Social software & collaborative writing

Salam,

Berikut adalah slide presentasi saya tentang social software & collaborative writing

Social Software & Collaborative Writing

Sedangkan untuk mahasiswa komunikasi yang mengikuti kelas Sosiologi Komunikasi yang saya ampu pada sem. ganjil TA 2009/2010, dimohon juga dapat mengunduh instrumen penelitian yang lainnya yaitu:

Kuesioner pre-test soskom

Catatan Kerja Kelompok

Kedua instrumen tersebut dapat dikumpulkan ke saya melalui email di ahmad.riza@unila.ac.id dengan mencantumkan nama, NPM dan nomor kelompok anda. Terima kasih atas partisipasinya.

 

 

Iklan

Google Wave at first sight

Salam Damai,

Dua hari lalu saya menjadi satu diantara 100.000 orang yang diundang Google untuk menjadi tester Beta version dari Google wave. Undangan itu menclok di inbox saya dengan tulisan ‘Your invitation to preview Google Wave’ dan link ke versi test dari Google wave di dalamnya. Mungkin diantara pembaca ada juga yang mendapat undangan ini. Tulisan ini adalah pendapat saya pribadi mengenai Google wave dan tidak mencerminkan pendapat dari keseluruhan sampel. Sebelum mencoba aplikasi terbaru dari Google ini saya mencoba mencari tahu dulu ulasan dari blogs terkenal seperti readwriteweb, tujuannnya supaya saya yakin bahwa link yang dikirim ini bukan spyware atau hoax. Setelah yakin dan mendapat kesan pertama dari berbagai ulasan yang ada di internet saya kemudian mencobanya.

Pendapat saya akan berfokus pada aspek computer-mediated communication dan apakah Google wave bisa dikategorikan sebagai groupware atau social software. Sebagai awalan saya menganalisa tiga kolom yang digunakan pada main interface. Kolom paling kiri mempunyai fitur-fitur yang sama dengan kolom kiri Gmail, kolom tengah adalah email atau ‘wave’ anda, dan kolom paling kanan adalah isi dari wave yang anda klik. Kesan pertama saya bahwa Google wave bukanlah sebuah aplikasi email biasa. Mengapa saya katakan demikian? Google wave bisa disebut sebagai aplikasi email karena tampilannya yang hanya mengetengahkan satu main interface seperti email pada umumnya. Tetapi berbeda dengan aplikasi GoogleDocs. Google wave lebih berfokus pada kerja email dibandingkan lembar kerja (worksheet). Pada prinsipnya, menurut saya Google wave hanyalah protocol email yang dipersingkat sehingga model interaksi dapat lebih ringkas dan cepat. Untuk ini, kesan saya bahwa Google wave menawarkan kinerja interaksi yang lebih baik dari email biasa.

Pada inbox dari versi beta tersebut ada beberapa email yang sudah dikirimkan oleh pihak Google, salah satunya adalah multimedia email dengan video dan interactive petunjuk penggunaan Google wave. Video-video tersebut cukup membantu saya dalam memahami bagaimana menggunakan Google. Fasilitas unggulan yang ditawarkan oleh Google wave adalah meningkatkan kinerja kolaboratif real-time. Argumen saya berdasarkan contoh yang mereka berikan. Seperti penulisan kolaboratif dimana setiap anggota atau teman yang anda undang dapat mengedit email yang anda ciptakan, ini yang mereka sebut sebagai wave. Sebagai contoh, anda ingin membuat sebuah kegiatan piknik keluar kota dan anda mengundang teman-teman anda untuk sumbang saran mengenai tempat yang bagus untuk dikunjungi. Anda bisa memulai wave dari anda sendiri dengan menambahkan teman-teman anda yang anda bisa seleksi. Yang cukup menarik adalah anda harus menciptakan icon anda sendiri, seperti menciptakan profile buat facebook anda dan selanjutnya icon tersebut akan muncul disetiap wave.

Fitur yang menarik perhatian saya jelas kolom paling kanan dimana adalah perubahan besar dari menulis email biasanya. Wave sudah dilengkapi kemampuan memainkan pesan audio dengan adanya control mute sound di features bar diatas wave content. Selain itu, untuk lebih menyatukan dengan Google information ecosystem yang sudah ada. Pada features bar itu juga sudah dilengkapi dengan tombol Google maps, widget, dan URL gadget. Jadi tidak hanya video yang bisa di embed, aplikasi juga bisa di embed ke dalam wave. Berbeda dengan email biasa dimana transaksi bisa diperbarui dengan tidak me-reply email lama. Pada wave, diharapkan pengguna untuk tetap menggunakan satu wave untuk satu kegiatan. Ada kelebihan dan kekurangannya menurut saya, kelebihannya bahwa kita bisa mempunyai kendali yang lebih terhadap hal yang kita shared di dalam wave tersebut. Tetapi kekurangannya, bahwa pada tingkat personal, wave tidak cocok untuk digunakan karena tidak lebih baik dari email biasa.

