Kebohongan Publik; Etika atau Moral?

Saat ini perubahan arus informasi menyebabkan orientasi masyarakat terhadap kualitas pengalaman berkomunikasi semakin berekstensif baik secara meluas (kuantitas) maupun mendalam (kualitas). Ekstensifikasi yang menyangkut baik kesadaran kumulatif maupun personal dalam unit masyarakat berimbas pula pada komposisi dari ruang dimana informasi mampu berputar dan tumbuh. Hampir setiap hari kita berdiskursus pada kondisi komunikasi ini, kondisi yang disebut sebagai ruang publik. Mungkin beberapa dari kita sudah sering mendengar bahkan bagi mereka yang sehari-harinya berhubungan dengan media istilah ini tentu sudah tidak asing lagi.

Perputaran baik diskusi, debat ataupun sekedar obrolan yang menyangkut kepentingan publik sebenarnya adalah hal sehari-hari yang selalu dilakukan manusia sebagai bagian dari masyarakat atau bisa disebut sebagai publik. Seminar di kampus, obrolan beberapa orang pembeli di pasar tentang naiknya harga kebutuhan pokok, sms dan telepon interaktif di televisi mengenai masalah tertentu atau tulisan seorang redaktur atau pemimpin redaksi pada tajuk surat kabarnya merupakan sekelumit dari banyak contoh aplikasi pada ruang publik. Pada kondisi-kondisi tersebut yang membedakannya dari informasi pribadi adalah sifat informasinya yang umum dan memuat kepentingan orang banyak.

Karena sifatnya yang umum inilah masyarakat banyak menyalahgunakan atau menyalahartikan makna (meaning) dari informasi-informasi yang berkembang dan bercampur aduk di dalam kawah informasi ini. Dalam ilmu komunikasi dikenal istilah distorsi/gangguan dalam proses komunikasi massa, dimana dimungkinkannya terjadi penyerapan yang kurang optimal akibat terseleksinya muatan informasi yang mampu untuk sampai dan diteruskan, disini media memegang peranan karena biasanya unsur distorsi/gangguan terdapat pada unsur komunikasi ini.

Akibat dari gangguan informasi ini bermacam-macam salah satunya adalah terjadinya miskomunikasi. Kondisi miskomunikasi dimungkinkan jika pada unsur si penyerap pesan atau biasanya jika hal ini berkaitan dengan media massa maka dapat kita misalkan dengan sebutan sebagai pembaca, pendengar atau pemirsa tidak dapat mengerti arti dan makna dari pesan yang disampaikan atau setidaknya telah terjadi perubahan persepsi dari kondisi yang seharusnya di respon (feedback) oleh sang penerima pesan. Pesan yang meleset dari apa yang diharapkan ini dapat berbentuk sebagian ataupun keseluruhan dari bentuk pesan.

Sedangkan, penyebab dari munculnya gangguan di dalam proses transfer pesan ini bisa dilihat dari banyak sudut pandang pemikiran. Jika beberapa waktu yang lalu seorang senior saya menulis di surat kabar ini (Lampung Post) tentang kecenderungan perubahan orientasi berbicara masyarakat dari konteks tingkat tinggi menjadi konteks yang lebih rendah mungkin pendapat ini diambil dari pandangan analis struktural. Tetapi pada kesempatan ini penulis akan berangkat dari pandangan posmoderinitas tentang ruang publik.

Dalam pandangan posmodernisme, media dipandang sebagai bagian dari mesin-mesin teror (machines of terror) yang mensuplai kesadaran tak berdasar atau palsu (pseudo-conscienceness) ke benak audience melalui informasi-informasi tanpa klasifikasi (undefinite information). Informasi yang berputar menyebabkan terpaan yang tidak lagi bisa dibilang murni seperti apa yang selalu diasumsikan ahli komunikasi massa 40 tahun yang lalu, dalam pandangan ini teori bahwa media adalah wajah masyarakat tidak lagi bisa digunakan. Media bukanlah wajah tetapi topeng yang menutupi semua yang ada di wajah masyarakat.

