Dari Manohara ke Prita ke semiotika nomor urut

Salam,

Tulisan ini untuk merangkum persepsi saya tentang berbagai isu sejak tulisan terakhir saya tentang facebook. Maklum, satu bulan belakangan ini saya disibukkan dengan penyelesaian thesis, artikel dan abstrak yang harus saya kirim ke berbagai konferensi dan jurnal. Pertama, mengenai Manohara. Banyak pihak sudah membahas mantan model yang jadi model lagi ini (lho??). Yang menjadi ketertarikan saya yaitu mengenai bagaimana media di Indonesia terutama media online membahas isu tersebut. Saya ikut aktif memberikan komentar-komentar baik di Facebook atau Kaskus.us mengenai hal ini. Menurut saya, Manohara adalah salah satu dari sekian contoh bagaimana media mengarahkan isu tertentu (framing). Yang saya amati bahwa isu-isu yang berkembang kemudian melahirkan hubungan asosiatif dengan isu yang mungkin sebenarnya tidak berhubungan. Sangat menarik melihat bagaimana ekspresi pengguna media online menghubungkan Manohara sebagai puncak gunung es dari masalah hubungan Indonesia-Malaysia. Apalagi melihat isu-isu yang kemudian muncul seperti blok Ambalat dan penyiksaan TKW Siti Hajar. Manohara tidak lagi memerankan sosok korban KDRT melainkan telah menjadi duta kekesalan beberapa orang Indonesia tentang ’Malaysia’. Saya beri tanda kutip karena sebenarnya orang-orang tersebut pun sepertinya tidak melihat Malaysia sebagai sebuah negara melainkan sebagai sebuah stereotip, jika tidak mau dibilang metafora.

Berbicara mengenai stereotip dan metafora, saya melihat kasus Ibu Prita juga seperti itu. Jika rubrik Buras Lampung Post melihatnya sebagai people power, saya kira tidak. Apa yang dimaksud dengan people power? Apa seperti idiom vox populi vox die? Suara rakyat suara tuhan, siapa yang dimaksud dengan ‘rakyat’ dan atau ‘suara rakyat’? Menurut saya yang berkembang adalah metafora. Metafora atau methapor menurut kamus Princeton dapat didefinisikan sebagai a figure of speech in which an expression is used to refer to something that it does not literally denote in order to suggest a similarity. Ciri mendasar metafora adalah translogika dengan melahirkan virtual kesamaan antara dua subjek. Kok bisa sejauh itu? Itu kan cuma masalah email… Ya, memang. Praktisnya memang adalah masalah Groundswell, mengutip istilah dari Bernoff & Li (2008), atau jika merujuk pada pendapat Jakubowicz (2009) adalah sebuah praktek post-objective. Tindakan manusia selalu didasari oleh logika, itu yang harus kita yakini dulu. Kalo ada yang bilang, ah.. kan ada tingkah laku yang tanpa logika? Saya kira itu justru yang disebut kesalahan logika. Mari kita telaah kesadaran kolektif (mengutip archetype-nya Carl Jung) yang adalah imbas dari gerakan informasi tersebut dan bagaimana kesadaran tersebut mentransformasi isu ke dalam bentuk tanda (sign). Kasus Ibu Prita sama seperti kasus Manohara, berkembang karena spotlight media. Baik pada kasus Manohara ataupun Prita, spiral informasi bergerak sentripetal dari isu utama. Laju isu kemudian lahir dengan menyinggung substansi-substansi lain seperti; ketidakpuasan beberapa pihak dengan UU ITE, masalah perbatasan Indonesia-Malaysia yang tak kunjung selesai, nasib TKW, dll. Persinggungan tersebut tidak diasosiasikan secara instant.