Dari perspektif computer-mediated communication (CMC) jelas Google wave adalah sebuah terobosan dari permasalahan yang selalu meliputi paradox sinkronis-asinkronis dari CMC. Sejak awal diciptakannya aplikasi komunikasi berbasis komunikasi, kita selalu terhambat dan mulai membeda-bedakan antara komunikasi yang langsung (sinkronis) dan tidak langsung (asinkronis). Tidak ada yang menapik bahwa email adalah aplikasi internet yang paling ‘killer’ dan penggunaannya paling banyak hingga saat ini. Para penggiat internet terus berjuang menciptakan ‘the next app killer’ pengganti email, tetapi usah itu seperti bertepuk sebelah tangan, dengan cepat hilang ditelan waktu. Saya melihat Google wave adalah usaha Google untuk mencoba menjembatani apa arti sesungguhnya dari kerja kolaboratif dengan menggunakan computer. Bahkan saya bisa mengatakan bahwa apa yang diimplikasikan dari Google wave adalah sebuah usaha untuk memberikan makna baru dari kata komunikasi termediasi computer (computer-mediated communication).

Penelitian saya pada perilaku pengguna European Navigator menemukan bahwa users cenderung menggunakan moda CMC sinkronis dan asinkronis secara terpisah. Misalnya, mereka mengirimkan email yang berisi materi yang hendak mereka kerjakan secara kolaboratif dan kemudian menggunakan skype untuk mengontak dan atau mengkonfirmasi temannya secara langsung mengenai materi yang hendak dikerjakan. Jadi ada urutan disini. Pada Google wave saya lihat ada sedikit peningkatan (leveraged) kemampuan kerja kolaboratif. Wave yang kita ciptakan ada kemungkinan berinterkasi secara tertunda (delayed) tetapi jika dilakukan secara real time malah akan mendukung performa kita lebih baik lagi. Tetapi saya melihat masih adanya kemungkinan users untuk tetap menggunakan cara konvensional untuk berkomunikasi walaupun mereka telah bekerja dengan menggunakan Google wave. Unvcertainty adalah factor utama mengapa kita melakukan komunikasi. Kita berkomunikasi sehingga kita dapat mengurangi ketidakpastian dan kesimpangsiuran informasi yang kita miliki. Terlebih lagi, kita berkomunikasi untuk mengafirmasi ke-eksistensi-an kita.

Di Google wave pilihan untuk tetap mempertahankan status quo dari uncertainty tetap ada. Walaupun canggih, saya melihat Google wave akan segera hilang jika bersaing dengan aplikasi semantic web yang mulai bermunculan. Terlebih lagi, bagi Negara berkembang seperti Indonesia dimana 70% pengguna internetnya complain terhadap kecepatan akses internet mereka, maka untuk menciptakan kondisi ideal dari real-time collaborative seperti yang diinginkan oleh Google wave tetap saja akan menemui tantangan bandwith dan kemampuan computer penerima untuk mengolah data. Saya tidak mengerti mengapa tester dari readwriteweb mengatakan bahwa ‘user experience’ (EX) adalah masalah utama dari Google wave, tetapi saya juga tidak lebih bertentangan dengan mereka. Mungkin waktu penyesuaian dan model kolom yang lebih banyak telah mempersempit area kerja dibandingkan dengan menggunakan email biasa. Tetapi apa yang saya pahami mengenai EX yang terpenting adalah asumsi pengguna. Nah, jika kita bicara tentang perspesi pengguna berarti kita bicara mengenai interpretasi pengguna mengenai Google wave dalam hal ini semiotika telah bekerja sebagai point penting bagi pengembangan Google wave.

