News Conference & Media Relation

Salam,

Secara umum, presentasi dibawah ditujukan buat temen-temen yang tertarik untuk tahu bagaimana mengadakan konferensi pers yang baik serta bagaimana meningkatkan  dan membina hubungan dengan media yang lebih menguntungkan. Secara khusus file dibawah saya tujukan kepada mahasiswa yang mengambil matakuliah Press Release. Semoga bermanfaat.

Salam Damai,

News conference & Media Relation

Iklan

On discourses of media and ethics (for Ms. Nora Abdul Azis)

Salam Damai,

1,5 bulan lalu saya mendapat pertanyaan dari Ms. Nora Abdul Azis yang saat ini sedang meneliti tentang media ethics di negara-negara Islam dan atau dengan penduduk mayoritas Islam, dari profilenya di facebook saya baru tahu bahwa Ms. Nora juga dosen di Univ. Industry Selangor, Malaysia, hmm we’re collegue then… The questions are, “Are there similarities between media ethics practiced in Western and Islamic traditions? Do you think we can really practiced this Islamic based Media Ethics in our region ie. Islamic Countries?” Sebelumnya saya harus katakan bahwa saya tidak mempunyai background yang mendalam mengenai etika media atau khusus meneliti tentang ini karena itu pendapat yang akan saya kemukakan lebih mendasar pada pengamatan saya sebagai peneliti di bidang komunikasi dibanding pakar etika media nevertheless, saya akan usahakan untuk menjawab pertanyaan yang Ms. Nora ajukan dengan semampu saya.

Diskursus tentang etika media tidak akan pernah habis-habisnya selama media sebagai institusi terus berdiri. This subject involves dua hal yaitu etika dalam konteks perilaku manusia dan eksistensi media karena itu pendekatan terhadap etika media menurut saya bisa dilakukan melalui dua arah yaitu pertama, melalui pendekatan perilaku manusia (behaviorism) despite social atau personal. Kedua, melalui pendekatan studi media. Merespon pertanyaan whether any differences between media practices in western and Islam tradition, jawabannya tentu saja ada. Jika kita melihat perbedaan antara paradigma barat dan Islam dalam institusi media kita bisa melihat di dalam sejarah media itu sendiri, dalam sejarah buku misalnya, bagaimana pengaruh dari penemuan Gutenberg telah merubah komposisi intelektualitas international termasuk dengan lahirnya Al-Qur’an versi cetak.

Etika pada dasarnya menjawab pertanyaan ‘How’ dari perilaku manusia karena itu dalam etika media pertanyaan besarnya adalah bagaimana media seharusnya berperilaku di dalam kehidupan manusia especially di dalam masing-masing konteksnya (western and Islamic). Jika ada ketentuan maka ada pelanggaran, dan inilah yang menjadi daya tarik kita mempelajari etika media. Saya tidak akan melanjutinya ke ontology dari etika media takut terlalu jauh nantinya, tetapi saya akan kembali ke pertanyaan perbedaan etika media dunia barat dan Islam melalui contoh-contoh yang bisa saya ingat. Di setiap peradaban selalu ada anomali budaya, dalam etika media barat anomali etika media antara lain aspek politisasi dari pesan-pesan yang dibawa media, misalnya MTV dan stereotype anak muda dunia. Di dunia Islam, praktik-praktik anomali yang saya ketahui antara lain penerapan konsep Haram untuk disimak terhadap beberapa isi media, dan di Indonesia terutama masalah pornografi dan pornoaksi seperti foto syur Max Moein misalnya.