Para pembuat berita, atau media sebagai entitas, melihatnya melalui kesamaan eksistensi, melalui ciri-ciri yang lalu dikristalkan dengan melabelkan isu ke dalam kata-kata sederhana seperti ’Manohara’ untuk mewakilkan ketidakpuasan kepada Malaysia, untuk merepresentasikan kekerasan dalam rumah tangga, kisah sukses (dalam pengertian berhasil kabur dari lingkungan yang menjeratnya), nasib orang Indonesia di rantau hingga alternatif tren pemberitaan selain pemilu. Tak pelak, ada rumah makan yang menambah embel-embel Manohara sehingga nama rumah makan tersebut menjadi ’RM Ayam Goreng Manohara’, atau ’jilbab dan tas Manohara’ untuk melabelkan sebuah model jilbab dan tas yang banyak dijual di Tanah Abang, Jakarta. Ternyata pada kasus rumah makan, asosiasi yang dihasilkan berkonotasi sebagai ’kisah sukses’, ’alternatif’, dan tren stereotip. Pada kasus jilbab dan tas, hubungan yang terbentuk adalah paradigmatik. Makna dari bentuk jilbab dan tas tersebut digantikan dengan apa yang orang-orang pikir tentang Manohara (dan kebetulan Ibu Prita juga berjilbab), lagi-lagi tren stereotip. Hubungan asosiasi dan paradigmatik tersebut tidak hanya dipikirkan oleh satu orang melainkan ribuan, bahkan mungkin jutaan se-Indonesia. On the other hand, kasus Ibu Prita mempunyai urutan kelahiran asosiatif yang berbeda dengan kasus Manohara. Pada kasus Ibu Prita, labelisasi lahir sebelum kasus selesai, sebaliknya pada kasus Manohara. Ini adalah permainan metafora. Ibu Prita kemudian menjadi metafora dari ‘korban malpraktek’, dan ‘fenomena ITE’ di Indonesia. Sadar ataupun tidak disadari oleh Ibu Prita, metafora terhadap dirinya adalah hal yang menyelamatkan dirinya.

Kasus terakhir adalah mengenai nomor urut capres. Tadinya saya mau menuliskannya kedalam bentuk artikel untuk dimuat dikoran tetapi saya kira tidak perlulah, toh kalo saya ngomong semiotik apa ada yang ngerti… (bukannya merendahkan lho, hanya saja yang tidak mengerti lebih banyak dari yang mengerti…). Pendapat saya mengenai semiotika nomor urut capres dilandasai setelah banyaknya paranormal ataupun pembicaraan di forum-forum online tentang pendapat mereka pada masing-masing nomor urut. Yang unik adalah mereka melakukan apresiasi tanpa sadar dengan mengkonstruksi persepsi yang sudah dimiliki oleh mereka sendiri terhadap nomor yang bersangkutan. Sebagai contoh, ada yang mengatakan bahwa nomer 1 ’menandakan’ akan menjadi nomer 1, nomer 2 mudah diingat (dari mana ingatannya??), nomer 3 adalah nomer yang akan meneruskan, dsb. Nomor urut kemudian menjadi symbol, karena adanya hubungan kausalitas antara kenyataan dengan ke-sebab-an yang ada dalam pikiran para interpretants tersebut. Terlepas hasil akhirnya nanti, menarik sebenarnya untuk disimak bahkan kalo ada yang mau menelitinya, apakah semiotika nomor urut tersebut berpengaruh pada elektabilitas (saya baru saja belajar mengenai kata ini) para capres.

Sekiranya sekian dulu, terima kasih sudah membacanya.

Iklan

On discourses of media and ethics (for Ms. Nora Abdul Azis)

Salam Damai,

1,5 bulan lalu saya mendapat pertanyaan dari Ms. Nora Abdul Azis yang saat ini sedang meneliti tentang media ethics di negara-negara Islam dan atau dengan penduduk mayoritas Islam, dari profilenya di facebook saya baru tahu bahwa Ms. Nora juga dosen di Univ. Industry Selangor, Malaysia, hmm we’re collegue then… The questions are, “Are there similarities between media ethics practiced in Western and Islamic traditions? Do you think we can really practiced this Islamic based Media Ethics in our region ie. Islamic Countries?” Sebelumnya saya harus katakan bahwa saya tidak mempunyai background yang mendalam mengenai etika media atau khusus meneliti tentang ini karena itu pendapat yang akan saya kemukakan lebih mendasar pada pengamatan saya sebagai peneliti di bidang komunikasi dibanding pakar etika media nevertheless, saya akan usahakan untuk menjawab pertanyaan yang Ms. Nora ajukan dengan semampu saya.