Tentu saja, point di atas adalah pendapat saya pribadi. Tetapi jika bukan saya saja yang berpikiran seperti itu, bukankah asumsi itu telah meninggalkan ranah subjektifitas dan menuju objektif? Mungkin saja. Lalu pada pertanyaan terakhir, apakah Google wave bisa dikategorikan groupware atau social software. Definisi saya mengenai social software tidak berubah, social software adalah aplikasi yang mendukung kinerja kelompok dan keberadaannya tidak bisa dilepaskan dengan model pengikutsertaan pengguna secara massive dan interactive. Sedangkan pengertian groupware menurut saya tidak berbeda dengan social software hanya saja groupware lebih menekankan factor kegunaan aplikasi bagi users dengan karakteristik dan tujuan tertentu. Sedangkan social software biasanya sudah men-set tujuan yang ingin diakomodasi dan mengharapkan users mengerti mengenai penggunaannya. Jika melihat definisi diatas, saya mengatakan bahwa Google wave bisa menjadi kategori baru dari social software dibandingkan groupware yang umumnya dibangun bagi kalangan tertentu. Pertama, Google wave adalah tersedia secara umum dan gratis. Kedua, Google wave menawarkan trans-aksi antar users sehingga memungkinkan untuk menciptakan inside application ata gadget tertentu. Disini fungsi Google wave telah berubah menjadi platform.

Saya kira cukup sekian, ulasan saya mengenai Google wave. Tidak banyak memang, karena itu masukan dari pembaca juga sangat saya harapkan. Tetapi yang terpenting menurut saya adalah ruang dan waktu. Hanya ruang dan waktulah yang dapat menentukan apakah Google wave dapat bertahan atau tidak. Kita lihat saja.

Does Social Software extend our senses? (Part 3)

Pada kemunculannya yang terkini, teknologi, atau bisa saya sempitkan pada teknologi web telah menggantikan fungsi pemikiran dan input sehingga tidak lagi tergantung dengan manusia. Kemampuan ahli teknologi kita untuk menciptakan pemikiran buatan (artificial intelligent) sudah maju sehingga peran pengguna (user) tidak lagi sebagai subjek melainkan sebagai objek. Jika kita bertanya, apakah ini menandakan sesuatu yang buruk? Saya kira kita masih harus melihat sejauh mana aplikasi teknologi tersebut berguna bagi manusia. Dalam kerangka perkembangan social software, sebagaimana kita bisa melihat pada awal perkembangannya hingga kini, ditujukan untuk membantu manusia mengolah informasi, berkerja dalam kelompok secara efektif dari segi waktu dan efisien dari segi biaya. Pada awalnya kita menciptakan aplikasi yang bisa membantu kita, memperpanjang tangan kita jika kita ingin mengerjakan banyak hal, atau memperbanyak mata kita jika kita ingin melihat banyak informasi.

Pada alamiahnya, social software adalah sebuah teknologi yang mendukung kinerja. Karena itu, pada awalanya social software lebih difokuskan dalam bentuk wadah bersama untuk saling berbagi ide dan tulisan (collaborative writing) seperti computer-supported collaborative writing (CSCW) dan Lotus Note serta file digital (networking) seperti ARPAnet. Perkembangan selanjutnya yang membagi aplikasinya menjadi banyak macam semata-mata dikarenakan tuntutan perilaku manusia yang beragam. Saat ini jika kita melihat secara spesifik pada beberapa macam social software seperti Social Networking Sites (SNS) dan Massive Multiplayer Online Role Playing Games (MMORPG) fungsi yang ditawarkan tidak lagi seperti apa yang saya ketengahkan diatas. Telah muncul adanya peningkatan atau sejenis pertumbuhan model kebutuhan sehingga tidak hanya aktivitas eksternal yang ingin didukung oleh aplikasi social software. Kebutuhan manusia akan penghargaan dan aktualisasi diri menjadi produk unggulan yang ditawarkan oleh kedua aplikasi tersebut.

Mengapa saya berani mengatakannya demikian? Apakah itu mendukung pertanyaan judul dari artikel ini? Dalam abstrak saya, yang sudah diterima untuk dipresentasikan pada European Conference ECREA (Europe Communication Research and Education Association) di Berlin pada November 2009 nanti tetapi tidak jadi saya presentasikan karena saya tidak mendapat dana untuk menghadirinya, saya mempertanyakan kemampuan MMORPG dalam mengaktualkan konsep diri atau self-presentation dengan mengambil objek penelitian adalah para pemain World of Warcraft (WoW). Dengan mempertemukan konsep J.B. Walther tentang Hyperpersonal dan turunannya yang dikenal sebagai The Proteus Effect. Saya berargumen bahwa dalam penggunaannya, secara sadar para pengguna (users) tidak serta merta menganggap bahwa karakter yang mereka mainkan adalah presentasi dari diri mereka. Walaupun begitu, mereka mengakui bahwa kemampuan-kemampuan yang dimiliki oleh karakter mereka adalah sesuatu yang mereka idam-idamkan. Apakah imbas dari pernyataan tersebut? Apa artinya? Artinya bahwa karakter MMORPG mempunyai bentuk manusia tetapi para pemain sadar bahwa karakter itu bukan mereka. Karakter mereka mempunyai mata tetapi mata tersebut tidak bisa melihat, karakter mereka mempunyai mulut tetapi  mulut tersebut tidak bisa merasakan.