Dalam konteks ini perubahan orientasi cara berbicara masyarakat tidak dipandang sebagai perubahan peningkatan (graduallity) tetapi pergeseran kemauan menjadi sesuatu makna yang lebih dangkal (banality of meaning). Dalam suatu perkuliahan, saya pernah menanyakan mahasiswa saya, kenapa lebih sering digunakan kata ‘event’ dibandingkan ‘activity’, si mahasiswa tidak menjawabnya dengan penjelasan secara akademis, walaupun dia tahu itu yang diharapkan oleh dosen dan peserta perkuliahan. Tetapi, yang dijawabnya adalah bahwa kata ‘event’ lebih enak terdengar di telinga dibandingkan kata ‘activity’. Saya tanya kembali, sesederhana itu? Mahasiswa itu hanya menjawab ‘ya’. Saya tidak menyalahkan mahasiswa itu.

Di dalam kehidupan sehari-hari, kesederhanaan seperti itulah yang terjadi. Kadang-kadang kita tidak pernah berpikir apakah tata bahasa yang kita gunakan sudah benar apa belum, tetapi apa yang sekedar enak terucap dan bisa ditangkap cepat oleh lawan bicara. Kedangkalan makna sengaja diciptakan justru untuk mempermudah komunikasi, posisi semantik sebagai denotasi dari makna menjadi hilang, sedangkan yang tinggal hanya konotasi-konotasi. Roland Barthes mungkin akan menyebutnya sebagai mitos (myth) dimana simulasi kenyataan tidak bisa lagi dibedakan batasnya, apa yang mesti dipercayai dan mana yang tidak. Tetapi penulis mungkin hanya akan menyebutnya sebagai gosip (gossip), sesedehana itu?, ‘ya’.

Jika ini bisa terjadi pada tingkat personel maka hal ini juga bisa terjadi pada tingkat mediasi sebagai bagian yang berada diantara dua personel dalam proses komunikasi yaitu antara pengirim dan penerima pesan. Bagaimana kesederhanaan tersebut bisa ada di media? Media adalah topeng masyarakat, tentu ia harus mengikuti bentuk wajah masyarakatnya. Karena tanpa topeng yang pas, sang wajah akan dengan mudah mencari topeng yang lain dan ini berarti media tersebut akan mati. Bagaimana jika ada informasi yang tidak benar, apakah media berbohong? Tidak secara institusi, tetapi itulah yang disebut sebagai kebohongan publik.

Kebohongan Publik

Mengikuti perkembangan diskursus yang banyak dipengaruhi unsur politik, masyarakat kemudian mengenal sebuah istilah publik yang berkaitan dengan validitas dari kebenaran informasi yang ada didalam ruang publik, istilah yang disebut sebagai kebohongan publik. Istilah kebohongan publik umumnya dipakai jika masyarakat merasa bahwa hak masyarakat untuk mengetahui informasi yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat tersebut ternyata mendapatkan hasil yang tidak sesuai dengan apa yang ada (exist) di kenyataannya atau apa yang diharapkan untuk ada (exist). Ketidaksesuaian ini tentunya akan menimbulkan masalah, apalagi jika ternyata informasi yang miskomunikasi tersebut mengakibatkan hancurnya eksistensi baik sebagian maupun keseluruhan unsur dari masyarakat tersebut.

Dalam karya awalnya, Strukturwandel der Oeffentlichkeit (Perubahan Struktur Ruang Publik), Juergen Habermas menjelaskan suatu istilah yang merupakan salah satu bentuk baru dari berbagai tipe ruang publik, yaitu ruang publik politis (Budi Hardiman; 2004). Menurut Habermas, ruang publik politis dapat diartikan sebagai kondisi-kondisi komunikasi yang memungkinkan warga negara membentuk opini dan kehendak bersama secara diskursif. Pertanyaannya sekarang, kondisi-kondisi manakah yang diacu oleh Habermas?

