Teknologi Komunikasi dan Perubahan Partisipasi Politik Masyarakat

Ini adalah tulisan saya jaman dulu banget, waktu mau pilpres 2004. Sempat di muat di harian Lampung Ekspress dalam dua terbitan bersambung. semoga masih relevan di saat pilpres 2009 ini. enjoy!

———————————————————————————————————————————————–

Dalam dongeng Lewis Caroll Through the Looking Glass,  Alice menemukan dirinya di sebuah negeri yang dipimpin oleh Ratu Merah, sebuah tempat yang menantang asumsi Alice mengenai kemajuan.

 

Daripada bergerak dari titik A ke titik B selama berlari cepat, Alice menemukan dirinya di tempat ia memulai perjalanan, kejadian yang sangat aneh bagi seseorang yang datang dari sebuah perspektif di mana berlari menunjukkan gerakan melalui waktu dan jarak. Fenomena ini, yang disebut sebagai “efek Ratu Merah” mengalihkan pengertian tradisional kita mengenai kemajuan, sebuah pandangan dunia yang luas yang diwariskan dari Masa Pencerahan. Ratu Merah memaksa kita untuk merefleksikan pada prinsip-prinsip ini dan juga kenyataan empirik mengenai kehidupan kontemporer dimana banyak orang berjuang untuk mengimbangi kehidupan ekonomi, sosial dan politiknya (Wilhelm, 2003)

Pada dunia yang dipenuhi oleh ketidakpastian, satu-satunya hal yang dapat dipegang adalah adanya suatu jalur perubahan yang terus-menerus dan konsisten yaitu bahwa pergantian selalu mengikuti siklusnya, seperti apa yang biasa terjadi di alam. Begitupun dalam mengejar kemajuan hidupnya, sebuah premis utama bahwa manusia bergerak karena dua hal yaitu: keuntungan (benefit) dan kepastian (certainty), menyebabkan kepentingan (interest) adalah pondasi dari semua bangunan ekonomi, sosial dan politik. Apa yang dapat kita pelajari dari dongeng Alice di atas ialah bahwa jarak dan waktu bersifat absurd dan apa yang kita pikirkan adalah satu-satunya petunjuk arah.

 

Perubahan Partisipasi Politik

            Dalam memasuki putaran kedua kampanye Pemilihan Presiden ini beberapa hal dapat kita jadikan tolok ukur untuk melihat perubahan partisipasi politik masyarakat :

1.     Perubahan dari loyalitas partai menjadi loyalitas personafikasi

Tidak dapat dipungkiri bahwa kondisi yang kita hadapi dilapangan pada putaran pertama pilpres tanggal 5 Juli yang lalu sangat berbeda dari  apa yang kita hadapi pada pemilu legislatif sebelumnya. Perbedaaan tersebut tidak hanya dari pola kampanye yang dilakukan para kontestan tetapi juga dari bagaimana masyarakat sebagai pihak yang didambakan pilihannya memandang para kontestan dalam berkampanye. Dalam kampanye parpol bulan Maret lalu bentuk pandangan para pemilih masih terkotak pada bentuk platform partai dimana mereka merasa dekat, apakah itu parpol yang berbasis agama, ideologi, atau sosial budaya. Pandangan itu menyebabkan perilaku dan pola kampanye parpol masih tertuju pada apa yang bisa ditawarkan oleh partai kepada masyarakat, hanya beberapa parpol saja yang berani menawarkan karismatik calon andalannya salah satunya yang fenomenal adalah Partai Demokrat yang mencalonkan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), PDIP yang memajukan Megawati dan Partai Amanat Nasional yang memunculkan Amien Rais . Hasil dari pola tersebut adalah 7 parpol yang lolos electoral treshold.