Kalau begitu, apa gunanya bentuk manusia dalam MMORPG? Bukankan developer games sudah berusaha sedemikian rupa sehingga pengguna mereka bisa terwakili dengan karakter yang mereka ciptakan? Jawabannya adalah bahwa MMORPG mewakili suatu kebutuhan yang sudah sedemikian rupa diturunkan menjadi suatu kebutuhan yang sangat mendasar. Yaitu kebutuhan akan aktulitas diri, jika anda perkenankan saya untuk sedikit berfilsafat, kebutuhan tersebut adalah kebutuhan akan eksistensi. Ada alasannya mengapa seseorang menghabiskan lebih dari 100 jam per minggu mengakses MMORPG, dan saya berasumsi bahwa alasan tersebut pasti berkaitan dengan aktualitas diri atau eksistensi seseorang. Jika kita mengasumsikan bahwa demi mencapai aktualitas tersebut maka karakter yang dimainkan seseorang dalam MMORPG dapat menggantikan fungsi indera orang tersebut dalam berhubungan dengan lingkungannya maka dapat dikatakan bahwa secara hyperpersonal, karakter MMORPG pengguna tersebut adalah indera perpanjangannya dalam berinteraksi.

Lalu bagaimana seorang pengguna menghubung antara kebutuhan ekistensinya dengan perilaku penggunaan MMORPG-nya? Melalui imitasi tanda secara semiotic. Sejak kecil, secara psikologis manusia berinteraksi dengan lingkungannya melalui tiga rasa, yaitu imitasi, sugesti, dan empati. Saya akan memfokuskan pada imitasi. Dengan melakukan imitasi kita meniru tutur kata orang tua kita, kita melakukan apa yang lingkungan kita biasa lakukan, dan sebagainya. Tetapi, secara unik MMORPG dan teknologi virtual saat ini membaliknya. Sebagaimana yang saya katakan diatas, pengguna telah berbalik menjadi objek dari teknologi web. Dengan mengimitasi perilaku sang pengguna, maka sang karakter berkembang dan semakin karakter tersebut berkembang maka secara hyperpersonal kebutuha sang pengguna semakin terpenuhi.

Mari kita lihat contohnya pada SNS, lebih spesifik lagi pada Facebook. Beberapa minggu lalu saya tersenyum melihat judul proposal skripsi seorang mahasiswa yang ingin meneliti “kecanduan facebook” di fisip Unila. Saya tersenyum karena internet addiction saat ini masih menjadi sebuah kajian awal, fondasi ilmiahnya pun masih diragukan. Entah darimana mahasiswa tersebut bisa memperoleh kata “kecanduan facebook”. Menurut saya, kata kecanduan (addicted) masih terlalu tinggi  jika ingin menggambarkan perilaku pengguna facebook. Seharusnya analisa cukup difokuskan pada kebutuhan dan pola perilaku apa yang keterwakilkan dengan facebook. Saya kira seseorang dapat dikatakan candu jika orang tersebut merasa bahwa ada keterikatan eksistensi antara keberadaannya sebagai seseorang (being) dengan sesuatu, sehingga orang tersebut merasa tidak bisa hidup tanpanya. Tetapi dalam kasus facebook, keterikatan tersebut hanya bersifat tersier. Dalam arti bahwa, secara sadar bahwa pengguna facebook pun dapat melanjutkan hidupnya jika ia tidak mempunyai akses ke facebook.

Supervisor saya dulu di Luxembourg selalu mengatakan bahwa internet baginya seperti air dan udara, ia tidak bisa hidup tanpanya. Kalau begitu, dapatkah saya mengatakan bahwa ia mengalami kecanduan internet? Saya kira tidak, tetapi kalau ia tidak bisa melakukan apapun tanpa internet memang benar, dan hal ini sama seperti semua perilaku manusia dalam hubungannya dengan teknologi. Apakah social software dapat menggantikan peran manusia? Saya kira tidak. Tetapi apakah social software meningkatkan kemampuan indera kita? Saya kira, iya.

Salam Damai.

