Sekelumit tentang perkembangan rating iklan Google

Salam,

 

Google memposting berita terbaru tentang program mereka dalam meningkatkan kompetensi dan persaingan dalam dunia iklan. Sebagaimana di ketahui, iklan adalah sumber pemasukan terbesar dalam bisnis di dunia internet dan sebagai cabang usaha yang memberikan masukan terbesar bagi Google, mereka menggarap dengan serius bagaimana agar iklan dapat lebih merangkul ‘pembeli’ bukan saja ‘penonton’. Dalam dunia social media dikenal istilah ‘international paradox’ untuk menelaah kenapa social media di negara-negara berkembang seperti facebook di Indonesia, walaupun dengan tingkat pertumbuhan tertinggi di Asia tetapi tingkat pendapatan yang di peroleh oleh facebook masih kalah dengan singapura. Hal tersebut dikarenakan walaupun penonton iklan (viewers) facebook di Indonesia jutaan pasang mata tetapi yang benar-benar menggunakannya untuk membeli (buyers) barang yang diiklankan sangat minim. Karena itu pendapatan balik (revenue) yang didapat pemasang iklan tidak tinggi sehingga menyebabkan turunnya tingkat pemasangan iklan komersial oleh facebook itu sendiri. Implikasinya jelas, pendapatan facebook pun ikut menurun. Tetapi kenapa dikatakan ‘paradox’? karena walaupun pendapatan yang diperoleh rendah, facebook tidak bisa serta merta meninggalkan pasar Indonesia yang menurut saya karena beberapa pertimbangan:

1. Kekuatan jejaring sosial (social network) sebagai modal sosial (social capital) pada pasar Indonesia sangat kuat. Sebagai negara dengan pengguna facebook terbanyak di Asia, adalah strategi yang salah jika facebook melepas para jutaan pengguna yang sudah ada. Facebook masih memerlukan tingkat traffic yang tinggi sebagai jualannya karena itu mereka masih butuh banyak pengguna.

2. Dikatakan paradoks juga karena semakin naiknya investasi facebook pada infrastruktur network mereka di Indonesia tidak serta merta diiringi dengan naiknya tingkat pendapatan mereka, bahkan cenderung menurun. Dengan adanya resesi dunia yang melanda saat ini, sudah untung dikatakan adanya pemasukan.

3. Dari internal facebook sendiri, mereka belum bisa menemukan sistem pemasaran iklan yang tepat, efektif dan cukup efisien sehingga bisa menerapkan prinsip ‘produk yang tepat untuk pembeli yang tepat’.

 

Untuk itulah saya membahas sistem yang dipakai oleh Google saat ini. Google menamakan video ini, ‘once a good ad, always a good ad’. Cukup menarik perhatian menurut saya,  a catchy title. Di video ini diperlihatkan metode yang mereka pakai dalam menentukan apakah suatu iklan bisa dikatakan ‘baik’ atau tidak. Mereka menggunakan set-top box(es) (STB) yang dipasang pada responden yang mereka klaim informasi yang mereka dapatkan hingga berjumlah jutaan, walaupun tanpa identitas (anonymous). Mereka menggunakan pola yang didapat dari grafik penggunaan berdasarkan beberapa variabel, kalau saya tidak salah, yaitu jumlah akses, jumlah waktu yang dihabiskan pada iklan, melihat kembali (revisiting), hingga tindakan membeli (buying). Hasilnya seperti yang terlihat di dalam video. Tehnik yang digunakan sebenarnya bukan barang baru dalam statistik, tetapi yang menarik bagi saya adalah bagaimana Google bisa membuat alat yang mendeteksi lalu lintas tersebut, menerjemahkannya ke dalam data trend dan menjualnya. Ini adalah konsep yang luar biasa, amazing! walaupun Google TV belum begitu populer tetapi rupanya Google tidak berputus asa, mereka sudah menyiapkan backbone2 seperti ini yang pada saatnya akan merubah keseluruhan kemasan Google TV menjadi begitu dahsyat. Saya kira praktisi iklan perlu belajar mengenai hal ini.

 

Anyway, enjoy the video!

 

Iklan

New Notions of Media (bagian 1)

Salam,

 

Tulisan ini dibuat berdasarkan kuliah umum Dr. Karol Jakubowicz, seorang pakar media di Eropa khususnya pada ’public service broadcasting’ hari ini (16/04/2009) di Tallinn University, Estonia. Kuliahnya berjudul ”New Notions of Media: How digital technologies and social change redefine the media.” Kuliah tersebut sangat menarik sekali dan memberikan banyak inspirasi kepada saya mengenai perkembangan teknologi media khususnya pada genre new media. Untuk itu pula saya bermaksud untuk membagi pengalaman saya kepada para pembaca dengan harapan akan memicu diskusi dan dialektika yang berguna pada kondisi di Indonesia kedepannya. Karena kuliahnya sangat panjang begitu pula catatan saya maka saya membagi tulisan ini menjadi setidaknya 2 bagian.