Pada putaran pertama pilpres 5 Juli lalu perilaku masyarakat mulai berubah, walaupun konstelasi politik turut mempengaruhi perilaku pemilih seperti koalisi partai dan tumbuhnya organisasi pendukung pergerakan partai. Tetapi pengaruh yang paling besar dari perubahan perilaku pemilih yaitu mulai diterapkannya kampanye personifikasi dengan propaganda-propaganda personal lewat sarana-sarana teknologi komunikasi baik secara konvensional maupun modern. Para pemilih seperti disajikan suatu tontonan baru dari wajah perpolitikan Indonesia, tontonan yang menurut berbagai pihak seperti NDI dan Jimmy Carter Center (JCC) sebagai langkah awal menuju Indonesia yang lebih adil, dan demokratis.

Para capres dan pasangannya berturut-turut berusaha membuka diri pada publik bahwa sifat dan karakter mereka adalah yang paling tepat bagi rakyat Indonesia untuk 5 tahun mendatang. Hasilnya? Adalah pencitraan kembali (re-imaging) dari masing-masing kontestan, dan siapakah yang citranya paling diminati masyarakat pemilih Indonesia? Pengumuman KPU Pusat tanggal 26 Juli 2004 lalu menetapkan bahwa pasangan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Jusuf Kalla (JK) menempati peringkat teratas disusul dengan pasangan Megawati dan Hasyim Muzadi.

 

2.     Perubahan Orientasi Pemilih Pasif

Mau tak mau fenomena pemilih pasif atau lebih dikenal dengan sebutan golongan putih (golput) cukup menakutkan bagi keseluruhan kehidupan politik Indonesia. Betapa tidak? Dari hari ke hari isu golput semakin santer sehingga seperti suatu hal biasa saja bagi masyarakat untuk tidak memilih seperti mereka memilih apakah akan berbelanja di pasar tradisional atau mal. Tetapi apa yang dilihat seperti hantu ternyata tidak seseram yang dibayangkan semula seperti acara horor di televisi swasta saja. Para pemilih golput pun ternyata merupakan bagian dari konteks efek samping demokrasi yang lebih bebas dan adil. Pada pemilu legislatif, orientasi pemilih pasif (penulis lebih condong untuk menggunakan istilah ini dibandingkan istilah golput) masih pada ketidakpercayaan terhadap pandangan parpol peserta pemilu selain juga tingkat kesadaran politik yang masih kurang.

Pada pemilu pilpres putaran pertama tanggal 5 Juli lalu orientasi ini bergeser ke arah ketidakpuasan terhadap kondisi politik yang ada pada karakteristik pemilih masing-masing dan tidak diakomodasi oleh parpol-parpol yang mencalonkan para capres-cawapres. Ketidakpuasan ini menyebabkan pada daerah-daerah tertentu di tanah air tingkat partisipasi pemilih pasif meningkat hingga 35%. Tetapi yang patut disyukuri bahwa masyarakat Lampung masih mempunyai tingkat kesadaran politik yang cukup tinggi hal ini dibuktikan dengan bertambahnya seratus ribu lebih suara pemilih aktif dibandingkan pemilu legislatif sebelumnya.

 

3.     Pengaruh Opini Publik

Dalam komunikasi politik, opini publik merupakan senjata yang ampuh dalam mengambil simpati para pemilih. Salah satu contoh seperti dalam kampanye pemilihan presiden di Amerika Serikat, bagaimana dengan membentuk opini publik yang kuat tentang kegagalan Pemerintahan Bush dalam mengantisipasi Tragedi 9/11, John Kerry, kandidat dari Partai Demokrat dapat mengungguli partisipasi politik pemilih dalam jejak pendapat yang diadakan berbagai media center. Begitupun dengan pilpres putaran kedua ini bagaimana simpati masyarakat kembali ditarik ulur oleh kedua pasangan yang lolos untuk dipilih pada tanggal 20 September 2004 nanti. Termasuk isu beberapa minggu belakangan ini tentang penguakan kembali kasus 27 Juli 1996 (Kudatuli) yang dimanfaatkan salah satu kandidat untuk meraih partisipasi dengan pencitraan kembali (re-imaging) sebagai pihak yang tertindas dan patut mendapat simpati. Masyarakat harus waspada bahwa ini tidak lebih dari panggung politik semata dan ada kemungkinan untuk skenario buntu yang hanya membawa masyarakat pada kegagalan kembali.