Does Social Software extend our senses? (Part 2)

Melihat pengaruh dari post-objectivisme dalam media dan bagaimana prosumer (produsen-consumer) menciptakan trans-alur dan pengaburan batas-batas komunikasi dalam pengertiannya yang konvensional, membuat saya berpikiran bahwa mungkin paradigm yang kita gunakan dalam menggunakan web technology sudah saatnya dibalik. Memang kalau kita melihat pertanyaan, apakah social software dapat digunakan untuk memperpanjang, atau tepatnya, memperkaya indera kita? Thus the answer is no, in term of normative context. However, as we attempt to emerge all the potential hidden abilities and social benefits that the technology may embrace in our lives, then, reconsider the other side of paradigm to see how we are going to develop social software may emerge something that we might never think of. Just like any social media technologies these days compare to what we know 5 years ago.

Melanjutkan thread sebelumnya, point kedua yang diajukan oleh Kevin Kelly mengenai web 3.0 adalah responnya terhadap Tim Berners-Lee project ‘Linked Data’.  Sebagaimana kita ketahui, minggu lalu W3C baru saja mengumumkan protocol terbaru terhadap SKOS (Simple Knowledge Organization System). Implikasinya adalah semakin dekatnya visualisasi dari aplikasi bisnis semantic web. Pertanyaan selanjutnya adalah apakah dengan munculnya aplikasi bisnis dari semantic web menandakan akhir dari web 2.0? saya kira tidak. Kita melihat perkembangan Wolfram Alpha dan bagaimana setiap minggu selalu muncul search engine baru yang mengklaim mempunyai logika string yang lebih baik, lebih ‘semantic’. Well, despite it is true or not.  Yang pasti kita masih belum melihat manfaat riil dari aplikasi-aplikasi tersebut. Menurut saya, web 2.0 akan terus berlanjut sehingga terjadi perpindahan total perilaku penggunaan web. Jadi disini, transisi ke tahap evolusi yang lebih maju ditandai oleh aspek sosiologis dibandingkan aspek teknologinya.

Lalu apa hubungannya antara linked data dengan post-objectivism? Beberapa thread terdahulu saya menyinggung sedikit mengenai seamless communication dan salah satu aplikasinya yaitu fring. Fring hanyalah sebuah sampul dari buku semantic application. Fring hanya mencontohkan kemampuan semantic web dalam mengkoneksikan satu user pada beberapa aplikasi. Potensi sebenarnya lebih dari itu. Sebagaimana yang ditunjukkan oleh Kevin Kelly dan pakar semantic web lainnya. Perkembangan web akan memungkinkan kita berkomunikasi dimana saja, kapan saja, berbiaya murah, dan lebih personal dalam pengertian sang mesin mengerti karakteristik penggunanya. Seamless communication adalah sebuah pengertian tentang media komunikasi tanpa batas materi.

Saat ini kita masih berkomunikasi dengan dibatasi medium apakah yang kita gunakan. Pendapat McLuhan tentang medium adalah pesan komunikasi itu sendiri masih kita pegang teguh. Paradigma ini menyebabkan kita terbatas oleh format media itu sendiri. Terlebih dengan konglomerasi media yang menyebabkan identitas kita dalam mengakses media adalah sumber pendapatan terbesar yang terus mereka putar ulang dengan kemasan yang semakin menarik. Cluster yang diterapkan oleh Google, Yahoo, atau kerajaan media lainnya berusaha memilah-milah kita, para pengguna sekaligus pembaca. Ekosistem informasi mereka menyebabkan para pembaca-pengguna (reader-user) dikunci sedemikian rupa sehingga kita hanya diharapkan berputar-putar saja dalam system yang mereka sudah siapkan. Pola ini menyebabkan kemudahan disatu pihak tetapi dilain pihak menyebabkan keterpurukan perilaku mengakses informasi yang sedikit banyak diragukan oleh Jakobowitz sebagai sebuah jurnalisme yang objektif.

Kalau kita sudah terkukung seperti itu, masih kita menganggap bahwa kita melek informasi (information literate)? Sebagaimana tubuh kita mengolah indera kita menjadi sensitive terhadap lingkungan berdasarkan fungsinya, mata untuk melihat, telinga untuk mendengar, mulut untuk rasa and so on. Seharusnya teknologi web juga begitu. Jika apa yang dimaksudkan oleh Kelly bahwa pada awal perkembangannya kita menggunakan teknologi web sebagai perpanjangan tangan dari indera kita. Mesin masih berfungsi menggantikan mata kita untuk memeriksa ribuan nama dokumen, sebagai mulut kita untuk memberitahukan pesan pada teman di luar negeri, atau untuk mendengar bagaimanakah cuaca hari ini. Lalu pada perkembangan teknologi selanjutnya pola tersebut berbalik.