Jika kita melihat reaksi masyarakat di mana anomali tersebut muncul kita bisa melihat bahwa masyarakat selalu merefleksi pada aturan kemasyarakatan yang mereka ketahui, artinya bahwa etika media adalah sebuah refleksi dari perilaku media oleh aturan yang dibuat masyarakat. Jika aturan tidak ada maka tidak ada etika yang dilanggar oleh media whatsoever. Karena itu, untuk menjawab pertanyaan kedua apakah kita bisa benar-benar menerapkan etika media menurut Islam atau di negara-negara Islam saya melihat bahwa hal tersebut adalah realistis dan bisa diterapkan. Alasan saya yaitu bahwa Negara-negara Islam atau dengan mayoritas penduduk Islam seperti Indonesia dan Malaysia umumnya sudah mempunyai aturan tentang bagaimana media seharusnya berperilaku ada yang formal seperti Kode Etik Wartawan dan Undang-undang Pers dan ada juga yang informal seperti konvensi dalam meliput berita dan memberitakan konflik. Dengan sudah berdirinya infrastruktur tersebut maka penerapan etika media ‘versi’ negara-negara Islam akan berjalan dengan baik.

Jawaban di atas mungkin tidak memuaskan anda dan dirasakan kurang lengkap, karena itu saya mengajak anda untuk berdiskusi dengan meninggalkan comment di blog ini. Terima kasih atas perhatiannya.

Hiperrealitas Pada Sinetron Indonesia

Tulisan ini saya buat sekitar 1 tahun yang lalu, ketika itu saya muak menonton sinetron2 indonesia yang isinya hanya itu2 saja, dan saya rasa bukan cuma saya, beberapa analis media yang saya temui juga sebenarnya sudah mengungkapkan isu ini beberapa tahun sebelumnya lewat seminar2, miling list bahkan surat yang ditujukan langsung ke perusahaan media, tetapi… ya namanya akademisi… duitnya kurang banyak dibanding produser sinetron… jadi sepertinya isu ini timbul tenggelam… Sampai beberapa hari yang lalu, saya baca di beberapa miling list yang saya ikuti. Karena banyak sekali yang bahas film fitna sehingga entah darimana beberapa anggota milis mengaitkannya dengan sinetron indonesia. Saya sudah lebih dari 8 bulan tidak nonton sinetron indonesia (kadang-kadang kangen juga ama cinta laura…. eh, sinetronnya masih ada kan???…) jadi tidak bisa banyak komentar mengenai kondisi saat ini (mungkin anda bisa bantu???)

Setelah menggali file2 lama, akhirnya saya ketemu artefak ini, tulisan ini saya kirim ke majalah Cakram Komunikasi, tidak jelas apakah dimuat atau tidak (sepertinya sih tidak… karena saya tidak pernah terima transfer dari CK), jadi setelah beberapa edit, here is… enjoy….

Riza

———————————————————————————————————————–

———————————————————————————————————————–

Membahas hubungan antara media dan budaya manusia selalu menjadi bahasan yang menarik untuk disimak. Lihat saja, dimana-mana orang selalu berbicara mengenai topik ini, mulai dari diskusi mengenai efek politis dari kampanye di televisi hingga perbincangan mengenai apakah yang dimaksud dengan pornografi dan pornoaksi. Untuk yang terakhir ini, peran media sangat penting sebagai batasan nilai yang akan selanjutnya menjadi tolok ukur nilai masyarakat, Tetapi tulisan ini tidak akan membahas lebih jauh mengenai topik tersebut. walaupun sebenarnya ada keinginan yang lebih kuat untuk membahasnya.

Ide dari tulisan ini diawali dari kenyataan bahwa menonton televisi saat ini jauh lebih mengerikan dibandingkan sebelumnya. Ungkapan ini bukan berarti lebih jauh atau lebih buruk, walaupun kata mengerikan sepertinya terlalu berlebihan. Tapi yang ingin penulis sampaikan adalah permainan makna telah menjadi komoditi yang terlalu berlebihan dalam mengeksploitasi kenyataan dan imajinasi penonton. Penggabungan antara siklus kemiskinan dan tangis manusia menjadi reality show yang bersekuel atau ketenaran dan pedihnya kekalahan menjadi ujung tombak penjualan iklan acara-acara pencarian bakat adalah sedikit dari jendela-jendela yang dibuka oleh industri penyiaran. Jendela yang menyedot sebagian dari kepercayaan masyarakat.

