Social software di website PTN

Salam,

Saya melakukan survey kecil-kecilan untuk melihat sebenarnya seberapa banyak website2 PTN di Indonesia yang sudah menggunakan social software. Hasilnya cukup mengejutkan di satu sisi sedangkan di sisi yang lain sudah bisa ditebak. Jumlah website yang sudah menggunakan social software seperti di duga masih dibawah setengah, 40% tepatnya. Ini saya hitung dari jumlah website yang menerapkans setidaknya RSS feed walaupun begitu saya kagum dengan beberapa website yang telah menggunakan blogs bahkan ada yang dispesifikasikan seperti blog untuk mahasiswa, dosen, dan untuk karyawan. Walaupun jumlahnya masih sekitar 14% dari total website tapi saya anggap sudah bisa menunjukkan trend penyerapan TIK yang cukup baik. 14% juga jumlah website yang telah menyediakan fasilitas chat/IRC/atau forum diskusi interaktif.

Secara keseluruhan saya menilai bahwa PTN-PTN di Indonesia masih rendah dalam pemanfaatan social software di website resmi institusinya. Mengingat teknologi ini sebenarnya bukan hal baru bahkan jika mengasumsikan bahwa web 2.0 adalah masa dimulainya pemanfatan social software maka setidaknya sudah 4 tahun sejak web 2.0 mulai di dengungkan dan PTN-PTn di Indonesia sepertinya belum begitu mendengarnya, padahal saya kenal dengan beberapa orang ‘hebat’ di bidang web technology di Indonesia yang justru di websitenya tidak ada social software sama sekali, irony. Saya berpendapat bahwa website Universitas Padjajaran adalah website PTN terbaik di Indonesia dalam segi pemanfaatan social softwarenya terutama dengan dengan adanya portal live.unpad dan video.unpad yang menurut saya inovatif dan patut ditiru atau dilampaui oleh website PTN-PTn lainnya di Indonesia. Anyway, berikut tabelnya; enjoy

Riza

Iklan

Social Software and Teaching-learning (3)

melanjutkan…

Theoretical background yang saya temukan tentang pemanfaatan social software ini ternyata bisa dirujuk hingga 11 tahun yang lalu yaitu saat dimana beberapa perusahaan di US menggunakan sebuah sistem seperti wiki dalam membantu mereka memecahkan masalah yang berkaitan dengan common understanding dalam training pegawai-pegawai mereka. Tidak hanya Eijkman, sebelum beliau pun sudah ada beberapa ahli di eropa dan amerika yang sudah melihat potensi implan dari social software ke dalam e-learning, jadi sekali lagi ide ini bukan saya yang mengada-adakan. Ini realiable secara konsep dan teori.

Setelah melakukan proses wawancara dengan 4 informan dari 4 universitas negeri di Indonesia yaitu dari Unila, Unpad, Unsri, UNS beberapa temuan yang mengejutkan yaitu para informan tersebut sudah bisa saya katakan advanced dalam pemanfaatan teknologi untuk pembelajaran inovatif tetapi progress tersebut sayangnya masih informal, dari pengakuan mereka hampir 90% waktu mereka dalam menggunakan social software justru tidak dalam program yang sudah dimiliki universitas artinya semua efforts mereka dilakukan secara pribadi, yang paling di dukung oleh universitas adalah dengan menyediakan internet gratis. Asumsi pertama saya bahwa universitas negeri sebagai universitas terdepan di masing daerah-daerahnya seharusnya sudah familiar dengan teknologi web dan sudah mempunyai program yang berkaitan dengan penggunaan teknologi web ini dalam proses belajar-mengajarnya, yang in contradictory ternyata belum.

