Google Wave at first sight

Salam Damai,

Dua hari lalu saya menjadi satu diantara 100.000 orang yang diundang Google untuk menjadi tester Beta version dari Google wave. Undangan itu menclok di inbox saya dengan tulisan ‘Your invitation to preview Google Wave’ dan link ke versi test dari Google wave di dalamnya. Mungkin diantara pembaca ada juga yang mendapat undangan ini. Tulisan ini adalah pendapat saya pribadi mengenai Google wave dan tidak mencerminkan pendapat dari keseluruhan sampel. Sebelum mencoba aplikasi terbaru dari Google ini saya mencoba mencari tahu dulu ulasan dari blogs terkenal seperti readwriteweb, tujuannnya supaya saya yakin bahwa link yang dikirim ini bukan spyware atau hoax. Setelah yakin dan mendapat kesan pertama dari berbagai ulasan yang ada di internet saya kemudian mencobanya.

Pendapat saya akan berfokus pada aspek computer-mediated communication dan apakah Google wave bisa dikategorikan sebagai groupware atau social software. Sebagai awalan saya menganalisa tiga kolom yang digunakan pada main interface. Kolom paling kiri mempunyai fitur-fitur yang sama dengan kolom kiri Gmail, kolom tengah adalah email atau ‘wave’ anda, dan kolom paling kanan adalah isi dari wave yang anda klik. Kesan pertama saya bahwa Google wave bukanlah sebuah aplikasi email biasa. Mengapa saya katakan demikian? Google wave bisa disebut sebagai aplikasi email karena tampilannya yang hanya mengetengahkan satu main interface seperti email pada umumnya. Tetapi berbeda dengan aplikasi GoogleDocs. Google wave lebih berfokus pada kerja email dibandingkan lembar kerja (worksheet). Pada prinsipnya, menurut saya Google wave hanyalah protocol email yang dipersingkat sehingga model interaksi dapat lebih ringkas dan cepat. Untuk ini, kesan saya bahwa Google wave menawarkan kinerja interaksi yang lebih baik dari email biasa.

Pada inbox dari versi beta tersebut ada beberapa email yang sudah dikirimkan oleh pihak Google, salah satunya adalah multimedia email dengan video dan interactive petunjuk penggunaan Google wave. Video-video tersebut cukup membantu saya dalam memahami bagaimana menggunakan Google. Fasilitas unggulan yang ditawarkan oleh Google wave adalah meningkatkan kinerja kolaboratif real-time. Argumen saya berdasarkan contoh yang mereka berikan. Seperti penulisan kolaboratif dimana setiap anggota atau teman yang anda undang dapat mengedit email yang anda ciptakan, ini yang mereka sebut sebagai wave. Sebagai contoh, anda ingin membuat sebuah kegiatan piknik keluar kota dan anda mengundang teman-teman anda untuk sumbang saran mengenai tempat yang bagus untuk dikunjungi. Anda bisa memulai wave dari anda sendiri dengan menambahkan teman-teman anda yang anda bisa seleksi. Yang cukup menarik adalah anda harus menciptakan icon anda sendiri, seperti menciptakan profile buat facebook anda dan selanjutnya icon tersebut akan muncul disetiap wave.

Fitur yang menarik perhatian saya jelas kolom paling kanan dimana adalah perubahan besar dari menulis email biasanya. Wave sudah dilengkapi kemampuan memainkan pesan audio dengan adanya control mute sound di features bar diatas wave content. Selain itu, untuk lebih menyatukan dengan Google information ecosystem yang sudah ada. Pada features bar itu juga sudah dilengkapi dengan tombol Google maps, widget, dan URL gadget. Jadi tidak hanya video yang bisa di embed, aplikasi juga bisa di embed ke dalam wave. Berbeda dengan email biasa dimana transaksi bisa diperbarui dengan tidak me-reply email lama. Pada wave, diharapkan pengguna untuk tetap menggunakan satu wave untuk satu kegiatan. Ada kelebihan dan kekurangannya menurut saya, kelebihannya bahwa kita bisa mempunyai kendali yang lebih terhadap hal yang kita shared di dalam wave tersebut. Tetapi kekurangannya, bahwa pada tingkat personal, wave tidak cocok untuk digunakan karena tidak lebih baik dari email biasa.