Pertama, partisipasi dalam komunikasi politis itu hanya mungkin jika kita menggunakan bahasa yang sama dengan semantik dan logika yang konsisten digunakan. Semua warga negara yang mampu berkomunikasi dapat berpartisipasi di dalam ruang publik politis itu. Kedua, semua partisipan dalam ruang publik politis memiliki peluang yang sama dalam mencapai suatu konsensus yang setara dan memperlakukan mitra komunikasinya sebagai pribadi otonom yang mampu bertanggung jawab dan bukanlah sebagai alat yang di pakai untuk tujuan-tujuan di luar mereka.

Ketiga, harus ada aturan bersama yang melindungi proses komunikasi dari represi dan diskriminasi sehingga partisipan dapat memastikan bahwa konsensus dicapai hanya lewat argumen yang lebih baik. Singkatnya, ruang publik politis harus “inklusif”, “egaliter” dan “bebas tekanan”. Kita dapat menambah ciri-ciri lain seperti pluralisme, multikulturalisme, toleransi, dan seterusnya. Ciri ini sesuai dengan konsep kepublikan itu sendiri, yaitu dapat dimasuki oleh siapa pun.

            Dimanakah pusat dari ruang inklusif, egaliter, dan bebas tekanan itu di dalam masyarakat majemuk? Jika kita, seperti analisis habermas, membayangkan masyarakat kompleks dewasa ini sebagai tiga komponen besar, yaitu sistem ekonomi pasar (kapitalisme), sistem birokrasi (negara), dan solidaritas sosial (masyarakat), lokus ruang publik politis terletak pada komponen solidaritas sosial. Dia harus dibayangkan sebagai suatu ruang otonom yang membedakan diri baik dari pasar maupun negara.

Dalam era globalisasi pasar dan informasi dewasa ini, sulitlah membayangkan adanya forum atau panggung komunikasi politis yang bebas dari pengaruh pasar maupun negara. Kebanyakan seminar, diskusi publik, demontrasi, dan seterusnya didanai, difasilitasi, dan diformat oleh kekuatan finansial besar, entah kekuatan bisnis, partai, atau organisasi internasional dan seterusnya. Hampir tdak ada lagi lokus netral dari kekuatan ekonomi dan politik.

            Dalam negara hukum demokratis, ruang publik politis sebagai sistem alarm dengan sensor peka yang menjangkau seluruh masyarakat. Pertama. Ia menerima dan merumuskan situasi problem sosio-politis. Melampaui itu, kedua, ia juga menjadi mediator antara keanekaragaman gaya hidup dan orientasi nilai dalam masyarakat di satu pihak dan sistem politik serta sistem ekonomi di lain pihak. Kita bisa membayangkan ruang publik politis sebagai struktur  intermedier di antara masyarakat, negara, dan ekonomi.

Organisasi-organisasi sosial berbasis agama, LSM, perhimpunan cendikiawan, paguyuban etnis, kelompok solidaritas, gerakan inisiatif warga, dan masih banyak yang lainnya di dalam ruang publik politis memberikan isyarat problem mereka agar dapat dikelola oleh negara. Ruang publik berfungsi baik secara politis jika secara “transparan” memantulkan kembali persoalan yang dihadapi langsung oleh yang terkena.

Transparansi itu hanya mungkin jika ruang publik tersebut otonom dihadapan kuasa birokrasi dan kuasa bisnis. Tuntutan normatif ini tentu sulit didamaikan dengan fakta bahwa media elektronik dan media cetak di mayarakat kita kerap menghadapi dilema yang tak mudah dihadapan tekanan politis maupun pemilik modal. Namun, itu tak berarti bahwa pelaku ruang publik menyerah saja pada imperatif pasar dan birokrasi. Jika tidak terpenuhi tuntutan normatifnya, ruang publik hanya akan menjadi perluasan pasar dan negara belaka.

