Hiperrealitas Pada Sinetron Indonesia

Tulisan ini saya buat sekitar 1 tahun yang lalu, ketika itu saya muak menonton sinetron2 indonesia yang isinya hanya itu2 saja, dan saya rasa bukan cuma saya, beberapa analis media yang saya temui juga sebenarnya sudah mengungkapkan isu ini beberapa tahun sebelumnya lewat seminar2, miling list bahkan surat yang ditujukan langsung ke perusahaan media, tetapi… ya namanya akademisi… duitnya kurang banyak dibanding produser sinetron… jadi sepertinya isu ini timbul tenggelam… Sampai beberapa hari yang lalu, saya baca di beberapa miling list yang saya ikuti. Karena banyak sekali yang bahas film fitna sehingga entah darimana beberapa anggota milis mengaitkannya dengan sinetron indonesia. Saya sudah lebih dari 8 bulan tidak nonton sinetron indonesia (kadang-kadang kangen juga ama cinta laura…. eh, sinetronnya masih ada kan???…) jadi tidak bisa banyak komentar mengenai kondisi saat ini (mungkin anda bisa bantu???)

Setelah menggali file2 lama, akhirnya saya ketemu artefak ini, tulisan ini saya kirim ke majalah Cakram Komunikasi, tidak jelas apakah dimuat atau tidak (sepertinya sih tidak… karena saya tidak pernah terima transfer dari CK), jadi setelah beberapa edit, here is… enjoy….

Riza

———————————————————————————————————————–

———————————————————————————————————————–

Membahas hubungan antara media dan budaya manusia selalu menjadi bahasan yang menarik untuk disimak. Lihat saja, dimana-mana orang selalu berbicara mengenai topik ini, mulai dari diskusi mengenai efek politis dari kampanye di televisi hingga perbincangan mengenai apakah yang dimaksud dengan pornografi dan pornoaksi. Untuk yang terakhir ini, peran media sangat penting sebagai batasan nilai yang akan selanjutnya menjadi tolok ukur nilai masyarakat, Tetapi tulisan ini tidak akan membahas lebih jauh mengenai topik tersebut. walaupun sebenarnya ada keinginan yang lebih kuat untuk membahasnya.

Ide dari tulisan ini diawali dari kenyataan bahwa menonton televisi saat ini jauh lebih mengerikan dibandingkan sebelumnya. Ungkapan ini bukan berarti lebih jauh atau lebih buruk, walaupun kata mengerikan sepertinya terlalu berlebihan. Tapi yang ingin penulis sampaikan adalah permainan makna telah menjadi komoditi yang terlalu berlebihan dalam mengeksploitasi kenyataan dan imajinasi penonton. Penggabungan antara siklus kemiskinan dan tangis manusia menjadi reality show yang bersekuel atau ketenaran dan pedihnya kekalahan menjadi ujung tombak penjualan iklan acara-acara pencarian bakat adalah sedikit dari jendela-jendela yang dibuka oleh industri penyiaran. Jendela yang menyedot sebagian dari kepercayaan masyarakat.

Dalam masyarakat postmodernisme memang nilai tidak bisa dibahas dengan cara konvensional tanpa memahami konteks dari nilai itu sendiri. Pada masyarakat postmodernisme, nilai adalah atribut yang bisa tumpang tindih. Tetapi apa yang dimaksud postmodernisme itu? Menurut Scott Lash dalam bukunya Sociology of Postmodernism (1991:4), postmodernisme dapat diartikan sebagai paradigma budaya yang memiliki semacam struktur simbolik yang akan selalu bereproduksi ketika struktur simbolik yang ada kian memudar. Menurutnya, paradigma postmodernisme memiliki konfigurasi-konfigurasi ”spatio-temporal. Pandangan Scott Lash mirip dengan pandangan Thomas Kuhn tentang paradigma dalam revolusi ilmiahnya atau pandangan Foucault tentang wacana yang ingin diperbaharui lagi.

Paradigma budaya dalam postmodernisme itu terjadi karena adanya semacam periode signifikasi (Lash, 1991). Dalam periode ini terdapat model khusus (spesifik) dari signifikasi yang merujuk pada objek budaya yang tergantung pada relasi tertentu antara signifier (penanda), signified (petanda), dan referent. Pada media budaya, maka suara, imajinasi, kata-kata, atau pernyataan disebut sebagai signifier. Sedang signified (petanda) adalah sebuah konsep atau makna dan referent mengacu pada sebuah objek dari dunia realitas di mana signifier (penanda) dan signified (petanda) berhubungan.