Dalam masyarakat postmodernisme memang nilai tidak bisa dibahas dengan cara konvensional tanpa memahami konteks dari nilai itu sendiri. Pada masyarakat postmodernisme, nilai adalah atribut yang bisa tumpang tindih. Tetapi apa yang dimaksud postmodernisme itu? Menurut Scott Lash dalam bukunya Sociology of Postmodernism (1991:4), postmodernisme dapat diartikan sebagai paradigma budaya yang memiliki semacam struktur simbolik yang akan selalu bereproduksi ketika struktur simbolik yang ada kian memudar. Menurutnya, paradigma postmodernisme memiliki konfigurasi-konfigurasi ”spatio-temporal. Pandangan Scott Lash mirip dengan pandangan Thomas Kuhn tentang paradigma dalam revolusi ilmiahnya atau pandangan Foucault tentang wacana yang ingin diperbaharui lagi.

Paradigma budaya dalam postmodernisme itu terjadi karena adanya semacam periode signifikasi (Lash, 1991). Dalam periode ini terdapat model khusus (spesifik) dari signifikasi yang merujuk pada objek budaya yang tergantung pada relasi tertentu antara signifier (penanda), signified (petanda), dan referent. Pada media budaya, maka suara, imajinasi, kata-kata, atau pernyataan disebut sebagai signifier. Sedang signified (petanda) adalah sebuah konsep atau makna dan referent mengacu pada sebuah objek dari dunia realitas di mana signifier (penanda) dan signified (petanda) berhubungan.

Dalam budaya posmo, orang membaca suatu teks tidak lagi pada informasi yang disampaikan tetapi lebih kepada bagaimana informasi tersebut sampai pada panca indera mereka, medium is the massage. Konteks adalah sumber referensi bagi kesadaran masyarakat. Permasalahannya, konteks justru merupakan wilayah abu-abu dari petanda atau aspek mental dari suatu tanda. Dalam budaya posmo, tanda selalu saling melebur atau memisahkan makna dari bentuknya. Identitas individu adalah identitas kolektif dan sebaliknya. Realitas selalu tidak pernah sama setiap saat, sebuah konstruksi akan selalu meniadakan sekaligus membangun konstruksi realitas baru pada saat yang bersamaan, sebuah realitas yang melampaui, sebuah hiperrealitas!

Konsep Hiperrealitas; sebagaimana yang dikemukakan oleh Jean Baudrillard, adalah sebuah konsep dalam dunia posmodernisme dimana ukuran-ukuran realitas yang ada tidak dapat dipegang lagi. Sebuah dunia realitas yang dalam konstruksinya tidak bisa dilepaskan dari produksi dan permainan bebas tanda-tanda yang melampaui (Hyper-sign). Dunia hiperrealitas, dengan demikian, dapat dipandang sebagai sebuah dunia perekayasaan realitas lewat permainan tanda-tanda. Permainan tersebut sedemikian rupa sehingga tanda-tanda tersebut kehilangan kontak dengan realitas yang direpresentasikannya.

Hiperrealitas menciptakan satu kondisi, yang didalamnya kepalsuan berbaur dengan keaslian; masa lalu berbaur dengan masa kini; fakta bersimpang siur dengan rekayasa; tanda melebur dengan realitas; dusta bersenyawa dengan kebenaran (Baudrillard; 1983). Hiperrealitas menghadirkan model-model kenyataan sebagai sebuah simulasi bagi penikmatnya, sebuah simulacrum. Simulasi atas dasar tanda-tanda realitas (sign of reality) dimana tanda-tanda hidup bukan untuk melukiskan realitas yang diwakilkannya tetapi mereka hadir hanya untuk mengacu pada dirinya sendiri (Piliang, 2003)

Dalam sinetron religi (istilah ini bukan justifikasi, hanya sekadar memudahkan pengkategorian saja) saat ini, hiperrealitas semakin terasa dengan tanda-tanda personifikasi yang kadang-kadang tidak mengacu sedikitpun pada realitas yang ada melainkan hanya menggambarkan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi jika tanda tersebut hadir. Salah satu tanda yang mencolok dan selalu seakan-akan menjadi komoditas unggulan adalah penggunaan bentuk-bentuk makhluk halus baik secara animasi maupun efek make-up. Tanda ini sangat krusial untuk diinterpretasikan salah oleh para penonton.

