Sekilas tentang Literasi Media dan Informasi

Perkembangan industri digital yang sangat cepat itu menjadi tantangan berat bagi dunia pendidikan dan orangtua dalam menyiapkan anak didik untuk dapat menghadapi ‘banjir informasi’ yang dibawa oleh media digital melalui beraneka ragam bentuk dan format. Tanpa ada penyiapan yang sistematis dan sungguh-sungguh, maka bisa diperikirakan bahwa anak-anak dan remaja akan menjadi korban dari perkembangan teknologi media yang didominasi dengan hiburan yang cenderung tidak sehat dengan muatan bisnis yang kental.

Untuk media televisi misalnya, dampak negatif dari tayangan-tayangan yang tidak aman tentunya perlu diwaspadai. Dewasa ini, media televisi sangat memengaruhi anak-anak dengan program-programnya yang banyak menampilkan adegan kekerasan, hal-hal yang terkait dengan seks, mistis, dan penggambaran moral yang menyimpang. Tayangan televisi yang sangat liberal membuat tidak ada lagi jarak pemisah antara dunia orang dewasa dan anak-anak. Fenomena seperti ini tidak hanya terjadi di negara-negara liberal, namun juga di negara-negara berbudaya timur, karena besarnya infiltrasi media televisi di berbagai penjuru dunia. Dengan kata lain, anak-anak zaman sekarang memiliki kebebasan untuk melihat apa yang seharusnya hanya ditonton oleh orang dewasa.

Di Amerika serikat, dampak media massa terutama televisi dan video game, semakin membuat para orangtua kuatir. Data yang ada menunjukkan bahwa para remaja Amerika Serikat dengan rata-rata usia 15 tahun, menyaksikan aksi pembunuhan brutal sebanyak 25 ribu kali dari televisi dan 200 ribu kali tindak kekerasan dari media massa lainnya. Antara tahun 1950 sampai 1979, terjadi peningkatan jumlah kejahatan berat yang dilakukan oleh anak-anak muda di bawah 15 tahun di AS, sebesar 110 kali lipat, yang berarti peningkatan sebesar 11 ribu persen.  (West & Turner, 2008)

Enam atau tujuh tahun yang lalu, internet masih merupakan barang baru tetapi sekarang mereka-mereka yang tidak tahu menggunakan internet akan di anggap tertinggal. Di masyarakat dapat disaksikan bahwa teknologi komunikasi terutama televisi, komputer dan internet telah mengambil alih beberapa fungsi sosial manusia (masyarakat). Setiap saat kita semua menyaksikan realitas baru di masyarakat. Dimana realitas itu tidak sekedar sebuah ruang yang merefleksikan kehidupan masyarakat nyata dan peta analog atau simulasi-simulasi dari suatu masyarakat tertentu yang hidup dalam media dan alam pikiran manusia, akan tetapi sebuah ruang dimana manusia bisa hidup di dalamnya. Media massa merupakan salah satu kekuatan yang sangat mempengaruhi umat manusia di abad 21. Media ada di sekeliling kita, media mendominasi kehidupan kita dan bahkan mempengaruhi emosi serta pertimbangan kita.

Antara media dan informasi bagai 2 sisi mata uang yang saling berdekatan dan mempunyai hubungan simbiosis mutualisme (saling menguntungkan). Informasi akan mudah dan cepat tersampaikan dengan adanya campur tangan media. Mediapun akan sedikit kehilangan giginya bila tidak ada yang disuarakannya. Jadi bisa dikatakan, media hadir untuk mempermudah dan mempercepat lajunya informasi sampai ke sasaran, sebaliknya informasi ada untuk mengisi media. Untuk itu guna menuju transformasi masyarakat menuju masyarakat informasi dan masyarakat berbasis pengetahuan, tidak saja membutuhkan infrastruktur (hardware, software, aplikasi, dan konektivitas/akses) yang handal, dan regulasi (peraturan) yang mendukung, tetapi juga sumber daya manusia (SDM) atau brainware dengan tingkat literasi (melek) media yang memadai dan kemampuan mengeksplorasi konten (literasi informasi) untuk menciptakan kemakmuran. Fenomena di atas akhirnya menimbulkan pelbagai paradigma baru dalam pendidikan. Pendidikan sebagai sarana belajar kian mendapatkan tantangan, ketika dihadapkan dengan zaman yang menurut para teorisi teknologi komunikasi (Marshall McLuhan dan Regis Debray)  dikenal sebagai “The Age of Media Society”(West & Turner, 2008).

Kemampuan literasi media dan informasi wajib dimiliki para pelajar, jika mereka tidak mau ketinggalan dan menjadi “asing” di masyarakat yang telah dikelilingi informasi ini. Dengan dimilikinya dua kemampuan tersebut pada diri remaja, akan memudahkan mereka untuk merealisasikan slogan ”lifelong education”. Selain itu juga, keterampilan untuk meliterasi media dan informasi adalah salah satu strategi utama yang dikumandangkan UNESCO untuk dilaksanakan dalam proses pembelajaran. Yang semakin memperkuat lagi keharusan memiliki kedua keterampilan ini, karena kedua keterampilan literasi ini banyak diproyeksikan para ahli sebagai 21st century skills yang dapat dijadikan password untuk dapat melenggang dengan sukses dalam masyarakat informasi (ncrel.org).