            Tanpa mengurangi kondisi dilema yang dihadapi dan keberadaan posisi media apakah berada antara etika atau moral. Kebohongan atau ketidaksesuaian informasi sangat dimungkinkan didalam ruang publik politis. Dalam wadah ini, interpretasi adalah kunci pintu masuk dari banyak jalan kesadaran. Pemblokiran informasi (blocking), pemutarbalikkan data (twisting) atau penyangkalan (denialing) adalah hal yang umum akan ditemui sebagai konsekuensi dari euforia yang ada. Jadi di mana letak kebohongan publik di tengah banjir informasi yang tengah melanda kita?

Di ujung spektrum yang satu, kebohongan kepada publik merupakan alternatif informasi untuk tujuan politik semata. Tidak ada yang dirugikan, dan tidak ada yang tersinggung. Bila pejabat atau wakil rakyat memilih bergenit-genit dengan kebohongan seperti ini, maka pada gilirannya nanti wajar bila dia akan kehilangan konstituen. Di ujung spektrum lainnya, kebohongan publik bisa berakibat pelanggaran pasal-pasal pidana. Apalagi kalau kepentingan publik menjadi taruhannya. Dalam kaitan ini, kebohongan semacam ini patut menjadikan pelakunya diseret ke hadapan meja hijau.

Antara Etika dan Moral

Sebenarnya agak sulit untuk menjawab dimanakah letak kesalahan dari suatu kebohongan publik, apakah pada sisi etika atau moral? Atau keduanya? Hal ini dikarenakan jawaban dari pertanyaan tersebut harus dikembalikan pada masing-masing kasus yang akan diamati, hal apakah yang berpengaruh di dalam kebohongan publik tersebut. Tetapi yang bisa kita lakukan khususnya penulis sebagai seorang akademisi adalah menunjukan dimana landasan dari penentuan apa yang pantas dan tidak pantas dilakukan menurut etika dan moral yang ada di masyarakat tanpa pretensi untuk menjustifikasi apapun.

Karena pengejawantahannya di praktek kehidupan bermasyarakat pun, perselisihan pendapat mengenai apa yang pantas dan tidak pantas dalam diskursus ruang publik sering kali merupakan konsumsi yang hanya memutar-mutar fokus pendapat antara etika dan moral (Baggini: 2003). Perdebatan ini mencerminkan perbedaan mendasar dalam pemikiran tentang etika, yaitu antara mereka yang melihat pusat gravitasi moral dalam tingkah laku kehidupan pribadi dan mereka yang melihat moralitas berpusat dalam di dunia publik, dimana perilaku kita berpengaruh pada perilaku atau persepsi orang lain.

Tentu saja, tak satu pun yang memandang moralitas sepenuhnya berurusan dengan tingkah laku pribadi atau sepenuhnya berkaitan dengan perilaku publik secara langsung. Namun kita sering melihat bahwa perbedaan di dalam penekanan sudut pandang mempunyai peranan yang penting di dalam memutuskan suatu persoalan publik.  Mengurai isu-isu moral merupakan tugas yang sulit dan tanpa akhir, tetapi setidaknya isu-isu tersebut akan mendasarkan pada pada dua pertanyaan utama yaitu; pertama, isu privasi, apakah pihak-pihak yang terlibat di dalam isu-isu moral tersebut memiliki hak untuk merahasiakan kehidupan pribadi mereka atau apakah publik berhak mengetahuinya?

Lalu kedua, isu akuntabilitas, apakah pihak-pihak yang berkaitan dengan isu-isu moral tersebut punya hak untuk bertingkah laku sesuai kehendak mereka sendiri di dalam kehidupan pribadi mereka, tanpa mempengaruhi hak mereka dalam bekerja dan untuk tetap dipekerjakan ataukah publik berhak memutuskan apakah mereka berperilaku pantas atau tidak? Orang mungkin akan memberikan jawaban yang berbeda pada kedua pertanyaan tersebut, misalnya, seseorang mungkin percaya bahwa kita berhak tahu segalanya tentang seorang wakil rakyat, namun kita tidak punya hak untuk menurunkannya dari jabatan publik sebagai konsekuensi tindakannya.