Secara denotatif, tanda berupa penampilan makhluk halus tidak mengacu pada satupun realitas yang ada didunia, yang berarti tidak ada satupun penanda (signifier) yang dapat secara reflektif diwakilkan oleh tanda ini. Tanda ini hanya bergerak pada tataran imajinasi yang kemudian diceritakan menjadi sebuah mitos dengan bentuk yang sepenuhnya rekayasa manusia. Oleh kekuatan penyiaran (broadcasting), mitos ini diputar kembali dari mitos tentang realitas menjadi mitos tentang mitos (meta-myth), sebuah penampilan yang tidak menceritakan apapun selain bahwa mitos hadir seolah-olah konstruksi realitas ada dibelakangnya. Padahal didalam kenyataannya, imajinasi penonton tidak mengarah pada mitos melainkan mereferensikannya pada kehidupan sehari-hari.

Pemaknaan yang bisa meleset ini akan diperparah jika kita melihat kemampuan tanda pada level konotasi dimana asosiasi (penggantian) dan kontinuitas makna tidak dapat dilakukan lebih jauh selain pada konsep baik (good) dan jahat (evil). Pada level ideologis ini, tanda telah menjadi alat pelebaran kekuasan suatu pendapat perseorangan mengenai konsep baik dan jahat dengan membicarakan seolah penampakan sesuatu yang mistis adalah masalah moral antara yang baik (pahlawan/Hero) dan yang jahat (penjahat/Villain). Moral menjadi wacana permainan dimana dekonstruksi pemahaman dan keyakinan mampu untuk dipengaruhi sedemikian rupa sehingga seolah-olah menjadi kebenaran. Permainan tanda yang telah melampaui batas-batas dimana ukuran moralitas masih mampu dipertahankan bahkan oleh ajaran agama yang asli sekalipun, sebuah permainan akan hipermoralitas.

Kasus ini adalah salah satu dari efek hiperrealitas dalam media yang tidak dapat diserap dengan baik dan tanpa melalui tahapan pemikiran kritis. Memang kita tidak dapat memaksa semua penonton untuk semuanya berpikir kritis karena tingkat pendidikan penonton yang tidak sama antara satu sama lain dan masih banyak acara televisi yang lain yang dapat mendidik. Tetapi yang bisa kita lakukan adalah menghimbau kepada pihak-pihak yang berkepentingan dengan penyiaran untuk lebih selektif dalam menampilkan sesuatu khususnya kepada publik. Saat ini kita mempunyai Komisi Penyiaran yang berada di tingkat nasional maupun daerah, seharusnya mereka mampu untuk lebih jeli untuk masalah-masalah penyiaran yang berkaitan dengan kesadaran publik seperti ini.

Memang secara sepintas, tidak ada satupun pihak yang berkepentingan dengan apakah sebuah sinetron menampilkan sesuatu secara berlebihan atau tidak. Selama sinetron tersebut masih ada penontonnya dan para pemasang iklan, publik kita selalu beranggapan sah-sah saja. Tetapi pada kenyataannya tidak begitu, para ahli komunikasi sudah bertahun-tahun mengingatkan publik penonton bahwa efek televisi sedemikian besar sehingga pengaruhnya tidak hanya dirasakan saat ini tetapi masih bisa dirasakan berpuluh-puluh tahun kemudian. Kasus pemerkosaan oleh murid SD dan SMP karena sering menonton film dewasa, kasus pembunuhan oleh murid SMP di Amerika karena diilhami film tentang pembunuhan berantai.