Diskursus tentang etika media tidak akan pernah habis-habisnya selama media sebagai institusi terus berdiri. This subject involves dua hal yaitu etika dalam konteks perilaku manusia dan eksistensi media karena itu pendekatan terhadap etika media menurut saya bisa dilakukan melalui dua arah yaitu pertama, melalui pendekatan perilaku manusia (behaviorism) despite social atau personal. Kedua, melalui pendekatan studi media. Merespon pertanyaan whether any differences between media practices in western and Islam tradition, jawabannya tentu saja ada. Jika kita melihat perbedaan antara paradigma barat dan Islam dalam institusi media kita bisa melihat di dalam sejarah media itu sendiri, dalam sejarah buku misalnya, bagaimana pengaruh dari penemuan Gutenberg telah merubah komposisi intelektualitas international termasuk dengan lahirnya Al-Qur’an versi cetak.

Etika pada dasarnya menjawab pertanyaan ‘How’ dari perilaku manusia karena itu dalam etika media pertanyaan besarnya adalah bagaimana media seharusnya berperilaku di dalam kehidupan manusia especially di dalam masing-masing konteksnya (western and Islamic). Jika ada ketentuan maka ada pelanggaran, dan inilah yang menjadi daya tarik kita mempelajari etika media. Saya tidak akan melanjutinya ke ontology dari etika media takut terlalu jauh nantinya, tetapi saya akan kembali ke pertanyaan perbedaan etika media dunia barat dan Islam melalui contoh-contoh yang bisa saya ingat. Di setiap peradaban selalu ada anomali budaya, dalam etika media barat anomali etika media antara lain aspek politisasi dari pesan-pesan yang dibawa media, misalnya MTV dan stereotype anak muda dunia. Di dunia Islam, praktik-praktik anomali yang saya ketahui antara lain penerapan konsep Haram untuk disimak terhadap beberapa isi media, dan di Indonesia terutama masalah pornografi dan pornoaksi seperti foto syur Max Moein misalnya.

Jika kita melihat reaksi masyarakat di mana anomali tersebut muncul kita bisa melihat bahwa masyarakat selalu merefleksi pada aturan kemasyarakatan yang mereka ketahui, artinya bahwa etika media adalah sebuah refleksi dari perilaku media oleh aturan yang dibuat masyarakat. Jika aturan tidak ada maka tidak ada etika yang dilanggar oleh media whatsoever. Karena itu, untuk menjawab pertanyaan kedua apakah kita bisa benar-benar menerapkan etika media menurut Islam atau di negara-negara Islam saya melihat bahwa hal tersebut adalah realistis dan bisa diterapkan. Alasan saya yaitu bahwa Negara-negara Islam atau dengan mayoritas penduduk Islam seperti Indonesia dan Malaysia umumnya sudah mempunyai aturan tentang bagaimana media seharusnya berperilaku ada yang formal seperti Kode Etik Wartawan dan Undang-undang Pers dan ada juga yang informal seperti konvensi dalam meliput berita dan memberitakan konflik. Dengan sudah berdirinya infrastruktur tersebut maka penerapan etika media ‘versi’ negara-negara Islam akan berjalan dengan baik.

Jawaban di atas mungkin tidak memuaskan anda dan dirasakan kurang lengkap, karena itu saya mengajak anda untuk berdiskusi dengan meninggalkan comment di blog ini. Terima kasih atas perhatiannya.