Pendapat di atas senada dengan pernyataan Dan Blake (Potter, 2001) tentang alasan perlunya mengajarkan media literasi pada pelajar, yaitu : (1) kita hidup ditengah lingkungan bermedia, (2) literasi media menekankan pada pemikiran kritis,(3) menjadi literat terhadap media merupakan bagian dari pembelajaran terhadap warga negara, (4) dengan mempunyai literasi terhadap media membuat kita dapat berperan aktif dalam lingkungan yang dipenuhi dengan media, dan (5) pendidikan media membantu kita dalam memahami teknologi komunikasi. Upaya mencerdaskan penonton dalam berinteraksi dengan media dilakukan dengan memberinya skill media literacy (melek media). Media literacy adalah kemampuan mengakses, menganalisis, mengevaluasi, dan mengkomunikasikan informasi dalam berbagai format, baik cetak maupun noncetak. Hal ini sudah menjadi bagian pendidikan di berbagai belahan dunia.

Di California, AS, sebagai contoh, English Language Arts Standards (ELA) mengharuskan siswa mampu mengidentifikasi, menganalisis, dan mengkritik teknik persuasif sebuah pesan media. Di Afrika Selatan, pendidikan media literacy digunakan untuk mempromosikan reformasi pendidikan. Sedangkan di negara-negara penutur bahasa inggris, seperti Inggris, Skotlandia, Kanada, dan Australia, pendidikan literasi media menjadi bagian dari pelajaran seni bahasa (Bazalgette, 1992). Di Australia, pendidikan media secara aktif ditempatkan di pendidikan publik sejak awal 1970an. Sedikit pendidik Australia yang memahami bahwa pendidikan media adalah sebuah bentuk cultural protection untuk membantu orang tua dan para guru mengilustrasikan perbedaan antara nilai dan norma Amerika dan Australia.

Salah satu organisasi media literacy yang terbilang sukses dalam mendidik anak-anak, pemuda, dan dewasa agar menjadi konsumen media yang kritis adalah New Mexico Media Literacy Project (NMMLP). Didirikan tahun 1993, NMMLP membantu ratusan ribu orang dari berbagai negara untuk meningkatkan media literacy skill. Misi NMMLP adalah menanamkan pemikiran kritis dan aktif dalam kultur media untuk membangun komunitas yang sehat dan adil. Satu hal yang patut dicatat, pendidikan media literacy di sekolah merupakan aspek-aspek pengajaran yang lebih berdimensi sosiologis dan etis. Tujuan pendidikan media literacy adalah untuk memproteksi anak didik dari persepsi-persepsi buruk media sekaligus mendidik anak untuk mampu mengapresiasi efek positif media. Maka pendidikan media literacy tidak sekadar mengajarkan siswa tentang segi teknis produksi tayangan media, melainkan juga berbagai konsekuensi yang timbul dari kekuatan media. Pendidikan media literacy mengajarkan pada anak tentang pemanfaatan media secara bijak serta penilaian kritis terhadap muatan media. Komunikasi.

Mengambil analogi teori peluru atau teori jarum hipodermik  (Severin & Tankard, 2005) yang memandang bahwa pesan (isi) media mempunyai peran yang sangat kuat dalam membentuk perilaku masyarakat; maka siswa sekolah pun perlu dididik untuk dapat mengembangkan dirinya sendiri menghadapi pengaruh media. Anak-anak perlu “disuntik” dengan cara tersendiri sehingga mereka kebal alias imun terhadap kemungkinan dampak buruk yang akan terjadi akibat tayangan media. Ditengah melimpahruahnya aneka citraan media yang tidak terbendung sekarang ini, tindakan inokulatif sangat diperlukan demi melindungi bahaya negatif media yang bisa mempengaruhi segi-segi kognitif, afektif, dan perilaku siswa. Pendidikan melek media ibarat suntikan imunisasi dimana siswa secara mandiri mampu menghasilkan antibodi yang siap menanggulangi berbagai potensi penyakit psikologis pada diri mereka akibat pengaruh media.

Berbeda dengan pelatihan literasi media dan informasi konvensional, pada pelatihan ini tim pelaksana menerapkan model komunikasi kelompok sebagai bagian dari pelatihan. Pemilihan model pelatihan ini dikarenakan cara kerja kelompok yang secara komunikatif lebih baik dalam hal rujukan (reference), pemberian saran (suggest), dan kinerja (performance). Sehingga diharapkan model ini dapat terbukti menjadi model alternatif dalam pengajaran literasi media dan informasi di sekolah.

 

Referensi

Bazalgette, C. (1992). New directions Media education worldwide. London, UK: British Film Inst.

Potter, J. W. (2001). Media Literacy. New York: Sage Publications.

Severin, W. J., & Tankard, J. W. (2005). Teori Komunikasi: Sejarah, Metode, & Terapan di Dalam Media Massa (5 ed.). Jakarta: Kencana.

West, R., & Turner, L. H. (2008). Pengantar Teori Komunikasi: Analisis dan Aplikasi (3 ed.). Jakarta: Salemba Humanika.

 

Iklan