Dari perspektif computer-mediated communication (CMC) jelas Google wave adalah sebuah terobosan dari permasalahan yang selalu meliputi paradox sinkronis-asinkronis dari CMC. Sejak awal diciptakannya aplikasi komunikasi berbasis komunikasi, kita selalu terhambat dan mulai membeda-bedakan antara komunikasi yang langsung (sinkronis) dan tidak langsung (asinkronis). Tidak ada yang menapik bahwa email adalah aplikasi internet yang paling ‘killer’ dan penggunaannya paling banyak hingga saat ini. Para penggiat internet terus berjuang menciptakan ‘the next app killer’ pengganti email, tetapi usah itu seperti bertepuk sebelah tangan, dengan cepat hilang ditelan waktu. Saya melihat Google wave adalah usaha Google untuk mencoba menjembatani apa arti sesungguhnya dari kerja kolaboratif dengan menggunakan computer. Bahkan saya bisa mengatakan bahwa apa yang diimplikasikan dari Google wave adalah sebuah usaha untuk memberikan makna baru dari kata komunikasi termediasi computer (computer-mediated communication).

Penelitian saya pada perilaku pengguna European Navigator menemukan bahwa users cenderung menggunakan moda CMC sinkronis dan asinkronis secara terpisah. Misalnya, mereka mengirimkan email yang berisi materi yang hendak mereka kerjakan secara kolaboratif dan kemudian menggunakan skype untuk mengontak dan atau mengkonfirmasi temannya secara langsung mengenai materi yang hendak dikerjakan. Jadi ada urutan disini. Pada Google wave saya lihat ada sedikit peningkatan (leveraged) kemampuan kerja kolaboratif. Wave yang kita ciptakan ada kemungkinan berinterkasi secara tertunda (delayed) tetapi jika dilakukan secara real time malah akan mendukung performa kita lebih baik lagi. Tetapi saya melihat masih adanya kemungkinan users untuk tetap menggunakan cara konvensional untuk berkomunikasi walaupun mereka telah bekerja dengan menggunakan Google wave. Unvcertainty adalah factor utama mengapa kita melakukan komunikasi. Kita berkomunikasi sehingga kita dapat mengurangi ketidakpastian dan kesimpangsiuran informasi yang kita miliki. Terlebih lagi, kita berkomunikasi untuk mengafirmasi ke-eksistensi-an kita.

Di Google wave pilihan untuk tetap mempertahankan status quo dari uncertainty tetap ada. Walaupun canggih, saya melihat Google wave akan segera hilang jika bersaing dengan aplikasi semantic web yang mulai bermunculan. Terlebih lagi, bagi Negara berkembang seperti Indonesia dimana 70% pengguna internetnya complain terhadap kecepatan akses internet mereka, maka untuk menciptakan kondisi ideal dari real-time collaborative seperti yang diinginkan oleh Google wave tetap saja akan menemui tantangan bandwith dan kemampuan computer penerima untuk mengolah data. Saya tidak mengerti mengapa tester dari readwriteweb mengatakan bahwa ‘user experience’ (EX) adalah masalah utama dari Google wave, tetapi saya juga tidak lebih bertentangan dengan mereka. Mungkin waktu penyesuaian dan model kolom yang lebih banyak telah mempersempit area kerja dibandingkan dengan menggunakan email biasa. Tetapi apa yang saya pahami mengenai EX yang terpenting adalah asumsi pengguna. Nah, jika kita bicara tentang perspesi pengguna berarti kita bicara mengenai interpretasi pengguna mengenai Google wave dalam hal ini semiotika telah bekerja sebagai point penting bagi pengembangan Google wave.

Tentu saja, point di atas adalah pendapat saya pribadi. Tetapi jika bukan saya saja yang berpikiran seperti itu, bukankah asumsi itu telah meninggalkan ranah subjektifitas dan menuju objektif? Mungkin saja. Lalu pada pertanyaan terakhir, apakah Google wave bisa dikategorikan groupware atau social software. Definisi saya mengenai social software tidak berubah, social software adalah aplikasi yang mendukung kinerja kelompok dan keberadaannya tidak bisa dilepaskan dengan model pengikutsertaan pengguna secara massive dan interactive. Sedangkan pengertian groupware menurut saya tidak berbeda dengan social software hanya saja groupware lebih menekankan factor kegunaan aplikasi bagi users dengan karakteristik dan tujuan tertentu. Sedangkan social software biasanya sudah men-set tujuan yang ingin diakomodasi dan mengharapkan users mengerti mengenai penggunaannya. Jika melihat definisi diatas, saya mengatakan bahwa Google wave bisa menjadi kategori baru dari social software dibandingkan groupware yang umumnya dibangun bagi kalangan tertentu. Pertama, Google wave adalah tersedia secara umum dan gratis. Kedua, Google wave menawarkan trans-aksi antar users sehingga memungkinkan untuk menciptakan inside application ata gadget tertentu. Disini fungsi Google wave telah berubah menjadi platform.

Saya kira cukup sekian, ulasan saya mengenai Google wave. Tidak banyak memang, karena itu masukan dari pembaca juga sangat saya harapkan. Tetapi yang terpenting menurut saya adalah ruang dan waktu. Hanya ruang dan waktulah yang dapat menentukan apakah Google wave dapat bertahan atau tidak. Kita lihat saja.