Kesemuanya adalah efek yang mengendap dalam kesadaran manusia akibat hiperrealitas yang ditampilkan tayangan televisi dan film. Dalam hal ini, hiperrealitas yang dihadirkan sinetron-sinetron di Indonesia sudah dirasakan terlalu berlebihan dan sudah saatnya para insan industri penyiaran untuk lebih kritis dan evaluatif mengenai tayangan mereka.

*Penulis adalah Dosen Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Lampung dan Direktur Eksekutif Pusat Studi dan Pemberdayaan Publik (PSPP)

Fitna’ Movie: Pathetic Framing From A GAY Socialpsychophat (here’s the link!)

Salam,
As you all know, so to speak, kemarin (27/03/08), sebuah film baru saja di rilis di Belanda oleh salah seorang anggota dprd utrecht bernama Geert Wilders. Hanya 12 jam dari rilisnya, lebih dari 1,2  juta orang telah menyaksikannya dan saya yakin, pada saat saya menulis di blog ini, anda di indonesia pasti juga telah mendengar tentang hal ini atau bahkan menyaksikannya. Rilis di liveleak.com tidak memperkenankan viewer untuk memberikan comment yang saya yakin banyak pro dan kontranya, nevertheless saya menulis di blog pribadi ini. Pendapat saya tidak untuk menghujat atau memaki-maki atau mengecam atau bahkan mengancam yang sudah banyak di lakukan blog milik orang muslim lainnya. Tapi saya ingin menanggapinya dengan cara yang cerdas, saya juga mengajak anda tidak termakan hasutan wilders di akhir film, dan anda juga harus menanggapinya dengan cerdas. Hati saya sebenarnya berteriak, tetapi kepala harus tetap dingin, Allah SWT mendengar doa orang-orang yang di dzhalimi.

Film berdurasi sekitar 16 menit ini, dalam perspective berdasarkan pengetahuan saya di bidang semiotika dan studi komunikasi, sangat dikotak-kotakkan sekali. Pertama, wilders berbicara dalam waawancaranya dengan AFP bahwa dia tidak membenci muslim tetapi dia membenci ideology nya yang dalam term nya “Islamisation”. Menurut saya, wilders adalah seorang pembohong besar, dalam film jelas sekali tidak ada idea yang dipertontonkan sebagai justifikasi dari ideology “Islamisation”, instead dia menunjukkan potongan-potongan klip, berita, kata-kata dari Al-Quran yang kesemuanya lepas dari context dimana kesemua texts itu berada. Dia menunjukkan foto2 orang berdemonstrasi yang saya yakin beberapa diantaranya adalah rekayasa karena ada sebuah gambar yang sepertinya dipegang oleh seorang american dan seorang pastur. Wilders memutar balikkan fakta dan logika dengan memberikan kesan seolah-oleh yang terjadi di daerah perang di timur tengah adalah apa yang akan terjadi di Belanda, fallacy of misplace concreteness! 