 

Dr. Jakubowicz memulai kuliahnya dengan menyajikan fakta dan data mengenai perkembangan user-generated media (UGM) di US dan Eropa. Fakta mengatakan bahwa saat ini 6 dari 10 remaja usia 17-24 di Eropa dan US tidak lagi menonton siaran televisi, at all. Waktu yang dihabiskan oleh remaja-remaja tersebut untuk berselancar di dunia maya (accessing the web) telah melebihi (surpass) waktu yang mereka habiskan di depan televisi. Yang menarik dari presentasi awal ini menurut saya adalah pernyataan Jakubowicz yang membuat persamaan online video service sebagai suatu bentuk media rich. Ini menarik karena kalau kita tinjau teori media richness yang diajukan oleh Daft & Lengel (1986) yaitu bahwa komunikasi tatap muka adalah komunikasi yang memiliki tingkat kekayaan media tertinggi. Dimana suatu media dianggap media yang kaya akan proses komunikasi dan informasi jika media tersebut efektif dalam membuka saluran penyampaian pesan baik verbal maupun non-verbal. Jadi ukuran yang dipakai teori ini adalah kualitas penyampaian pesan. Nah, merujuk pada anggapan Jakubowicz bahwa online video service adalah sebuah media yang kaya (tidak jelas apa yang dia maksudkan ’kaya’) lebih menunjukkan pada kuantitas dari pesan yang dapat disampaikan oleh media yang bersangkutan. Terlebih lagi kalau jika kita telaah bahwa online video service itu sendiri sebenarnya adalah sebuah meta-media, media yang menyampaikan media. Disini dugaan awal saya adalah adanya kontradiksi pada pengertian media kaya informasi itu sendiri.

 

Selanjutnya Jakubowicz, menyinggung pesatnya perkembangan twitter sebuah suatu bentuk baru pelayanan informasi. Dia mengajukan pertanyaan apakah twitter bisa dianggap sebagai suatu media berita (news media)? Hmm, saya kira ini memerlukan diskusi yang lebih lanjut di luar artikel ini.. (tentunya jika ada yang tertarik). Jakubowiczkemudian menyajikan konsepnya mengenai bagaimana perubahan paradigma (sebuah istilah yang masih kabur..) dari komunikasi massa saat ini. Saya tidak bisa menyajikan diagramnya karena diagram ini adalah HAKI-nya Dr. Jakubowicz, tetapi saya bisa coba jelaskan. Pada definisi komunikasi massa konvensional, proses komunikasi dijelaskan melibatkan karakteristik seperti informasi dari satu produser kepada banyak penerima (one-to-many, sifat komunikan yang masif (mass audience) dan adanya peran penjaga gawang (gatekeeper) dalam menyaring informasi/berita. On the other hand, adanya proses komunikasi pribadi (private) yang melibatkan interpersonal ditandai dengan karakter komunikan yang individual dan penyebaran informasinya yang dari satu produser kepada satu penerima (one-to-one).

 

Jakubowicz argued bahwa saat ini telah terjadi proses silang konversi (cross-convergence) antara proses komunikasi massa dengan komunikasi pribadi (interpersonal).  Media massa tidak lagi hanya menyajikan informasi dari satu penerbit (publisher) sebagai produser ke banyak penerima tetapi proses informasi juga berjuktaposisi dengan memfasilitasi banyak pembaca sebagai produser informasi kepada penerbit (many-to one) dan pula banyak pembaca kepada banyak penerbit (many-to-many). Proses ini memungkinkan, misalnya, setiap orang menjadi penerbit dengan menulis sebuah berita di blog pribadinya dan semua pembaca bisa memberikan komentar (many-to-one) atau google news sebagai contoh media agregasi dari berbagai layanan berita bagi semua anggota layanan tersebut (many-to-many). Proses tersebut dimungkinkan dengan hadirnya internet sebagai penengah dari proses konvergensi tersebut. Jakubowicz juga mencontohkan layanan televisi berbasis broadband (BTV) yang bisa dianggap sebagai pilar keempat dari layanan penyiaran televisi setelah satelit, kabel, dan terrestrial.