Iklan

Does Social Software extend our senses? (Part 2)

Melihat pengaruh dari post-objectivisme dalam media dan bagaimana prosumer (produsen-consumer) menciptakan trans-alur dan pengaburan batas-batas komunikasi dalam pengertiannya yang konvensional, membuat saya berpikiran bahwa mungkin paradigm yang kita gunakan dalam menggunakan web technology sudah saatnya dibalik. Memang kalau kita melihat pertanyaan, apakah social software dapat digunakan untuk memperpanjang, atau tepatnya, memperkaya indera kita? Thus the answer is no, in term of normative context. However, as we attempt to emerge all the potential hidden abilities and social benefits that the technology may embrace in our lives, then, reconsider the other side of paradigm to see how we are going to develop social software may emerge something that we might never think of. Just like any social media technologies these days compare to what we know 5 years ago.

Melanjutkan thread sebelumnya, point kedua yang diajukan oleh Kevin Kelly mengenai web 3.0 adalah responnya terhadap Tim Berners-Lee project ‘Linked Data’.  Sebagaimana kita ketahui, minggu lalu W3C baru saja mengumumkan protocol terbaru terhadap SKOS (Simple Knowledge Organization System). Implikasinya adalah semakin dekatnya visualisasi dari aplikasi bisnis semantic web. Pertanyaan selanjutnya adalah apakah dengan munculnya aplikasi bisnis dari semantic web menandakan akhir dari web 2.0? saya kira tidak. Kita melihat perkembangan Wolfram Alpha dan bagaimana setiap minggu selalu muncul search engine baru yang mengklaim mempunyai logika string yang lebih baik, lebih ‘semantic’. Well, despite it is true or not.  Yang pasti kita masih belum melihat manfaat riil dari aplikasi-aplikasi tersebut. Menurut saya, web 2.0 akan terus berlanjut sehingga terjadi perpindahan total perilaku penggunaan web. Jadi disini, transisi ke tahap evolusi yang lebih maju ditandai oleh aspek sosiologis dibandingkan aspek teknologinya.

Lalu apa hubungannya antara linked data dengan post-objectivism? Beberapa thread terdahulu saya menyinggung sedikit mengenai seamless communication dan salah satu aplikasinya yaitu fring. Fring hanyalah sebuah sampul dari buku semantic application. Fring hanya mencontohkan kemampuan semantic web dalam mengkoneksikan satu user pada beberapa aplikasi. Potensi sebenarnya lebih dari itu. Sebagaimana yang ditunjukkan oleh Kevin Kelly dan pakar semantic web lainnya. Perkembangan web akan memungkinkan kita berkomunikasi dimana saja, kapan saja, berbiaya murah, dan lebih personal dalam pengertian sang mesin mengerti karakteristik penggunanya. Seamless communication adalah sebuah pengertian tentang media komunikasi tanpa batas materi.

Saat ini kita masih berkomunikasi dengan dibatasi medium apakah yang kita gunakan. Pendapat McLuhan tentang medium adalah pesan komunikasi itu sendiri masih kita pegang teguh. Paradigma ini menyebabkan kita terbatas oleh format media itu sendiri. Terlebih dengan konglomerasi media yang menyebabkan identitas kita dalam mengakses media adalah sumber pendapatan terbesar yang terus mereka putar ulang dengan kemasan yang semakin menarik. Cluster yang diterapkan oleh Google, Yahoo, atau kerajaan media lainnya berusaha memilah-milah kita, para pengguna sekaligus pembaca. Ekosistem informasi mereka menyebabkan para pembaca-pengguna (reader-user) dikunci sedemikian rupa sehingga kita hanya diharapkan berputar-putar saja dalam system yang mereka sudah siapkan. Pola ini menyebabkan kemudahan disatu pihak tetapi dilain pihak menyebabkan keterpurukan perilaku mengakses informasi yang sedikit banyak diragukan oleh Jakobowitz sebagai sebuah jurnalisme yang objektif.

Kalau kita sudah terkukung seperti itu, masih kita menganggap bahwa kita melek informasi (information literate)? Sebagaimana tubuh kita mengolah indera kita menjadi sensitive terhadap lingkungan berdasarkan fungsinya, mata untuk melihat, telinga untuk mendengar, mulut untuk rasa and so on. Seharusnya teknologi web juga begitu. Jika apa yang dimaksudkan oleh Kelly bahwa pada awal perkembangannya kita menggunakan teknologi web sebagai perpanjangan tangan dari indera kita. Mesin masih berfungsi menggantikan mata kita untuk memeriksa ribuan nama dokumen, sebagai mulut kita untuk memberitahukan pesan pada teman di luar negeri, atau untuk mendengar bagaimanakah cuaca hari ini. Lalu pada perkembangan teknologi selanjutnya pola tersebut berbalik.