Disini, yang harus menjadi perhatian utama adalah pembedaan antara etika dan moral, kita sering mempertukarkan kedua istilah itu. Etika adalah studi tentang perilaku manusia, bukan apa yang sesungguhnya dilakukan orang, namun apa yang seharusnya mereka lakukan. ‘Keharusan’ ini dapat terdiri atas beberapa jenis. Menurut Kant, ‘keharusan’ etika selalu keharusan yang absolut atau ‘kategoris’. Kita harus melakukan ini atau itu karena itulah tuntutan moral. Namun ‘keharusan’ bisa juga bersyarat, misalnya, kita harus melakukan ini atau itu jika kita ingin menjalani kehidupan secara penuh.

Moralitas dapat dilihat sebagai bagian dari etika. Norma moral adalah seperangkat peraturan yang menentukan bagaimana seharusnya kita berperilaku, dengan implikasi bahwa melakukan sebaliknya adalah salah, karena mungkin membahayakan diri sendiri atau orang lain. Oleh sebab itu, moralitas selalu memiliki aturan yang bisa dimengerti dan bersifat memaksa, sementara etika tidak memerlukan. Dengan cara ini, etika Kant menyediakan norma moral, sedangkan Aristoteles tidak.

Salah satu pembedaan penting dalam etika adalah batas antara wilayah etika publik atau privat. Apa yang kita masukkan dalam wilayah privat bermacam-macam. Sebagian orang memandang bahwa kehidupan pribadi mereka hanya melibatkan diri mereka sendiri sementara lainnya akan memasukkan dalam lingkup lebih luas dengan mengikutsertakan teman-teman dan keluarga. Sampai manapun batasannya, seharusnya ada kecenderungan alamiah untuk mempertimbangkan bagian mana dari hidup kita yang merupakan urusan pribadi belaka dan lainnya sebagai urusan publik yang sah.

Pertimbangan tersebut didasarkan pada kata kunci perilaku manusia yaitu hak dan kebebasan. Ide tentang hak dan kebebasan sangat dekat pertautannya; untuk mengatakan saya bebas melakukan sesuatu sama dengan mengatakan saya punya hak melakukan sesuatu itu bebas dari intervensi. Hak mendasarkan kita untuk menentukan tingkah laku mana yang merupakan sepenuhnya milik pribadi individu masing-masing dan kebebasan membantu kita untuk menjalankannya tanpa gangguan dari pihak lain. Inilah yang disebut sebagai wilayah privasi seseorang.

Akan tetapi ada kalanya hak dan kebebasan itu tidak hadir demi dirinya sendiri. Konflik akan ditemui jika hak dan kebebasan tersebut mulai menemui hak dan kebebasan yang lainnya, terlebih jika menyangkut pada kepentingan orang banyak. Kita boleh berbicara sesuka kita tentang dampak positif dan negatif dari kenaikan harga BBM tetapi jika kita kemudian menggunakan media massa dan kemudian mengundang respon orang banyak, maka itu akan menjadi lain persoalannya. Kita sudah tidak lagi berbicara dalam batas privasi tetapi sudah berdisposisi dalam area ruang publik.

Kalau begitu, apa yang menjadi landasan bagi suatu hak? Julian Baggini (Making Sense; 2003) mengemukakan tiga argumen mengenai hal ini. Pertama, hak privasi dapat dikesampingkan oleh kebutuhan untuk mengabdi kepada kebaikan publik yang lebih luas. Seorang pejabat negara harus rela mempunyai jam kerja yang lebih panjang dibandingkan pegawai biasa dikarenakan publik menghendaki bahwa pejabat yang bersangkutan harus selalu siap jika publik memerlukannya. Kedua, hak privasi seseorang dapat dikesampingkan demi kebaikan diri orang itu sendiri. Seorang wakil rakyat wajib mengumumkan kekayaan pribadinya di hadapan publik, dengan ini publik dapat mengontrol apakah wakil rakyat yang bersangkutan tersangkut dugaan korupsi atau tidak jika sewaktu-waktu muncul kasus korupsi APBD.