Jika dicari di wikipedia, maka kita akan ketemu 18 macam dari social software dan saya prediksi evolusi masih akan terus terjadi kedepannya karena dalam kategorisasi tersebut masih memasukkan internet chat tersebut dari fasilitas social software yang lain padahal kita semua tahu bahwa beberapa SNS pun sudah memasukkan fasilitas chat dalam halaman profil para membernya. Lalu, kategori2 tersebut juga tidak memasukkan fasilitas file-sharing atau custom application. Yaa namanya juga wikipedia… gak semua isinya bisa dipercaya…

On discourses of media and ethics (for Ms. Nora Abdul Azis)

Salam Damai,

1,5 bulan lalu saya mendapat pertanyaan dari Ms. Nora Abdul Azis yang saat ini sedang meneliti tentang media ethics di negara-negara Islam dan atau dengan penduduk mayoritas Islam, dari profilenya di facebook saya baru tahu bahwa Ms. Nora juga dosen di Univ. Industry Selangor, Malaysia, hmm we’re collegue then… The questions are, “Are there similarities between media ethics practiced in Western and Islamic traditions? Do you think we can really practiced this Islamic based Media Ethics in our region ie. Islamic Countries?” Sebelumnya saya harus katakan bahwa saya tidak mempunyai background yang mendalam mengenai etika media atau khusus meneliti tentang ini karena itu pendapat yang akan saya kemukakan lebih mendasar pada pengamatan saya sebagai peneliti di bidang komunikasi dibanding pakar etika media nevertheless, saya akan usahakan untuk menjawab pertanyaan yang Ms. Nora ajukan dengan semampu saya.

Diskursus tentang etika media tidak akan pernah habis-habisnya selama media sebagai institusi terus berdiri. This subject involves dua hal yaitu etika dalam konteks perilaku manusia dan eksistensi media karena itu pendekatan terhadap etika media menurut saya bisa dilakukan melalui dua arah yaitu pertama, melalui pendekatan perilaku manusia (behaviorism) despite social atau personal. Kedua, melalui pendekatan studi media. Merespon pertanyaan whether any differences between media practices in western and Islam tradition, jawabannya tentu saja ada. Jika kita melihat perbedaan antara paradigma barat dan Islam dalam institusi media kita bisa melihat di dalam sejarah media itu sendiri, dalam sejarah buku misalnya, bagaimana pengaruh dari penemuan Gutenberg telah merubah komposisi intelektualitas international termasuk dengan lahirnya Al-Qur’an versi cetak.

Etika pada dasarnya menjawab pertanyaan ‘How’ dari perilaku manusia karena itu dalam etika media pertanyaan besarnya adalah bagaimana media seharusnya berperilaku di dalam kehidupan manusia especially di dalam masing-masing konteksnya (western and Islamic). Jika ada ketentuan maka ada pelanggaran, dan inilah yang menjadi daya tarik kita mempelajari etika media. Saya tidak akan melanjutinya ke ontology dari etika media takut terlalu jauh nantinya, tetapi saya akan kembali ke pertanyaan perbedaan etika media dunia barat dan Islam melalui contoh-contoh yang bisa saya ingat. Di setiap peradaban selalu ada anomali budaya, dalam etika media barat anomali etika media antara lain aspek politisasi dari pesan-pesan yang dibawa media, misalnya MTV dan stereotype anak muda dunia. Di dunia Islam, praktik-praktik anomali yang saya ketahui antara lain penerapan konsep Haram untuk disimak terhadap beberapa isi media, dan di Indonesia terutama masalah pornografi dan pornoaksi seperti foto syur Max Moein misalnya.

Jika kita melihat reaksi masyarakat di mana anomali tersebut muncul kita bisa melihat bahwa masyarakat selalu merefleksi pada aturan kemasyarakatan yang mereka ketahui, artinya bahwa etika media adalah sebuah refleksi dari perilaku media oleh aturan yang dibuat masyarakat. Jika aturan tidak ada maka tidak ada etika yang dilanggar oleh media whatsoever. Karena itu, untuk menjawab pertanyaan kedua apakah kita bisa benar-benar menerapkan etika media menurut Islam atau di negara-negara Islam saya melihat bahwa hal tersebut adalah realistis dan bisa diterapkan. Alasan saya yaitu bahwa Negara-negara Islam atau dengan mayoritas penduduk Islam seperti Indonesia dan Malaysia umumnya sudah mempunyai aturan tentang bagaimana media seharusnya berperilaku ada yang formal seperti Kode Etik Wartawan dan Undang-undang Pers dan ada juga yang informal seperti konvensi dalam meliput berita dan memberitakan konflik. Dengan sudah berdirinya infrastruktur tersebut maka penerapan etika media ‘versi’ negara-negara Islam akan berjalan dengan baik.