Kedua, dia mengkondisikan lewat permainan montage, opini bahwa seolah-oleh Islam adalah satu-satunya agama yang membenci homoseksualitas, dia tidak menyajikan full cover story (atau sengaja melakukannya) dan fakta bahwa semua agama di dunia membenci homoseksualitas, insting semiotic saya mengatakan bahwa wilders adalah seorang gay atau punya banyak teman yang gay, dan memang Belanda adalah negara pertama di dunia yang melegalkan perkawinan gay tetapi kenyataannya gayisme bukan isu sentral dalam politik Belanda, saat ini saya punya temen satu project team dari Belanda, dia yang bilang ini ke saya sewaktu kami berdiskusi tentang film ini, dan dia adalah seorang katolik. Ini mengherankan saya, karena saya bisa memahami motives wilders untuk menentang terorisme atau invasi muslim ke dalam kehidupan kenegaraan di Belanda karena dia seorang anggota representative yang mungkin salah satu musuh politik nya beragama islam atau dia punya massa pendukung yang punya masalah dengan orang-orang yang beragama islam tetapi GAY?! Carl Gustav Jung berkata tentang konsep seorang anak laki-laki yang meng-absorb his mother-image, “typical effects on the son are homosexuality and Don Juanism” (Four Archetype, 2003:19-20). Jika wilders tidak memilih Don Juanism, maka dia cenderung untuk memilih homoseksualitas, ini juga menjelaskan beberapa scences eksekusi perempuan bahkan potongan kepala seorang muslimah sesudah eksekusi, dia tidak membunuh para muslimah atau tends untuk membuat horor para perempuan yang menyaksikannya, dia membunuh his own mother-image sebagaimana semua gay melakukannya!! dan karena pemilihan gambar yang ekstrem, saya mencurigainya sebagai seorang socialpsychopat, I mean look at him!! (anda bisa lihat fotonya di link berita AFP yang ada di bawah) saya yakin dia juga seorang masochist.

Terakhir, kita saat ini hidup di dunia dimana media issue selalu berlalu dengan cepatnya, apa anda pernah menonton film ’15 minuetes’ atau mendengar teori bahwa saat ini seorang individu hanya punya waktu 15 menit untuk menjadi pusat perhatian media, setelah itu wuzzz…. media akan beralih pada isu lain, nah kira-kira itulah yang akan terjadi pada film ini. Okay! mungkin tidak 15 menit, karena 24 jam setelah film ini rilis viewers nya nambah banyak, atau seperti Ayat-ayat Cinta yang hingga tulisan ini dibuat orang masih rela ngantri buat nontonnya, mungkin lebih lama, but my point is film ini akan terkubur bersama waktu jika orang tidak lagi memperdulikannya, ingat konsep spiral of silence pada teori informasi, yah kira-kira seperti itulah. Jika tidak ada yang mau men-feedback atau meng-anti thesis isu ini, film ini akan dilupakan orang, sama seperti kontroversi karikatur nabi di koran denmark 2 tahun yang lalu. Okay!! mungkin tidak semuanya, tapi paling tidak unsignificant lagi. Tetapi sebaliknya, jika anda mulai marah-marah dan mikir “Kita tidak boleh diam, dia menghina Tuhan kita!! Kita harus bergerak!!” tolong mikir lagi, karena bagi saya Allah SWT adalah tidak ternoda Dia suci dalam dirinya sendiri dan tidak oleh kita dan tak satupun makhluk di bumi yang lebih baik di mata Nya kecuali amalannya (silahkan mikir hubungannya…), tapi ini hanya menurut saya.

Sedikit tambahan buat terakhir, jika anda tidak tahu karakter european people maka sebaiknya jangan marah-marah dulu. European people terutama di bagian daratan benua, (lander they says…) suka sekali membuat comment(s), mereka suka mengomentari apapun mulai dari harga garam sampai cuaca (favorit mereka!) jadi anda juga harus melihat film ini dalam perspektif mereka, supaya imbang maksudnya. Sewaktu saya dan temen-temen nonton ini, beberapa dari mereka ketawa-tawa, “…and expecting us to believe this crap, we better watch something else, something more useful…” some of them said to me. Dan buat saya, silahkan anda baca beritanya, nonton filmnya, dan jangan lupa tinggalkan comment di blog ini tapi setelah itu, silahkan teruskan tidur anda, atau lanjutkan games PS3 anda, lupakanlah film ini!! Besok baca koran lagi, lanjutkan hidup anda lagi, sebagaimana yang ada di film ini sendiri, “Ada saatnya Kita akan menguasai Dunia ini!” so tunggu saja tanggal mainnya… 

Riza 

PS: If you interest, here are the links (I intentionally not to put it directly): 
http://www.liveleak.com/view?i=7d9_1206624103 
http://afp.google.com/article/ALeqM5jC8xo84Wf29DJEaEQgX3fwGX3hVg