Berlanjut…

Does Social Software extend our senses? (Part 1)

Salam Damai,

Judul diatas terlintas dibenak saya sehabis menyimak diskusi dari Kevin Kelly tentang Web 3.0 di youtube. Sebelumnya dibenak saya dan saya pikir juga berada di pemikiran para pengamat dunia maya, kita sepaham bahwa semantic web dapat disebut sebagai evolusi selanjutnya dari perkembangan teknologi web (web technology). Kita yakin bahwa sebutan web 1.0, web 2.0 dan saat ini web 3.0 adalah sebuah label atas ruang dan waktu dimana suatu teknologi sempat mewarnai dan mendominasi aplikasi dari teknologi di dunia maya. Perlu diingat sekali lagi web bukan internet.  Kuliah dari Kevin Kelly sedikit banyak menggilitik benak saya. Buat yang belum menyimak, dapat menyaksikannya di youtube dengan keywords “Kevin Kelly, web 3.0”.

Saya ingin menekankan dua hal dari apa yang dikatakan Kevin Kelly tentang Web 3.0, dana pandangan saya sendiri tentang masa depan web dengan mengkhususkan pada perkembangan dari social software. Point yang pertama; menyoroti bagaimana dunia maya berkembang dan peran serta dari worldwide web (W3) sebagi katalis terbesarnya. Sangat menarik bahwa Kevin Kelly memulainya dengan sebuah pertanyaan spekulatif menurut saya, “kita sudah merasakan perkembangan teknologi web  selama 5000 hari terakhir, nah, bagaimana perkembangan web 5000 hari selanjutnya?”. Siapakah diantara anda yang bisa menjawabnya? Kalau anda bisa, silahkan buat postingan atau upload video anda ke youtube sebagai video response, saya yakin nama anda akan seketika terkenal.  Indeed, menurut saya sekalipun anda seorang cenayang, anda tidak akan bisa menjawabnya.

Yang ingin saya pinpoint dalam pertanyaan tersebut adalah implikasi semantiknya, pertanyaan itu seperti mempertanyakan “How is the context, as a variable, will impact the development of web?” jika kita meyakini bahwa definition dari context adalah signifikansi materi yang melingkupi teknologi web. Maka kita bisa melihat benang merah yang menjulurkan proyeksi atas perkembangan web. Kevin Kelly menandai di dalam kuliahnya dengan memberikan beberapa gambaran, lebih mirip dugaan menurut saya, dari perkembangan web. Yang pertama, ia memberikan contoh bagaimana perkembangan SNS (social networking sites) has defines aktivitas baru dari manusia. Ketergantungan pada internet adalah contoh lainnya. Kelly menggilitik kesadaran kita dengan mengingatkan bahwa 5 tahun yang lalu, aktvitas tersebut tidak se-candu saat ini.

Kelly kemudian mengajukan postulat bahwa “humans have becomes the extended senses for machine, we used to vice versa”. Yang dia maksud sebagai mesin disini adalah web sebagai suatu kesatuan fungsi pikir dimana, layar-layar kaca dan perkembangan augmented technology telah mencipakan suatu mesin web yang satu dengan banyak jendela. Beberapa isu yang kemudian harus diperhatikan, dan memang dibahas didalam diskusi tersebut adalah; masalah kepemilikan (propertiary) di dalam web. Isu ini sudah dimulai sejak web berdiri tetapi pada kedepannya, Kelly menegaskan tentang masalah ini. Kelly memberikan contoh bagaimana makin banyak barang gratis di internet secara paradox juga mendorong makin banyaknya produsen memproduksi barang yang tidak bisa diduplikasikan, dalam istilah dia “uncopyable”. Masalah lain yaitu mengenai keberadaan database central dari seluruh informasi di web. Jika mesin menjadi satu maka hal yang selanjutnya bisa mendukung eksistensi dari sang mesin adalah keberadaan database yang terfokus.

Mengenai isu yang kedua, saya membayangkan terintegrasinya database menjadi sebuah entity yang terpisah dari web tetapi keberadaanya tidak bisa dilepaskan dari web itu sendiri. Seperti dua mata uang dari koin yang sama. Dalam benak saya bisa saja protocol untuk database berdiri sendiri seperti http://wwd/ misalnya. Tetapi saya bukan programmer, jadi ini hanya sebatas wacana saja. Dua isu tersebut saya korelasikan dengan premis bahwa manusia, para pengguna web, adalah kepanjangan tangan dari indera sang mesin. Kemudian termuncul dibenak saya sebuah pertanyaan, does social software extend our senses?

Berlanjut…