Jawaban di atas mungkin tidak memuaskan anda dan dirasakan kurang lengkap, karena itu saya mengajak anda untuk berdiskusi dengan meninggalkan comment di blog ini. Terima kasih atas perhatiannya.

Benarkah Indonesia Peringkat 7 Dalam Mengakses Situs Porno?

Menyimak berita yang ditayangkan salah satu televisi swasta di tanah air beberapa hari yang lalu (09/04/2008) tentang survey yang dilakukan salah satu website traffic researcher bahwa Indonesia menduduki peringkat nomor tujuh di dunia dalam mengakses situs porno membuat hati saya (penulis) terhenyak. Pertama, bahwa data 2 tahun lalu yang dijadikan rujukan tersebut kemunculannya bertepatan dengan mulai digalakkannya program pemerintah untuk memblokir akses situs porno di indonesia. Kedua, penulis membayangkan bagaimana reaksi pemirsa televisi setelah mendengar berita itu. Saya membayangkan para alim ulama akan mempunyai satu tambahan referensi alasan lagi. Seratus buat para guru, dan seribu alasan bagi orang tua di Indonesia untuk mulai peduli akan bahaya penyalahgunaan web (web abuse) terhadap anak-anak mereka. Ketiga, sebagai seorang akademisi, muncul rasa keingintahuan penulis terhadap data survey tersebut, apakah informasi tersebut benar adanya dan konteks apakah yang dibawa oleh informasi tersebut. Terlebih dalam pemberitaan tersebut, efek pengkotak-kotakan sangat terlihat sekali.

Kebetulan penulis sudah familiar dengan website yang memuat data tersebut, karena memang banyak dijadikan referensi penggiat IT internasional untuk data-data yang berkaitan dengan perkembangan dan trend web. Setelah mengakses dan melakukan pencarian, informasi yang penulis dapat lebih mengejutkan lagi. Hasil survey menunjukkan bahwa pemberitaan oleh televisi swasta tersebut keluar dari referensi keseluruhan data. Pemberitaan tersebut memotong satu bagian dari rentetan informasi yang ada. Untuk itu penulis merasa perlu untuk menjelaskan sehingga masyarakat akan dapat mempunyai gambaran utuh dari kondisi yang ada, tidak dipermainkan oleh pemberitaan yang sepertinya hanya ingin menguntungkan pemerintah dan mungkin salah satu penyedia perangkat lunak (software provider).

Data survey antara tahun 2005 dan 2006 tersebut dilakukan terhadap lebih dari 10.000 sumber, ditambah dengan statistik pencarian menggunakan mesin pencari (search engine) terhadap dua puluh kata kunci. Hasilnya? Sepanjang 2005-2006, setiap detiknya 28.258 orang mengakses sekitar 420 juta halaman situs porno. Setiap detiknya, 372 pengguna internet memasukkan kata kunci yang berhubungan dengan seksualitas pada mesin pencari. Setiap 39 menit, satu video porno di produksi di US. US?? Yap, Amerika Serikat (AS), dan data survey tidak berhenti disitu. China dan Korea Selatan adalah dua negara teratas yang paling banyak mendapat pemasukan (revenues) dari pornografi, keduanya pada tahun 2006 memperoleh US$ 53,13 milyar atau 488,796 triliun rupiah, lebih besar 5 triliun dari target pendapatan non-migas APBN RI tahun 2008.