Ketiga, seseorang kehilangan hak privasinya jika apa yang mereka lakukan dalam kehidupan pribadinya salah. Contoh yang paling sering kita lihat adalah kasus perceraian selebritis, dimana di dalam moral masyarakat, hal tersebut masih merupakan perbuatan yang tak patut. Karena ketidakpatutannya, seringkali media memberitakannya secara besar-besaran dengan anggapan bahwa publik adalah pihak yang paling berkepentingan dan berhak tahu segala sesuatunya. Ketiga argumen di atas adalah beberapa diantara banyak argumen lainnya.

Landasan hak tersebut membantu kita untuk melahirkan suatu posisi tertentu dalam berperilaku atau apa yang diperkenalkan oleh Aristoteles lebih dari dua millenium yang lalu, yaitu karakter (character). Menurut pandangannya, menjadi orang yang baik atau buruk (ingat bahwa ini bukan pengertian moral dalam arti sempit) dibentuk oleh kebiasaan dan aspek-aspek dari karakter yang kita latih. Sebagai contoh, jika kita ingin bisa menikmati hubungan yang saling percaya dan terbuka, kita harus mau mulai menanamkan sifat tersebut di dalam kebiasaan kita.

Di dalam masyarakat bebas, orang hanya dapat dihukum karena berkelakuan buruk yang menyebabkan kerugian signifikan pada orang lain. Pada saat kita mulai menghukum orang karena karakter mereka, kita mulai beroperasi sebagai ‘polisi pikiran’ dengan semua konotasi negatif yang dimungkinkan. Bagaimanapun, untuk jabatan publik tertentu, karakter mungkin menentukan. Jika seorang pemuka agama, misalnya, ternyata tidak jujur, hal tersebut tentu saja tidak relevan dengan berbagai penilaian tentang kepatutannya sehubungan dengan posisinya di dalam kepentingan publik. Begitu juga dengan posisi seorang hakim atau penegak hukum jika berada pada posisi yang sama.

Media sangat tertarik pada kehidupan pribadi orang-orang terkenal dan acapkali mengungkap kejatuhan mereka dan menyuruh mereka agar mengundurkan diri, dipecat, atau menyatakan permintaan maaf secara publik karena hal tersebut. Dalam pengertian ini, mereka mengangkat diri sebagai pelindung moral masyarakat. Namun apakah mereka dibenarkan untuk melakukan hal ini?

Dalam penilaian penulis sendiri, untuk sebagian besar, mereka tidak dibenarkan. Misalkan dalam suatu kasus ketika para pejabat publik terlibat, kecuali mereka menyebabkan kerugian serius terhadap orang lain, kita sebagai masyarakat atau publik sangat diharapkan untuk mengambil kepentingan dan mengetahui aspek-aspek kehidupan pribadi mereka. Keingintahuan tersebut diarahkan untuk memberikan sorotan yang signifikan pada bagian-bagian karakter mereka yang relevan dengan kepantasan mereka atas jabatan publik. Tapi hal ini tidak berarti kita berhak tahu tentang semua kesalahan sepanjang hidup mereka. Secara khusus, dengan siapa mereka makan malam atau bermain tenis bukan urusan para pemilih dan media sudah sepatutnya menghormati wilayah privasi seseorang.

Jika hal ini kemudian kita kembalikan pada pengertian dari kebohongan publik yaitu adanya ketidak sesuaian informasi, apakah suatu kasus yang melibatkan pejabat publik seperti Bupati atau anggota DPRD bisa dikatakan sebagai kebohongan publik? Melihat unsur yang terkandung di dalam pelaksanaannya, penulis bisa mengatakan bahwa jika suatu kasus yang melibatkan pejabat publik dan ternyata menghasilkan informasi yang berbeda dari yang selama ini di mengerti oleh publik, maka kasus tersebut bisa dikatakan sebagai kebohongan publik.