Berlanjut…

Does Social Software extend our senses? (Part 1)

Salam Damai,

Judul diatas terlintas dibenak saya sehabis menyimak diskusi dari Kevin Kelly tentang Web 3.0 di youtube. Sebelumnya dibenak saya dan saya pikir juga berada di pemikiran para pengamat dunia maya, kita sepaham bahwa semantic web dapat disebut sebagai evolusi selanjutnya dari perkembangan teknologi web (web technology). Kita yakin bahwa sebutan web 1.0, web 2.0 dan saat ini web 3.0 adalah sebuah label atas ruang dan waktu dimana suatu teknologi sempat mewarnai dan mendominasi aplikasi dari teknologi di dunia maya. Perlu diingat sekali lagi web bukan internet.  Kuliah dari Kevin Kelly sedikit banyak menggilitik benak saya. Buat yang belum menyimak, dapat menyaksikannya di youtube dengan keywords “Kevin Kelly, web 3.0”.

Saya ingin menekankan dua hal dari apa yang dikatakan Kevin Kelly tentang Web 3.0, dana pandangan saya sendiri tentang masa depan web dengan mengkhususkan pada perkembangan dari social software. Point yang pertama; menyoroti bagaimana dunia maya berkembang dan peran serta dari worldwide web (W3) sebagi katalis terbesarnya. Sangat menarik bahwa Kevin Kelly memulainya dengan sebuah pertanyaan spekulatif menurut saya, “kita sudah merasakan perkembangan teknologi web  selama 5000 hari terakhir, nah, bagaimana perkembangan web 5000 hari selanjutnya?”. Siapakah diantara anda yang bisa menjawabnya? Kalau anda bisa, silahkan buat postingan atau upload video anda ke youtube sebagai video response, saya yakin nama anda akan seketika terkenal.  Indeed, menurut saya sekalipun anda seorang cenayang, anda tidak akan bisa menjawabnya.

Yang ingin saya pinpoint dalam pertanyaan tersebut adalah implikasi semantiknya, pertanyaan itu seperti mempertanyakan “How is the context, as a variable, will impact the development of web?” jika kita meyakini bahwa definition dari context adalah signifikansi materi yang melingkupi teknologi web. Maka kita bisa melihat benang merah yang menjulurkan proyeksi atas perkembangan web. Kevin Kelly menandai di dalam kuliahnya dengan memberikan beberapa gambaran, lebih mirip dugaan menurut saya, dari perkembangan web. Yang pertama, ia memberikan contoh bagaimana perkembangan SNS (social networking sites) has defines aktivitas baru dari manusia. Ketergantungan pada internet adalah contoh lainnya. Kelly menggilitik kesadaran kita dengan mengingatkan bahwa 5 tahun yang lalu, aktvitas tersebut tidak se-candu saat ini.

Kelly kemudian mengajukan postulat bahwa “humans have becomes the extended senses for machine, we used to vice versa”. Yang dia maksud sebagai mesin disini adalah web sebagai suatu kesatuan fungsi pikir dimana, layar-layar kaca dan perkembangan augmented technology telah mencipakan suatu mesin web yang satu dengan banyak jendela. Beberapa isu yang kemudian harus diperhatikan, dan memang dibahas didalam diskusi tersebut adalah; masalah kepemilikan (propertiary) di dalam web. Isu ini sudah dimulai sejak web berdiri tetapi pada kedepannya, Kelly menegaskan tentang masalah ini. Kelly memberikan contoh bagaimana makin banyak barang gratis di internet secara paradox juga mendorong makin banyaknya produsen memproduksi barang yang tidak bisa diduplikasikan, dalam istilah dia “uncopyable”. Masalah lain yaitu mengenai keberadaan database central dari seluruh informasi di web. Jika mesin menjadi satu maka hal yang selanjutnya bisa mendukung eksistensi dari sang mesin adalah keberadaan database yang terfokus.

Mengenai isu yang kedua, saya membayangkan terintegrasinya database menjadi sebuah entity yang terpisah dari web tetapi keberadaanya tidak bisa dilepaskan dari web itu sendiri. Seperti dua mata uang dari koin yang sama. Dalam benak saya bisa saja protocol untuk database berdiri sendiri seperti http://wwd/ misalnya. Tetapi saya bukan programmer, jadi ini hanya sebatas wacana saja. Dua isu tersebut saya korelasikan dengan premis bahwa manusia, para pengguna web, adalah kepanjangan tangan dari indera sang mesin. Kemudian termuncul dibenak saya sebuah pertanyaan, does social software extend our senses?