Kembali ke posisi AS, data menunjukkan bahwa AS adalah negara produsen situs porno terbesar di dunia dengan jumlah 245 juta halaman web situs porno, jauh sekali dari Jerman (10 juta halaman) dan Inggris (8,5 juta halaman) yang berada dibawahnya. Survey ini banyak menampilkan data pasar situs porno di AS, karena memang sebenarnya survey ini ditujukan bagi pasar Amerika. Lalu, kenapa nama Indonesia tiba-tiba keluar? Seperti yang telah disebutkan diatas, survey ini diperkaya dengan statistik pengguna internet, dan nama Indonesia muncul pada urutan ke tujuh dalam survey untuk kata kunci “sex”. Selain kata itu, masih ada 19 tabel lagi yang memperlihatkan nama negara-negara pengakses dengan pencarian menggunakan kata kunci lainnya. Negara-negara tersebut antara lain Afrika Selatan (No. 1) untuk kata kunci ”porn”, dan Bolivia (No.1) untuk kata kunci ”xxx”. Selebihnya, di dominasi oleh negara-negara eropa barat. Perlu digarisbawahi bahwa tabel peringkat tersebut mengeluarkan AS dari objek survey, jadi hasil peringkat yang dilansir sebenarnya tidak murni berupa urutan negara, lebih merupakan kecenderungan. Apakah warga negara asing (WNA) yang mengakses situs dari alamat IP (Internet Protokol) Indonesia bisa dianggap mewakili Indonesia sebagai negara?

Penulis setuju dengan perspektif pemerintah bahwa apapun hasilnya, munculnya nama Indonesia pada survey tersebut adalah hal yang memprihatinkan. Sangat disayangkan pula bahwa 80% dari negara-negara yang masuk dalam tabel peringkat yang sama dengan Indonesia adalah negara yang dihuni mayoritas muslim. Tetapi penulis lebih menyayangkan pengkotakan (framing) dari pemberitaan televisi swasta tersebut. Pembaca berita menggunakan redaksi ”…Indonesia tercatat berada di peringkat tujuh pengakses situs porno tertinggi di dunia…”, ini adalah pernyataan yang menyesatkan karena data survey yang dirujuk tidak menunjukkan informasi apapun tentang negara pengakses situs porno tertinggi, yang ada hanya untuk 20 kata kunci dari ratusan kosakata bahasa inggris lainnya. Kalimat redaksi itu juga memberikan kesan bahwa moral remaja Indonesia sudah mencapai taraf kesakitan yang patut diamputasi, seolah remaja harus hidup tanpa seksualitas.

Penyalahgunaan teknologi web (harus dibedakan antara internet dan web) adalah termasuk isu yang sedang hangat-hangatnya dibicarakan para pengamat web diseluruh dunia selain perubahan iklim global dan kemiskinan. Minggu lalu penulis mendapatkan laporan hasil penelitian Ofcomm, lembaga riset media berkedudukan di London, Inggris, tentang perilaku, tindakan, dan penggunaan situs pertemanan (social networking site) seperti MySpace, Facebook, Friendster, Hi5, dan lain-lain oleh remaja di Inggris. Survey ini dilakukan antara Juni hingga Desember 2007 dan dipublikasikan tanggal 2 April yang lalu. Hasilnya? 49% anak berumur 8 – 17 tahun di Inggris mempunyai profile di situs pertemanan, dan 65% dari orang tua anak-anak tersebut tidak menetapkan aturan dalam menggunakan situs pertemanan. Point penting dari penelitian tersebut adalah adanya kecenderungan penyalahgunaan web yang mengarah eksploitasi seksualitas pengguna situs pertemanan dengan anak-anak (8-17 tahun) sebagai kelompok umur yang paling rawan terkena penyalahgunaan ini.

Kalau pemerintah mau berinisiatif memblokir pornografi di internet seharusnya mereka ikut waspada terhadap sektor ini dan mau mengikuti perkembangan isu yang ada dibandingkan dengan menggunakan data survey 2 tahun yang lalu. Perkembangan web selalu berubah bahkan dalam hitungan minggu, adalah sebuah kesalahan logika jika menganggap suatu kondisi akan selalu sama dan statis apalagi jika berkaitan dengan teknologi web. Pendangkalan makna dengan menggunakan data penelitian untuk menjustifikasi tujuan-tujuan seharusnya menjadi pilihan terakhir pemerintah, masih banyak alternatif yang bisa digunakan untuk memperbesar efek dari suatu kebijakan publik. Dalam kerangkanya, penulis melihat bahwa penggunaan sepenggalan data survey situs porno oleh pemerintah dan dipersempit lagi oleh kekuatan penyiaran adalah masalah etika media yang seharusnya pemerintah berada pada posisi penengah, bukan ikut-ikutan menjadi pelaku. Kalau begini, menurut penulis, siaran berita televisi swasta tersebut tidak ada bedanya dengan film Fitna buatan Geert Wilders, keduanya sama-sama memanipulasi teks, memotong ruang dan waktu dengan tujuan menciptakan kesadaran realitas yang baru, sebuah horor realitas.