Hebatnya pengaruh opini pada dua kali pemilu yang sudah lewat tidak lepas dari peran para pemimpin opini (opinion leaders) dan media. Para pemimpin opini selalu muncul dalam media-media baik cetak maupun elektronik untuk menjawab, mengembangkan ataupun membentuk isu-isu politik baru. Pada pemilu legislatif, isu yang berkembang pada pemilih pasif lebih pada faktor teknis dibandingkan faktor visi dan platform yang tidak pas. Kegagalan pendistribusian logistik cukup santer sehingga membuat beberapa daerah harus terlambat mengadakan pemilu belum lagi daerah-daerah yang harus diulang karena adanya indikasi kecurangan. Pada pilpres putaran pertama, isu pada tingkat pemilih pasif bergeser pada ketidakpuasan, gagalnya Gus Dur pada bursa calon capres cukup membuat beberapa kalangan berpikir untuk tidak memilih. Walaupun secara institusi Gus Dur bicara juga untuk mendukung adiknya, pada kenyataannya, orang tetap memilih karena melihat Gus Dur secara personal.

 

Pengaruh Teknologi Komunikasi

            Dari beberapa analisa perubahan di atas, salah satu variabel yang dipandang cukup penting adalah peran teknologi komunikasi dalam meningkat partisipasi politik pemilih dan pengaruhnya pada metode kampanye para konstentan pemilu. Kita mengakui bahwa apa yang kita jalankan pada pemilu kali ini sangat berbeda dari apa yang kita lakukan 5 tahun yang lalu, apalagi 10 tahun yang lalu. Penggunaan media yang lebih interaktif, bahasa-bahasa kampanye yang komunikatif dan simbol-simbol yang lebih atraktif membuat masyarakat pemilih terbuai dalam politik populer (pop politics) dengan ideologi populer (pop ideology). Dalam beberapa aspek, wajah baru ini memotong demarkasi eksklusifitas politik elit Indonesia untuk kembali pada para konsumen politik tanah air atau dalam preposisi Karl Marx yang terkenal “All that solid, melts into air” (Fromm, 2001).

            Perkembangan teknologi informasi memang memegang peranan yang penting dalam hal ini, peranan itu yang memotong jalur komunikasi menjadi lebih efektif baik antar kontestan dalam pemilu legislatif maupun antar kandidat capres-cawapres dengan massa pendukungnya. Peranan tersebutlah yang memungkinkan sesuatunya lebih efisien baik dalam hal waktu, tenaga maupun finansial masing-masing peserta pemilu. Salah satu contohnya seperti penggunaan website maupun email dalam berkampanye, ataupun penggunaan sms untuk menyebarkan isu-isu politik. Bahkan jejak pendapat yang cukup laris diadakan oleh berbagai lembaga survei pun merupakan salah satu institusi yang bisa memanfaatkan perkembangan teknologi komunikasi.

            Diantara perkembangan teknologi komunikasi yang demikian signifikan tersebut dimanakah pengaruhnya dalam perubahan partisipasi politik masyarakat? Pengaruh yang paling kentara adalah teknologi komunikasi membantu jutaan pemilih untuk dapat menentukan pilihannya. Iklan televisi dan radio yang terus menerus, pembuatan media-media baik atraktif maupun interaktif dan pembentukan opini-opini lewat media mampu mempengaruhi pilihan para penyumbang suara (voters). Pengaruh lainnya ialah teknologi komunikasi mampu mengarahkan prioritas para pemilih terhadap kandidat pilihannya, walaupun hal ini masih dipengaruhi juga dengan tingkat kepuasan para pemilih terhadap perilaku kandidat yang bersangkutan. Dalam ilmu komunikasi di kenal istilah spiral of silence untuk menjelaskan fenomena bagaimana suatu informasi mampu muncul dan mempunyai feedback yang luas sedangkan isu yang lain malah semakin mengecil. Begitu juga dalam pembentukan opini, jika suatu opini sudah mendapat publikasi yang besar dan terus-menerus maka isu tersebut akan tumbuh, terlepas dari konteks apakah itu isu negatif ataupun positif.