 

Selanjutnya Jakubowicz menyajikan konsep dari adanya perubahan mode komunikasi manusia saat ini, berkaitan dengan penggunaan new media, kontrol informasi dari yang terpusat menuju individu dan kontrol atas waktu dan pilihan subjek. Menurutnya terjadi pergeseran dari kontrol informasi yang sebelumnya; Pertama, pada tingkatan terpusat disebut alokasi (allocation) dengan karakteristik kontrol waktu dan pilihan subjek yang didorong (push information) menuju proses komunikasi konsultasi (pull information). Kedua, mode kontrol proses komunikasi tersebut kemudian menyilang pada tingkatan individu dari mode alokasi menuju mode pembicaraan (conversation) dimana feedback individu sangat dimungkinkan. Proses baru ini kemudian disebutnya sebagai ’semiotika demokrasi’ (semiotic democracy). Menurut Jakubowicz pada mode komunikasi baru ini dimungkinkan tidak adanya lagi passive communication seperti yang umumnya ditemui pada proses komunikasi massa konvensional. Selain itu, dia menggarisbawahi pada munculnya fenomena disintermediation dimana pihak-pihak yang menghasilkan berita tidak lagi tergantung pada perusahaan media ataupun jurnalis untuk menghasilkan sebuah berita. Beliau mencontohkan lahirnya gerakan citizen journalism dan fenomena bloggers sebagai penghasil berita. Lebih lanjut, dijelaskan pula suatu konsep yang disebutnya Neo-intermediation dimana sekali lagi Jakubowicz mencontohkan content aggregators dan packagers, penjelasan ini menurut saya bisa disebut sebagai fenomena meta-media.

 

Saya akan cukupkan sampai disini dulu untuk bagian yang pertama ini.

Reklame Harus 7K

Ini adalah tulisan yang pernah dimuat di Lampung Post tahun 2006, saya lupa tanggalnya.. semoga masih bisa bermanfaat, enjoy!

————————————————————————————————————————————————

Dalam Raperda tentang penyelenggaraan reklame dan pajak reklame yang saat ini sedang dibahas oleh DPRD Kota Bandar Lampung bersama instansi-instansi terkait, secara tersurat memang sudah cukup memasukkan tata cara pelaksanaan dan pengelolaan reklame. Tetapi sayang sekali dalam raperda mengenai reklame tersebut, elemen-elemen yang harus diperhatikan di dalam menyelenggarakan reklame tidak dijabarkan secara jelas bahkan di bagian penjelasannya.

Penulis memprediksi ketidakjelasan ini pasti akan menimbulkan multi persepsi nantinya. Seharusnya di dalam sebuah peraturan, nilai yang diterapkan haruslah nilai yang konkrit dan mempunyai kepastian arti. Karena itu, dalam tulisan ini penulis mencoba mengkaji elemen-elemen dalam penyelenggaraan reklame dengan harapan dapat membawa pada kesimpulan secara ilmiah maupun umum mengenai konsep penyelenggaraan reklame. Pertimbangan teoritis yang dapat diambil yaitu sebagai sebuah pesan (message) media reklame mempunyai keterkaitan dengan etika dan estetika berpromosi sebagai bagian dari komunikasi pemasaran terpadu (integrated marketing communication).

Elemen yang pertama yaitu yang berkaitan dengan nilai kesopanan. Reklame yang didirikan atau diselenggarakan harus memperhatikan penempatan dimana konstruksi atau titik reklame diselenggarakan sehingga tidak menyebabkan adanya keluhan baik dari pengguna jalan maupun masyarakat sekitar konstruksi reklame didirikan. Saat ini keluhan terbanyak adalah dari berdirinya konstruksi reklame di median-median jalan yang kesannya memaksakan seperti yang ada di pertigaan RSU Abdul Muluk. Walaupun sudah berkali-kali disoroti oleh beberapa surat kabar di Bandar Lampung tetapi reklame itu tetap saja berdiri.

Kedua, reklame harus tertib dalam pengertian bahwa Pemerintah Kota Bandar Lampung harus mampu bertindak secara tegas kawasan-kawasan mana saja yang bisa dipasang reklame termasuk apakah reklame tersebut berada di taman kota, atau di depan kantor-kantor pemerintahan. Untuk itu memang perlu sekali untuk membuat suatu panduan dengan apapun namanya yang secara tegas mengatur kapasitas dan area mana dari jalan yang bisa diperuntukkan bagi pembangunan reklame. Karena dalam membangun reklame biasanya strategi yang harus diperhatikan adalah sisi jalan yang ramai lalu lintas dengan asumsi makin padat makin banyak yang melihat.

Dalam dunia periklanan luar ruang (outdoor advertising) memang dikenal suatu indeks yang disebut AADT (Avarage Annual Daily Traffic), jika di Amerika indeks ini dikeluarkan oleh biro statistik independen yang memang khusus menghitung rating jalan untuk keperluan media. Tetapi di Indonesia, indeks ini belum bisa dinikmati karena memang belum ada biro statistik yang melakukannya bahkan sekelas Arbitron dan Nielsen. Karena itu, penulis menyarankan bahwa jika akan memang dibuat suatu standar yang mengatur ketertiban penyelenggaraan reklame sebelumnya harus dibuat nilai indeks yang menentukan kelas suatu jalan. Setelah itu baru bisa diketahui apakah suatu reklame bisa dipasang di jalan yang dikehendaki.