Penulis masih percaya bahwa remaja Indonesia adalah remaja yang bertanggung jawab, remaja yang tahu betul apa arti teknologi dan pandai menggunakannya untuk kepentingan yang lebih baik, bagi diri, masyarakat, dan bangsanya. Penggalan berita yang menampilkan Menteri Pemberdayaan Perempuan RI sedang menyampaikan interpretasi ”…jadi, mengakunya kepada ibunya mau belajar bersama, padahal nonton pornogra.. apa? materi pornografi, apa video atau apa…” adalah efek pengkotakkan (framing) berita yang memberi kesan degradasi moral. Pemberian kesan jangan percaya lagi setiap anak anda mengakses web, atau mau belajar bersama dengan menggunakan internet, dan siaran berita itu telah sukses menciptakannya. Penulis yakin sebagian besar pemirsa telah membeli makna yang ditawarkan berita tersebut, dan salut buat pemirsa yang bisa mengkritisinya.

Sekedar gambaran kasar pengguna internet di Lampung jika mengambil pembagian keseluruhan pengguna internet di Indonesia tahun 2007 sebesar 20 juta pengguna (internetworldstats, akses 11/04/2008) dengan 33 provinsi dan memperhitungkan pertumbuhan pengguna internet di kota-kota besar, maka estimasi penulis bahwa di Lampung terdapat tiga hingga empat ratus ribu pengguna. Perkiraan ini berupa pengguna komersial dan non-komersial dan tidak memperhitungkan pengguna potensial. Jika dari populasi yang ada diasumsikan saja 5% dari pengguna (kemungkinan lebih besar dari ini jika mengingat banyaknya anak sekolah di warnet-warnet sehabis jam sekolah) adalah mereka yang berumur 8 hingga 17 tahun, maka setidaknya ada 15 hingga 20 ribu pengguna web usia sekolah setiap harinya di seluruh Lampung. Ini adalah kelompok yang rawan terkena dampak dari penyalahgunaan web, alih-alih pembatasan dari menggunakan internet.

Menjelang saat-saat pilkada seperti ini, fokus media lebih cenderung mengarahkan pembaca untuk lebih menyimak politik praktis dan sedikit meninggalkan sisi edukasi masyarakat. Tulisan ini hanya bermaksud sebagai penyegaran dan intermezzo dari percakapan. Bahwa selain naiknya harga-harga kebutuhan pokok dan apa mendukung siapa, para orang tua masih mempunyai anak-anak yang setiap harinya rawan terhadap penyalahgunaan teknologi. Kasus video porno PNS beberapa bulan yang lalu adalah contohnya. Orang tua dan keluarga adalah gerbang pertama dari usaha penangkalan penyalahgunaan teknologi tersebut dengan ikut memberikan pendidikan, selain sekolah tentunya. Tetapi untuk bisa memberikan pendidikan yang benar, orang tua dan sekolah harus mendapat informasi yang benar dahulu tentang manfaat dan kemanfaatan teknologi, terlebih teknologi web. Membaca, mendengar, dan menyimak informasi yang menyesatkan dapat menimbulkan reaksi yang keliru dan menyebar luas (efek kupu-kupu/butterfly effect).

Survey ‘Ayo Bersih-bersih’ 2006

Salam,

Berikut adalah hasil presentasi survey program ‘Ayo Bersih-bersih’ Pemkot Bandar Lampung tahun 2006, hasil yang sama telah diterbitkan oleh SKH Lampung Ekspress pada awal september 2006. Sebenarnya saya sudah lama punya keinginan untuk mempublikasi hasil penelitian ini di web hanya saja belum ada kesempatan untuk menguploadnya until now…

Anyway, semoga bermanfaat!

Survey ‘Ayo Bersih-bersih’ 2006

Riza