            Jika kita kembali pada “efek Ratu Merah” pada pembukaan di atas maka hal yang dapat kita pelajari dan dijadikan variabel dalam melihat kondisi politik ke depan adalah bahwa perubahan politik masyarakat sangat terkait dengan ide kepentingan (interest). Kita dapat berlari dengan sekuat tenaga ke arah manapun yang kita suka tetapi tetap tidak bergeming dari keadaan semula jika kita tidak berpikir bahwa kita akan maju atau mundur. Ataupun, kita dapat melangkah ke mana pun arah yang kita inginkan tetapi dengan menyadari bahwa kita maju dengan bebas dan bahwa hambatan hanya ada di dalam pikiran kita, maka kita akan melesat melampaui jarak yang sebenarnya. Dalam konteks pelaksanaan kampanye pilpres putaran kedua kedepan, apakah yang dapat membantu pikiran kita untuk membentuk opini-opini tersebut? Apakah yang dapat mempengaruhi pemikiran para pemilih? Tidak lain adalah manfaat teknologi komunikasi dalam menyebarkan gagasan serta pencerahan kepada masyarakat.

Iklan

Tentang web 4.0

Salam Tahun Baru!

Jika kita membaca karakteristik dari web 4.0 yang saya posting pada artikel sebelumnya, kita masih melihat kerancuan pada penggunaan semantic technology pada web content. Jika kita mengasumsikan bahwa web 3.0 adalah tentang semantic capability, content-content yang sudah sepenuhnya mempunyai kemampuan untuk diassosiasikan berdasarkan konteks maka apa yang dijabarkan kedua pakar tersebut hanya lah pengembangan dari web 3.0 atau bisa dibilang web 3.0 versi 2 atau seterusnya. Dalam benak saya, dalam 4-5 tahun kedepan setelah munculnya aplikasi semantik  yang siap pasar maka pengembangan selanjutnya adalah bagaimana membuat aplikasi tersebut mampu berpikir sendiri dalam artian bahwa setiap query adalah sebuah proses untuk menghasilkan feedback bagi yang bertanya, sebuah implementasi artificial intellegence. Saat ini dengan RDF dan SPARQL hanya menyediakan wadah bagi OWL untuk menelusuri content2 yang ada di internet berdasarkan kata per kata, jika sebelumnya sudah dimasukkan input assosiasi dan occurance maka hasil pencarian yang ada akan diperkaya dengan relevansi konteks, tetapi itu adalah kerja yang menurut saya masih masuk kategori serendipity. Ok! berapa banyak konten yang sudah diinput dan ready-RDF? saya yakin tidak lebih dari 20 persen dari total keseluruhan konten yang ada di cyber web. Lalu sejauh ini apa yang dilakukan oleh kita para penggiat informasi dan jutaan pengguna internet lainnya berhubungan dengan kurangnya informasi yang bisa di “semantik” kan? kita menggantinya dengan informasi yang kita buat sendiri, jadi ada duplikasi informasi, contohnya dalam mencari informasi mengenai buku berdasarkan metadata (katalog) pada perpustakaan digital, kita bisa merujuk pada katalog OCLC tetapi bagaimana jika OCLC tidak menginput assosiasi and occurance, maka aplikasi semantik tidak ada bedanya dengan page rank-nya google sekarang. Kasusnya akan menjadi lain jika OCLC menginput assossiasi and occurance dari setiap object, tetapi itu berarti kerja untuk menginput sekitar ratusan juta judul buku, kerja yang melelahkan apalagi jika menyangkut kualitas kerja, salah input maka tidak akan muncul sebagai hasil pencarian. Itu hanya contoh disatu lembaga, bagaimana dengan keseluruhan konten di cyber web, karakteristik web 4.0 di bawah rupanya ingin mengakomodasi problem ini, karena itu mereka bicara, bahwa butuh kesediaan (willingness) dari pengguna internet untuk menjelaskan setiap konten yang mereka masukkan ke dalam internet, yeahh… right… hello… itu adalah impossible, mengasumsikan setiap orang untuk berpartisipasi kecuali bumi sudah dikuasai oleh satu ideologi dan semua orang setuju.