Berlanjut…

The European Navigator (ENA)

Salam,

 

Hari ini g mendapat kehormatan untuk bertemu Marriane Backes, direktur dari CVCE (jangan tanya kepanjangannya.. please…) lembaga yang bertujuan mendokumentasikan atau membangun digital library tentang proses integrasi uni eropa. Dalam diskusi (f2f lho…) g mengajukan pendapat g tentang implementasi social software dalam the european navigator (ENA, http://www.ena.lu/), oh ya the european navigator adalah browser yang dikembang CVCE untuk mengakses database mereka, anyway setelah mengemukakan beberapa alternative projects dan suggestion bahwa jika implementasi ini berhasil maka ENA akan mempunyai salah satu service yang bisa ditawarkan either untuk funding atau public service. Madam Backes setuju dan mengharapkan kehadiran g di Luxemburg, tepatnya di Sanem sekitar 45 menit dari luxemburg, untuk membahas project lebih lanjut dan bertemu dengan interactive team yang menangani ENA interface.

 

Overall, g sangat senang sekali, pertama, karena ini bisa dijadikan bagian dari internship yang ada di module yang sedang g tempuh. Kedua, karena g bisa mempunyai pengalaman bekerja di lembaga setidaknya multinasional karena CVCE di prakarsai oleh uni eropa dan dibiayai oleh 3 negara. Ketiga, setidaknya ini bisa mengobati kekecewaan g karena tidak jadi ke CERN although ketidakjadian ini lebih karena birokrasi di parma university dibandingkan kesesuaian interest, actually pihak CERN juga sudah mendapat informasi mengenai proposal g dan udah approval tetapi karena kesalahan penempatan sehingga temen seangkatan g yang berangkat, tetapi sudahlah, sekarang g lebih optimis dengan ENA.

 

Luxemburg, here I come!

Social software di website PTN

Salam,

Saya melakukan survey kecil-kecilan untuk melihat sebenarnya seberapa banyak website2 PTN di Indonesia yang sudah menggunakan social software. Hasilnya cukup mengejutkan di satu sisi sedangkan di sisi yang lain sudah bisa ditebak. Jumlah website yang sudah menggunakan social software seperti di duga masih dibawah setengah, 40% tepatnya. Ini saya hitung dari jumlah website yang menerapkans setidaknya RSS feed walaupun begitu saya kagum dengan beberapa website yang telah menggunakan blogs bahkan ada yang dispesifikasikan seperti blog untuk mahasiswa, dosen, dan untuk karyawan. Walaupun jumlahnya masih sekitar 14% dari total website tapi saya anggap sudah bisa menunjukkan trend penyerapan TIK yang cukup baik. 14% juga jumlah website yang telah menyediakan fasilitas chat/IRC/atau forum diskusi interaktif.

Secara keseluruhan saya menilai bahwa PTN-PTN di Indonesia masih rendah dalam pemanfaatan social software di website resmi institusinya. Mengingat teknologi ini sebenarnya bukan hal baru bahkan jika mengasumsikan bahwa web 2.0 adalah masa dimulainya pemanfatan social software maka setidaknya sudah 4 tahun sejak web 2.0 mulai di dengungkan dan PTN-PTn di Indonesia sepertinya belum begitu mendengarnya, padahal saya kenal dengan beberapa orang ‘hebat’ di bidang web technology di Indonesia yang justru di websitenya tidak ada social software sama sekali, irony. Saya berpendapat bahwa website Universitas Padjajaran adalah website PTN terbaik di Indonesia dalam segi pemanfaatan social softwarenya terutama dengan dengan adanya portal live.unpad dan video.unpad yang menurut saya inovatif dan patut ditiru atau dilampaui oleh website PTN-PTn lainnya di Indonesia. Anyway, berikut tabelnya; enjoy

Riza

social software for teaching learning (4-ditunda)

Artikel social software saya akhirnya mencapai konklusinya walaupun masih grogi apakah masyarakat akademisi bisa menerima konsep saya tentang iLearning. Tetapi, saya kira waktu juga yang akan menjelaskan, butuh waktu 5 tahun untuk seorang Tim Berners-lee untuk mengatakan bahwa perkembangan web sudah di phase baru dan 1 tahun untuk mengenalkan model dari web 2.0, butuh waktu 12 tahun untuk masyarakat global untuk bisa menerima kata social software. Istilah ini tentu akan mengundang banyak perdebatan, tetapi visi yang saya lihat dari iLearning adalah mengenai masa depan interaksi pada proses belajar-mengajar yang tidak lagi dibatasi tembok sekolah. Social software tentunya tidak lagi dibatasi konsepsi seperti yang diutarakan Clay Shirky; “a software that facilitating group interactions” tetapi lebih pada aplikasi web yang menghubungkan interaksi sosial (sociality) seorang individu.