Ketiga, faktor yang harus diperhatikan yaitu masalah keamanan dalam penyelenggaraan reklame. Faktor ini penulis kira tidak perlu menjelaskan lebih jauh lagi. Beberapa kasus yang terjadi beberapa bulan ini seperti reklame roboh seharusnya sudah bisa menjadi pelajaran bagaimana mendirikan reklame yang aman bagi lingkungannya. Lagipula, sepertinya Pemkot sudah mulai fokus dengan masalah ini dengan rajin memperhatikan konstruksi-konstruksi reklame yang kropos atau rawan di berbagai wilayah kota Bandar Lampung. Selain itu, dalam raperda penyelenggaraan reklame juga sudah dimasukkan keharusan untuk merawat dan menyertakan asuransi dalam pembangunan reklame permanen.

Elemen keempat yaitu mengenai kesusilaan. Yang harus diperhatikan bahwa nilai susila tidak hanya berkaitan dengan apakah ada unsur seksualitas atau tidak. Lebih dari itu, moral dan etika kesusilaan adalah sebuah konvensi masyarakat untuk menolak sesuatu yang bertentangan dengan apa yang sudah dipercayai akan membawa pada penurunan moral masyarakat itu sendiri. Walaupun tidak mencantumkan gambar, reklame yang berisi pesan yang merendahkan suatu bagian masyarakat atau suatu isu publik dapat membawa pada pelanggaran kesusilaan.

Pemikiran ini hampir sama dengan elemen yang kelima yaitu mengenai masalah keagamaan yang merupakan isu sensitif jika berkaitan dengan periklanan. Karena itu sebelum izin penyelenggaraan reklame dikeluarkan seharusnya pemkot atau tim yang ditunjuk tetap mengawasi agar efek negatif dari elemen ini agar tidak sampai timbul ke permukaan. Jika tidak tentunya bisa menimbulkan gejolak sosiologis yang mengarah pada perpecahan di masyarakat.

Elemen keenam yaitu masalah kesehatan, kriteria ini mutlak harus diperhatikan sedari awal. Reklame tidak boleh sampai menutup peluang tempat-tempat tinggal masyarakat yang ada di sekitar konstruksi reklame permanen untuk menikmati matahari. Memang sepertinya saat ini tidak ada masalah kesehatan dalam pembangunan reklame permanen, karena memang belum ada media yang menyorotinya. Tetapi tentunya kita tidak ingin masalah ini muncul baru dicari penyelesaiannya, lebih baik mencegah daripada mengobati!

Elemen terakhir yaitu tentang keindahan atau orang menyebutnya estetika. Penulis tidak tahu kenapa elemen yang justru paling utama harus diperhatikan dalam penyelenggaraan reklame ini tidak dimasukkan ke dalam raperda penyelenggaraan reklame yang sedang di garap oleh DPRD Kota Bandar Lampung. Apakah dianggap indah itu relatif? Ataukah sedari awal memang sudah disadari, susah membuat tolok ukur tentang keindahan.

Jika alasannya adalah sulitnya menentukan nilai dari apa yang disebut ”indah”, kita bisa merujuk pada apa yang disebut sebagai estetika. Syarat dari estetika adalah adanya kebersatuan (wholeness) bentuk dari objek yang dibuat dengan objek yang sudah ada. Dalam desain komunikasi visual unsur ini disebut sebagai keseimbangan (balance). Contohnya bagaimana? Reklame yang didirikan tidak boleh menutup muka dari sesuatu yang sudah ada bahkan yang eksistensinya lebih penting dari reklame itu sendiri. Seperti apa? Billboard yang dipasang tidak boleh menutup muka apakah itu sebuah gedung atau rambu lalu lintas yang ada dibelakangnya sehingga mengakibatkan pengendara mengalami kesulitan untuk mengenali objek dibelakang billboard tersebut.

Ketujuh elemen yang penulis uraikan diatas adalah sekelumit dari banyaknya aspek yang perlu diperhatikan dalam penyelenggaraan reklame yang baik. Masalah-masalah lain terutama yang berkaitan dengan etika seperti bagaimana model pengawasan yang tepat dalam penyelenggaraan reklame, bagaimana membentuk database yang baik tentang objek pajak reklame, Nilai Sewa Reklame (NSR) yang adil dan sebagainya, sekiranya memang memerlukan waktu dan ruang yang lebih luas dan panjang untuk membahasnya. Tetapi setidaknya penulis berharap bahwa tulisan ini bisa mengundang diskusi yang menarik bahkan menginspirasi beberapa pihak untuk bertindak. Semoga.