Oleh karena itu, kebohongan publik tidak hanya menyangkut kebijakan per seorangan. Sebuah kebijakan publik yang melibatkan banyak wakil rakyat sebagai pejabat publik, yang ternyata didasari pada ketidaksesuaian antara informasi yang ada dan kenyataan di lapangan maka kebijakan tersebut dapat dikatakan sebagai suatu kebohongan publik. Contoh yang paling sering terjadi di Indonesia adalah kasus korupsi APBD, dimana kemudian diketahui bahwa memang sudah ada niatan dari pejabat publik yang bersangkutan untuk menutup atau memodifikasi informasi yang seharusnya diketahui masyarakat dengan harapan memperoleh keuntungan pribadi. Maka, APBD sebagai suatu kebijakan publik akan di nilai kembali untuk dirinya sendiri apakah benar atau tidak.

Persoalannya kemudian apakah hal ini termasuk pelanggaran atau tidak dari segi etika dan moral? Jika kebohongan tersebut berkaitan dengan pelaksanaan dari kinerja pejabat publik yang bersangkutan dalam kaitannya dengan kepentingan publik, maka kebohongan tersebut adalah tidak benar secara etika dan masyarakat bisa menilainya melalui koreksi secara etika pula. Tetapi jika kemudian kebohongan tersebut melibatkan karakter pejabat publik dimana berhubungan erat dengan posisi pejabat yang bersangkutan dalam hal melaksanakan moralitas yang berlaku di masyarakat. Bahwa kepatutan moral pejabat publik adalah cermin dari kepatutan yang berlaku di masyarakat, maka kasus tersebut berada di dalam wilayah moralitas dan masyarakat sudah sepantasnya menghukum yang bersangkutan dari sisi moralitas pula.

Di sini peran media untuk menyeimbangkan informasi dan menggiring publik ke arah yang seharusnya antara etika dan moral menjadi sangat penting. Peran ruang publik politis menjadi di ambil alih oleh peran media sebagai representasinya. Hanya saja yang perlu diingat adalah bahwa konflik kepentingan akan sangat mudah sekali ditemui oleh media dan orang-orang yang bergerak di dalamnya. Untuk itu, media sepantasnya sudah mengerti batasan etika dan moral yang diketengahkan di dalam kasus yang akan sorot publik.

Bukan sebaliknya, bahwa media justru membuat justifikasi batasan etika dan moralnya sendiri dan memaksa wajah masyarakat untuk berpaling ke arah yang dikehendaki. Jika ini terjadi, maka kita akan kembali lagi pada kebohongan publik yang ada di media. Secara institusi media tidak salah dalam pengertian media mempunyai etikanya sendiri kecuali jika miskomunikasi ini disebabkan kegagalan per seorangan yang kemudian diketahui bertentangan dengan kode etik yang dipercayai institusi media tersebut. Tetapi secara moralitas, media tersebut tidak lagi merupakan representasi dari wajah masyarakat, di sini kepercayaan yang menjadi taruhannya.

Membahas mengenai kebohongan publik apalagi jika dikaitkan dengan wilayah normatif antara etika dan moral memang tidak akan ada habisnya. Diskursus yang akan meruncing memang masih jauh dari apa yang diharapkan, tetapi setidaknya tulisan ini sudah memberikan suatu penyegaran pada ingatan masyarakat bahwa sebagai suatu wajah, masyarakat mempunyai hak dan kebebasannya sendiri dan media mempunyai peran yang penting dalam mengarahkan pandangan yang ada.

Meski di dalam era posmodernisme saat ini, media hanya dipandang sebagai topeng yang memiliki seribu rupa dengan ketakutan (terror) atas kedangkalan makna yang mungkin terjadi. Tetapi pada kenyataannya masyarakat tetap tidak bisa bergeming dari terpaan media. Kita tetap tidak bisa berangkat kerja tanpa terlebih dahulu membaca koran dan minum kopi.

Iklan