Sudah pada nature-nya setiap proses learning adalah communicative, collaborative dan meng-evolve community jadi saya pikir ajakan Futurelab untuk mengubah e-Learning menjadi c-Learning sebenarnya hanya mengganti label dari isi dan botol anggur yang sama, kalau begitu apa yang berubah?

Anyway, artikel lengkap dari tulisan ini akan saya publikasikan setelah konferensi di desember nanti, ini lebih ke arah intelektual property, harap maklum.

Social Software and Teaching-learning (3)

melanjutkan…

Theoretical background yang saya temukan tentang pemanfaatan social software ini ternyata bisa dirujuk hingga 11 tahun yang lalu yaitu saat dimana beberapa perusahaan di US menggunakan sebuah sistem seperti wiki dalam membantu mereka memecahkan masalah yang berkaitan dengan common understanding dalam training pegawai-pegawai mereka. Tidak hanya Eijkman, sebelum beliau pun sudah ada beberapa ahli di eropa dan amerika yang sudah melihat potensi implan dari social software ke dalam e-learning, jadi sekali lagi ide ini bukan saya yang mengada-adakan. Ini realiable secara konsep dan teori.

Setelah melakukan proses wawancara dengan 4 informan dari 4 universitas negeri di Indonesia yaitu dari Unila, Unpad, Unsri, UNS beberapa temuan yang mengejutkan yaitu para informan tersebut sudah bisa saya katakan advanced dalam pemanfaatan teknologi untuk pembelajaran inovatif tetapi progress tersebut sayangnya masih informal, dari pengakuan mereka hampir 90% waktu mereka dalam menggunakan social software justru tidak dalam program yang sudah dimiliki universitas artinya semua efforts mereka dilakukan secara pribadi, yang paling di dukung oleh universitas adalah dengan menyediakan internet gratis. Asumsi pertama saya bahwa universitas negeri sebagai universitas terdepan di masing daerah-daerahnya seharusnya sudah familiar dengan teknologi web dan sudah mempunyai program yang berkaitan dengan penggunaan teknologi web ini dalam proses belajar-mengajarnya, yang in contradictory ternyata belum.

Jika dicari di wikipedia, maka kita akan ketemu 18 macam dari social software dan saya prediksi evolusi masih akan terus terjadi kedepannya karena dalam kategorisasi tersebut masih memasukkan internet chat tersebut dari fasilitas social software yang lain padahal kita semua tahu bahwa beberapa SNS pun sudah memasukkan fasilitas chat dalam halaman profil para membernya. Lalu, kategori2 tersebut juga tidak memasukkan fasilitas file-sharing atau custom application. Yaa namanya juga wikipedia… gak semua isinya bisa dipercaya…

Social Software for teaching-learning (2)

Melanjutkan tulisan sebelumnya…

Kita sudah mengenal berbagai macam aplikasi VLE (virtual learning environment) atau awam disebut sebagai e-learning dan kita setidaknya sudah mendengar kegunaannya. VLE, setidaknya apa yang saya pikirkan, mempunyai karakteristik individuallist, pedagogy yang diajarkan yaitu siswa diharapkan mampu men-sintesa modul pembelajaran secara mandiri. Dalam satu aspek itu bagus, sesuai dengan arti individu sendiri, tetapi disatu aspek masih diragukan kedalaman dari siswa dalam memahami pengetahuan. Ini ironi dengan makna dari pengetahuan itu sendiri, dalam knowledge management, pengertian dari knowledge (pengetahuan) yang saya pahami hanya bisa didapatkan dengan interaksi, informasi dalam pikiran manusia yang ditangkap (capture) melalui ekspresi kebahasaan lalu dikodifikasi ke dalam media sehingga bisa menghasilkan pengetahuan.

Henry Eijkman sudah memulai inisiasi untuk menambahkan fitur web 2.0 ke dalam sistem e-learning di High School2. Saya tidak ingin menggunakan kata web 2.0 karena itu adalah labelnya O’reilly tetapi saya ingin menambahkan bahwa saya setuju dengan Eijkman bahwa e-learning harus ber-evolusi sesuai perkembangan teknologi web yang ada tetapi saya ingin mendifferensiasikan penamaan dengan lebih mengedepankan bahwa fitur-fitur yang bisa ditambah tersebut lebih tepat kalau kita sebut sebagai social software.