Dalam budaya posmo, orang membaca suatu teks tidak lagi pada informasi yang disampaikan tetapi lebih kepada bagaimana informasi tersebut sampai pada panca indera mereka, medium is the massage. Konteks adalah sumber referensi bagi kesadaran masyarakat. Permasalahannya, konteks justru merupakan wilayah abu-abu dari petanda atau aspek mental dari suatu tanda. Dalam budaya posmo, tanda selalu saling melebur atau memisahkan makna dari bentuknya. Identitas individu adalah identitas kolektif dan sebaliknya. Realitas selalu tidak pernah sama setiap saat, sebuah konstruksi akan selalu meniadakan sekaligus membangun konstruksi realitas baru pada saat yang bersamaan, sebuah realitas yang melampaui, sebuah hiperrealitas!

Konsep Hiperrealitas; sebagaimana yang dikemukakan oleh Jean Baudrillard, adalah sebuah konsep dalam dunia posmodernisme dimana ukuran-ukuran realitas yang ada tidak dapat dipegang lagi. Sebuah dunia realitas yang dalam konstruksinya tidak bisa dilepaskan dari produksi dan permainan bebas tanda-tanda yang melampaui (Hyper-sign). Dunia hiperrealitas, dengan demikian, dapat dipandang sebagai sebuah dunia perekayasaan realitas lewat permainan tanda-tanda. Permainan tersebut sedemikian rupa sehingga tanda-tanda tersebut kehilangan kontak dengan realitas yang direpresentasikannya.

Hiperrealitas menciptakan satu kondisi, yang didalamnya kepalsuan berbaur dengan keaslian; masa lalu berbaur dengan masa kini; fakta bersimpang siur dengan rekayasa; tanda melebur dengan realitas; dusta bersenyawa dengan kebenaran (Baudrillard; 1983). Hiperrealitas menghadirkan model-model kenyataan sebagai sebuah simulasi bagi penikmatnya, sebuah simulacrum. Simulasi atas dasar tanda-tanda realitas (sign of reality) dimana tanda-tanda hidup bukan untuk melukiskan realitas yang diwakilkannya tetapi mereka hadir hanya untuk mengacu pada dirinya sendiri (Piliang, 2003)

Dalam sinetron religi (istilah ini bukan justifikasi, hanya sekadar memudahkan pengkategorian saja) saat ini, hiperrealitas semakin terasa dengan tanda-tanda personifikasi yang kadang-kadang tidak mengacu sedikitpun pada realitas yang ada melainkan hanya menggambarkan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi jika tanda tersebut hadir. Salah satu tanda yang mencolok dan selalu seakan-akan menjadi komoditas unggulan adalah penggunaan bentuk-bentuk makhluk halus baik secara animasi maupun efek make-up. Tanda ini sangat krusial untuk diinterpretasikan salah oleh para penonton.

Secara denotatif, tanda berupa penampilan makhluk halus tidak mengacu pada satupun realitas yang ada didunia, yang berarti tidak ada satupun penanda (signifier) yang dapat secara reflektif diwakilkan oleh tanda ini. Tanda ini hanya bergerak pada tataran imajinasi yang kemudian diceritakan menjadi sebuah mitos dengan bentuk yang sepenuhnya rekayasa manusia. Oleh kekuatan penyiaran (broadcasting), mitos ini diputar kembali dari mitos tentang realitas menjadi mitos tentang mitos (meta-myth), sebuah penampilan yang tidak menceritakan apapun selain bahwa mitos hadir seolah-olah konstruksi realitas ada dibelakangnya. Padahal didalam kenyataannya, imajinasi penonton tidak mengarah pada mitos melainkan mereferensikannya pada kehidupan sehari-hari.

