social software for teaching learning (4-ditunda)

Artikel social software saya akhirnya mencapai konklusinya walaupun masih grogi apakah masyarakat akademisi bisa menerima konsep saya tentang iLearning. Tetapi, saya kira waktu juga yang akan menjelaskan, butuh waktu 5 tahun untuk seorang Tim Berners-lee untuk mengatakan bahwa perkembangan web sudah di phase baru dan 1 tahun untuk mengenalkan model dari web 2.0, butuh waktu 12 tahun untuk masyarakat global untuk bisa menerima kata social software. Istilah ini tentu akan mengundang banyak perdebatan, tetapi visi yang saya lihat dari iLearning adalah mengenai masa depan interaksi pada proses belajar-mengajar yang tidak lagi dibatasi tembok sekolah. Social software tentunya tidak lagi dibatasi konsepsi seperti yang diutarakan Clay Shirky; “a software that facilitating group interactions” tetapi lebih pada aplikasi web yang menghubungkan interaksi sosial (sociality) seorang individu.

Sudah pada nature-nya setiap proses learning adalah communicative, collaborative dan meng-evolve community jadi saya pikir ajakan Futurelab untuk mengubah e-Learning menjadi c-Learning sebenarnya hanya mengganti label dari isi dan botol anggur yang sama, kalau begitu apa yang berubah?

Anyway, artikel lengkap dari tulisan ini akan saya publikasikan setelah konferensi di desember nanti, ini lebih ke arah intelektual property, harap maklum.

Iklan

Social Software and Teaching-learning (3)

melanjutkan…

Theoretical background yang saya temukan tentang pemanfaatan social software ini ternyata bisa dirujuk hingga 11 tahun yang lalu yaitu saat dimana beberapa perusahaan di US menggunakan sebuah sistem seperti wiki dalam membantu mereka memecahkan masalah yang berkaitan dengan common understanding dalam training pegawai-pegawai mereka. Tidak hanya Eijkman, sebelum beliau pun sudah ada beberapa ahli di eropa dan amerika yang sudah melihat potensi implan dari social software ke dalam e-learning, jadi sekali lagi ide ini bukan saya yang mengada-adakan. Ini realiable secara konsep dan teori.

Setelah melakukan proses wawancara dengan 4 informan dari 4 universitas negeri di Indonesia yaitu dari Unila, Unpad, Unsri, UNS beberapa temuan yang mengejutkan yaitu para informan tersebut sudah bisa saya katakan advanced dalam pemanfaatan teknologi untuk pembelajaran inovatif tetapi progress tersebut sayangnya masih informal, dari pengakuan mereka hampir 90% waktu mereka dalam menggunakan social software justru tidak dalam program yang sudah dimiliki universitas artinya semua efforts mereka dilakukan secara pribadi, yang paling di dukung oleh universitas adalah dengan menyediakan internet gratis. Asumsi pertama saya bahwa universitas negeri sebagai universitas terdepan di masing daerah-daerahnya seharusnya sudah familiar dengan teknologi web dan sudah mempunyai program yang berkaitan dengan penggunaan teknologi web ini dalam proses belajar-mengajarnya, yang in contradictory ternyata belum.

Jika dicari di wikipedia, maka kita akan ketemu 18 macam dari social software dan saya prediksi evolusi masih akan terus terjadi kedepannya karena dalam kategorisasi tersebut masih memasukkan internet chat tersebut dari fasilitas social software yang lain padahal kita semua tahu bahwa beberapa SNS pun sudah memasukkan fasilitas chat dalam halaman profil para membernya. Lalu, kategori2 tersebut juga tidak memasukkan fasilitas file-sharing atau custom application. Yaa namanya juga wikipedia… gak semua isinya bisa dipercaya…

Social Software for teaching-learning (2)

Melanjutkan tulisan sebelumnya…

Kita sudah mengenal berbagai macam aplikasi VLE (virtual learning environment) atau awam disebut sebagai e-learning dan kita setidaknya sudah mendengar kegunaannya. VLE, setidaknya apa yang saya pikirkan, mempunyai karakteristik individuallist, pedagogy yang diajarkan yaitu siswa diharapkan mampu men-sintesa modul pembelajaran secara mandiri. Dalam satu aspek itu bagus, sesuai dengan arti individu sendiri, tetapi disatu aspek masih diragukan kedalaman dari siswa dalam memahami pengetahuan. Ini ironi dengan makna dari pengetahuan itu sendiri, dalam knowledge management, pengertian dari knowledge (pengetahuan) yang saya pahami hanya bisa didapatkan dengan interaksi, informasi dalam pikiran manusia yang ditangkap (capture) melalui ekspresi kebahasaan lalu dikodifikasi ke dalam media sehingga bisa menghasilkan pengetahuan.