 

Bagaimana dengan perkembangan recommender system, seperti amazon, ebay dst? well, yeahh, itu menarik… dan cukup membantu, tetapi jika kita melihat prinsip logika probabilitas yang digunakan, saya masih mengasumsikan itu juga tidak lebih dari serendipity, karena itu mereka kasih tulisan, “mereka yang membeli…. juga membeli ….”, ini adalah ekspresi dugaan. Kayaknya kok skeptic sekali ya? tidak, saya hanya mengkritisi karakteristik yang diajukan di artikel sebelumnya,  mengenai web 4.0 saya malah sangat optimistic. Imajinasi saya adalah ketika OS sudah dijalankan via internet jadi tidak lagi beli CD lalu install atau OS di setiap PC, imajinasi saya membayangkan google sudah menjual OS nya sendiri (hint: ini mungkin bukan imajinasi, liat contoh Android) maka kemampuan searching dari setiap pc sudah langsung terinstall dengan search engine di internet (ada kemungkinan yahoo, dan microsoft mungkin berbuat serupa) jadi setiap kali anda bertanya atau memasukkan kata di kotak kecil di ujung layar anda, maka hasilnya tidak hanya yang ada di PC anda tetapi juga yang ada di cyber web, lengkap dengan UGI yang interaktif (facebook mungkin menjual versi advanced-nya). Eiittt… tidak cukup hanya disitu, itu hanya memunculkan keunggulan web 3.0 (“the web is you!” jargon), pada web 4.0, laptop anda akan bertanya lebih lanjut, “apakah informasinya memuaskan?” jika anda melakukan pencarian, atau bahkan jika kita tidak bertanya, laptop kita akan otomatis memberi informasi yang di duga akan menarik perhatian kita, seperti, tiket nonton film atau hadiah ulang tahun buat anak kita. Kalau begitu web 4.0 mengasumsikan semua komputer terhubung dengan internet dong? ya iyalah, masa ya iya donkkk… tapi bagaimana dengan daerah yang belum terhubung dengan internet, ya kalau begitu mereka ya tidak bisa menikmati web 4.0, gitu aja kok repot, seperti komputer di Pemda Lampung yang masih pake windows 95 (knock..knock.. dunkk…!!)

 

segitu imajinasi saya tentang web 4.0..

 

Riza

Teknologi Informasi Hadapi Persoalan Dunia

Berikut adalah kutipan dari artikel di Kompas (09/05/2008), menurut saya artikel ini menarik karena selain berdasarkan wawancara kompas dengan ‘Bill Gates’ via email, artikel ini menunjukkan visi microsoft untuk masa depan digital media di masa depan. enjoy!

————————————————————————————-

William (Bill) H Gates, pendiri Microsoft Corporation dan orang terkaya di dunia karena penemuannya mengembangkan sistem operasi komputer yang digunakan ratusan juta orang diseluruh dunia, merasa yakin perangkat lunak dan teknologi digital adalah perangkat yang sangat bertenaga untuk menghadapi dan menyelesaikan berbagai isu dan tantangan yang dihadapi berbagai orang dan masyarakat.

Dalam wawancara lewat e-mail, Kompas menanyakan tentang dampak kenaikan harga minyak bumi terhadap kelangsungan industri teknologi komunikasi informasi yang menggunakan banyak sekali tenaga listrik? Walaupun Bill Gates tidak melihat adanya keterkaitan dengan solusi-solusi berbasis perangkat lunak, ia mengatakan, banyak hal yang bisa ditawarkan teknologi informasi untuk menghadapi persoalan dunia sekarang ini.

”Sekarang, industri perangkat lunak menawarkan teknologi yang bisa membantu bisnis dan individu untuk mengurangi konsumsi tenaga listrik ketika mereka menggunakan komputer. Kita juga banyak melakukan kemajuan menuju terciptanya sebuah generasi baru datacenter yang memberikan efisiensi sumber energi dibanding yang ada sekarang,” kata Gates.

