, atau mau belajar bersama dengan menggunakan internet, dan siaran berita itu telah sukses menciptakannya. Penulis yakin sebagian besar pemirsa telah membeli makna yang ditawarkan berita tersebut, dan salut buat pemirsa yang bisa mengkritisinya.

Sekedar gambaran kasar pengguna internet di Lampung jika mengambil pembagian keseluruhan pengguna internet di Indonesia tahun 2007 sebesar 20 juta pengguna (internetworldstats, akses 11/04/2008) dengan 33 provinsi dan memperhitungkan pertumbuhan pengguna internet di kota-kota besar, maka estimasi penulis bahwa di Lampung terdapat tiga hingga empat ratus ribu pengguna. Perkiraan ini berupa pengguna komersial dan non-komersial dan tidak memperhitungkan pengguna potensial. Jika dari populasi yang ada diasumsikan saja 5% dari pengguna (kemungkinan lebih besar dari ini jika mengingat banyaknya anak sekolah di warnet-warnet sehabis jam sekolah) adalah mereka yang berumur 8 hingga 17 tahun, maka setidaknya ada 15 hingga 20 ribu pengguna web usia sekolah setiap harinya di seluruh Lampung. Ini adalah kelompok yang rawan terkena dampak dari penyalahgunaan web, alih-alih pembatasan dari menggunakan internet.

Menjelang saat-saat pilkada seperti ini, fokus media lebih cenderung mengarahkan pembaca untuk lebih menyimak politik praktis dan sedikit meninggalkan sisi edukasi masyarakat. Tulisan ini hanya bermaksud sebagai penyegaran dan intermezzo dari percakapan. Bahwa selain naiknya harga-harga kebutuhan pokok dan apa mendukung siapa, para orang tua masih mempunyai anak-anak yang setiap harinya rawan terhadap penyalahgunaan teknologi. Kasus video porno PNS beberapa bulan yang lalu adalah contohnya. Orang tua dan keluarga adalah gerbang pertama dari usaha penangkalan penyalahgunaan teknologi tersebut dengan ikut memberikan pendidikan, selain sekolah tentunya. Tetapi untuk bisa memberikan pendidikan yang benar, orang tua dan sekolah harus mendapat informasi yang benar dahulu tentang manfaat dan kemanfaatan teknologi, terlebih teknologi web. Membaca, mendengar, dan menyimak informasi yang menyesatkan dapat menimbulkan reaksi yang keliru dan menyebar luas (efek kupu-kupu/butterfly effect).