Henry Eijkman sudah memulai inisiasi untuk menambahkan fitur web 2.0 ke dalam sistem e-learning di High School2. Saya tidak ingin menggunakan kata web 2.0 karena itu adalah labelnya O’reilly tetapi saya ingin menambahkan bahwa saya setuju dengan Eijkman bahwa e-learning harus ber-evolusi sesuai perkembangan teknologi web yang ada tetapi saya ingin mendifferensiasikan penamaan dengan lebih mengedepankan bahwa fitur-fitur yang bisa ditambah tersebut lebih tepat kalau kita sebut sebagai social software.

Social Software untuk proses belajar mengajar di universitas (1)

Alhamdulillah, proposal riset dan presentasi ku di terima oleh panitia The World Wide Forum on Education and Culture yang diketuai Dr. Bruce Swaffield dari Regent University, US. Walaupun belum resmi mendaftar ulang (lagi nyari bantuan registration fee nih…) tapi gua udah memastikan tempat di Rome pada bulan Desember nanti, lumayan lah buat menaikkan angka kredit.

Ide dasar dari proposal gua sebenarnya sederhana saja, kalo di eropa, asia timur dan amerika utara mayoritas penduduknya udah gak gaptek lagi dengan namanya social software beda sekali dengan kondisi yang ada di negara-negara berkembang. Sewaktu pulang ke Indonesia bulan lalu gua kaget ternyata kondisi belajar-mengajar di Unila tidak mengalami perkembangan selama 2 tahun terakhir dalam pemanfaatan teknologi web malah cenderung stagnan, dan gua pikir universitas2 negeri lainnya di Indonesia juga tidak jauh berbeda. Dari situ gua melihat adanya permasalahan yaitu celah antara yang seharusnya (Das Sein) dan terlihat (Das Solen). Seharusnya proses belajar-mengajar di universitas sudah bisa memanfaatkan teknologi web dengan baik sesuai dengan program-program pemerintah khususnya Depdiknas seperti Inherent atau jardiknas, malah sudah digembar-gemborkan penggunaan BSE (Buku Sekolah Elektronik).  Tetapi pada kenyataannya (yang terlihat) belum seperti itu, infrastruktur yang tidak mumpuni ditambah dengan maintanance yang belum memenuhi standar membuat aplikasi web untuk belajar-mengajar di universitas belum banyak berkembang.

Berkembangnya teknologi web 2.0 dan social software sebagai salah satu terapannya telah mempengaruhi banyak bidang salah satunya adalah pada proses belajar-mengajar. Implementasi dari penggunaan social software untuk menunjang pendidikan telah banyak dan sangat diketahui (well known) di negara-negara maju, semakin cepatnya tingkat koneksi internet, banyaknya pembangunan infrastruktur, dan tarif murah adalah salah satu faktor pendorong dari pemanfaatan teknologi ini. Spitzberg (2006) menunjukkan data bahwa antara tahun 2000 dan 2005 internet telah tumbuh 160% di seluruh dunia—di Amerika Utara sendiri, 68% dari total populasinya adalah penguna internet yang juga merupakan seperempat dari total pengguna internet dunia (internet world stats, 2005). Penelitian oleh Wahid (2007) menemukan bahwa tarif internet yang mahal, koneksi yang rendah, dan lemahnya kemampuan berbahasa inggris adalah faktor-faktor teratas dari rendahnya adopsi internet di Indonesia. Walaupun secara kuantitatif, jumlah pengguna internet di Indonesia termasuk tinggi, yaitu sekitar 20 juta pengguna tetapi secara kualitatif masih tergolong rendah yaitu hanya berkisar 8,9% dari jumlah penduduk indonesia (coba bandingkan dengan data Amerika Utara di atas).

Melihat kondisi global dan nasional tersebut, maka saya mengajukan ide untuk memulai suatu diskusi yang melibatkan dunia internasional dalam melihat peluang pemanfaatan social software dalam proses belajar-mengajar. Kita mungkin sudah familiar dengan memanfaatkan learning environment system atau digital library dalam membantu pendidikan di kelas. Pemanfaatan social software tidak jauh berbeda dengan kedua institusi tersebut terutama dengan menekankan faktor mash-up bahwa guru dan siswa adalah stakeholder yang mempunyai peran sama dalam mengembangkan bahan ajar.