Pemaknaan yang bisa meleset ini akan diperparah jika kita melihat kemampuan tanda pada level konotasi dimana asosiasi (penggantian) dan kontinuitas makna tidak dapat dilakukan lebih jauh selain pada konsep baik (good) dan jahat (evil). Pada level ideologis ini, tanda telah menjadi alat pelebaran kekuasan suatu pendapat perseorangan mengenai konsep baik dan jahat dengan membicarakan seolah penampakan sesuatu yang mistis adalah masalah moral antara yang baik (pahlawan/Hero) dan yang jahat (penjahat/Villain). Moral menjadi wacana permainan dimana dekonstruksi pemahaman dan keyakinan mampu untuk dipengaruhi sedemikian rupa sehingga seolah-olah menjadi kebenaran. Permainan tanda yang telah melampaui batas-batas dimana ukuran moralitas masih mampu dipertahankan bahkan oleh ajaran agama yang asli sekalipun, sebuah permainan akan hipermoralitas.

Kasus ini adalah salah satu dari efek hiperrealitas dalam media yang tidak dapat diserap dengan baik dan tanpa melalui tahapan pemikiran kritis. Memang kita tidak dapat memaksa semua penonton untuk semuanya berpikir kritis karena tingkat pendidikan penonton yang tidak sama antara satu sama lain dan masih banyak acara televisi yang lain yang dapat mendidik. Tetapi yang bisa kita lakukan adalah menghimbau kepada pihak-pihak yang berkepentingan dengan penyiaran untuk lebih selektif dalam menampilkan sesuatu khususnya kepada publik. Saat ini kita mempunyai Komisi Penyiaran yang berada di tingkat nasional maupun daerah, seharusnya mereka mampu untuk lebih jeli untuk masalah-masalah penyiaran yang berkaitan dengan kesadaran publik seperti ini.

Memang secara sepintas, tidak ada satupun pihak yang berkepentingan dengan apakah sebuah sinetron menampilkan sesuatu secara berlebihan atau tidak. Selama sinetron tersebut masih ada penontonnya dan para pemasang iklan, publik kita selalu beranggapan sah-sah saja. Tetapi pada kenyataannya tidak begitu, para ahli komunikasi sudah bertahun-tahun mengingatkan publik penonton bahwa efek televisi sedemikian besar sehingga pengaruhnya tidak hanya dirasakan saat ini tetapi masih bisa dirasakan berpuluh-puluh tahun kemudian. Kasus pemerkosaan oleh murid SD dan SMP karena sering menonton film dewasa, kasus pembunuhan oleh murid SMP di Amerika karena diilhami film tentang pembunuhan berantai.

Kesemuanya adalah efek yang mengendap dalam kesadaran manusia akibat hiperrealitas yang ditampilkan tayangan televisi dan film. Dalam hal ini, hiperrealitas yang dihadirkan sinetron-sinetron di Indonesia sudah dirasakan terlalu berlebihan dan sudah saatnya para insan industri penyiaran untuk lebih kritis dan evaluatif mengenai tayangan mereka.

*Penulis adalah Dosen Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Lampung dan Direktur Eksekutif Pusat Studi dan Pemberdayaan Publik (PSPP)

Iklan

Fitna Movie ditutup di liveleak.com

Salam,

Video kontroversi Fitna sudah ditutup access nya di liveleak.com sekitar 1 jam yang lalu sejak saat saya menulis blog ini, dalam rilisnya ke AFP langkah ini akan diikuti oleh semua british ISP. Menurut saya, ini langkah yang menarik untuk dikaji terutama jika kita berbicara etika media, disiplines and punish dalam cyberculture, bagaimana Betham’s Phanopthicon model bekerja secara otomatis, despite aksi dan reaksi yang melingkupi issue tersebut. Saya punya tebakan, apa persamaannya Fitna dan Ayat-ayat Cinta?? ……….. jawabannya, kedua-duanya sama-sama telah ditonton oleh lebih dari 3 juta viewer, hanya saja AAC ditonton 3 juta orang hanya di Indonesia saja sedangkan fitna ditonton 3 juta orang di seluruh dunia, hanya saja nya lagi, AAC butuh waktu kurang lebih 30 hari buat ngumpulin angka segitu sedangkan fitna hanya butuh 30 jam (mmm… the power of social web….). Disini anda bisa lihat juga bagaimana manusia lebih senang mendengarkan hal-hal yang buruk (termasuk saya kayaknya….) daripada hal-hal yang baik. Sama seperti idiom berita, ‘berita yang buruk adalah berita yang baik’, Bad News is Good News, somehow I see the pointed….

Riza