Ditambahkan, persoalan ini menjadi penting karena jasa internet dan penggunaan komputer menjadi lebih menyebar, serta jumlah datacenter akan terus meningkat. ”Bersamaan dengan jalannya waktu, kita akan melihat solusi perangkat lunak yang akan memainkan peranan besar dalam membantu individu dan perusahaan-perusahaan untuk menggunakan energi lebih efisien,” ujar Bill Gates.

Disebutkan, perangkat lunak akan menjadikan rumah dan bangunan menjadi lebih cerdas, sehingga orang-orang akan menggunakan energi seperlunya untuk penerangan, mendinginkan atau memanaskan ruangan. ”Kemajuan perangkat lunak memungkinkan bisnis untuk merancang ulang berbagai produk, sehingga keseluruhan proses penggunaan energi dan sumber daya alam menjadi lebih efisien. Dengan harga yang terjangkau, komputasi kinerja tinggi akan memainkan peranan yang pentin dalam penelitian ilmiah untuk membantu memahami dampak perubahan iklim dan berbagai dampaknya,” papar Gates.

Mekanisme revolusioner

Pada bagian lain, Bill Gates menyebutkan, sekarang ini kita memasuki sebuah periode kemajuan pesat dalam perangkat lunak dan keras, serta sistem jejaring yang akan menjadi katalisator kemajuan dalam kurun waktu 10 tahun yang akan datang yang akan melebihi perubahan-perubahan yang terjadi selama 30 tahun ini.

”Kita sudah melihat bagaimana teknologi bisa mentransformasikan cara kita berbagi pengalaman dan berkomunikasi, bersamaan semakin banyak orang menggunakan komunitas sosial online sebagai landasan untuk berinteraksi secara menyeluruh dengan orang-orang yang mereka peduli,” kata Bill Gates.

Dikatakan, teknologi telah mentrasnformasikan cara kita memelihara kenangan masa lalu, cara kita mengakses hiburan, cara kita belajar, serta cara kita memanfaatkan jasa-jasa kesehatan. ”Transformasi ini akan mencapai tingkat kecepatannya sendiri, karena metoda yang digunakan berinteraksi dengan teknologi berkembang menjadi lebih dekat mengikuti cara orang-orang saling berinteraksi,” jelasnya.

Ditambahkan, komputasi yang lebih bertenaga dan murah memungkinkan para peneliti untuk menyelesaikan berbagai persoalan sulit seperti pengenal suara dan tulisan tangan. ”Kita sekarang memiliki aplikasi pengenalan bahasa lisan dan tulisan dengan ketepatan yang tinggi, dan kita mulai melihat kehadiran berbagai antarmuka yang memasukkan suara, visi tulisan tangan, sentuhan, dan rabaan,” kata Gates.

Bill Gates juga mengingatkan tentang kemajuan teknologi tampilan yang akan memainkan peranan penting dalam kehidupan digital.

”Beberapa dekade ke depan, layar monitor akan menjadi lebih murah, ringan, memiliki portabilitas, dan berkembang terus menerus. Di masa depan, kita akan menghubungkan perangkat portabilitas kita dengan layar tampilan apa saja yang terdekat, atau memproyeksikan informasi ke permukaan apa saja yang tersedia,” jelasnya.

Dijelaskan kalau mekanisme masukan dan keluaran seperti ini memiliki dampak revolusioner, tidak hanya bagaimana kita berinteraksi dengan teknologi tetapi juga bagaimana kita berinteraksi satu dengan lainnya.

Perangkat lunak gratis

Ketika bertemu dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Kantor Presiden, Jakarta, Kamis, Gates menawarkan perangkat lunak gratis kepada lembaga pendidikan di Indonesia pada tahun 2009. Pemberian perangkat lunak gratis itu akan direalisasikan jika dunia pendidikan Indonesia mampu secara besar-besaran menyediakan komputer di lembaga pendidikan dengan harga murah.

”Kalau kita bisa mendapatkan satu komputer dengan harga murah bagi sekolah-sekolah di Indonesia, Bill Gates mengatakan, ‘200 dollar AS’, maka Microsoft menawarkan satu perangkat lunak gratis,” ujar Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat Aburizal Bakrie dalam jumpa pers usai pertemuan. (inu)